DPR Nilai Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau Rugikan Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Ketua Pansus RUU Pertembakauan DPR RI, Firman Soebagyo menilai terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 yang mengatur di dalamnya penyederhanaan tarif cukai tembakau (simplifikasi tarif cukai) akan merugikan masyarakat Indonesia. Pasalnya, jutaan buruh linting kretek sangat tergantung hidupnya dari industri nasional hasil tembakau (IHT).
"Saya mohon kebijakan ini (baca: simplifikasi tarif cukai) betul-betul diperhatikan dan kalau perlu ditunda. Kalau saya berpandangan bahwa kebijakan ini sangat merugikan masyarakat Indonesia," kata Firman di Gedung Parlemen Senayan, Kamis (25/10/2018).
Firman mengatakan, jumlah pabrik IHT setiap tahun mengalami penurunan yang sangat drastis. Data jumlah pabrik rokok tiap tahun berkurang alias pabrik gulung tikar. Tahun 2006, jumlah pabrik sebanyak 4.669. Saat ini, jumlah pabrik sebanyak 728.
Memang saat ini ada kekhawatiran yang sangat mendasar dari industri skala menengah dan kecil terkait kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan keberlangsungan IHT. Di sisi lain, posisi kretek 95% ini menguasai pasar dalam negeri.
Menurut legislator senior Golkar itu, tujuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup industri skala menengah ke bawah.
"Ini korbannya akan sangat besar, yaitu tutupnya tenaga kerja, juga kehidupan petani menjadi terancam dan industri skala menengah ke bawah mengalami kebangkrutan. Dan yang paling ngeri adalah akan terjadi monopoli dan oligopoli yang luar biasa dalam industri ini," terangnya.
Firman yang terpilih dari daerah pemilihan Jawa Tengah III meliputi Pati, Grobogan, Rembang, dan Blora, memberikan empat catatan penting yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, harus ada kebijakan yang terkait dengan tarif untuk golongan II ke bawah. Sebab, golongan ini jumlah penguasaan industri ini adalah mayoritas perusahaan yang jauh ukurannya dari keberadaan golongan I yang sudah sangat besar.
"Kedua, dibuatnya regulasi ada pembedaan permberlakuan tarif impor secara progresif bila sudah melebihi 25%. Hal ini bisa menjaga perusahaan kecil menengah mampu bertahan," ujarnya.
Ketiga, melindungi sigaret kretek tangan (SKT) dari pergeseran yang terus menerus terjadi ke sigaret berbasis mesin.
"Padahal tenaga kerjanya itu hampir keseluruhan adalah perempuan dan menariknya masa kerja mereka minimal 10 tahun bahkan ada yang sampai 30 tahun," terangnya.
Keempat, dikembalikan pengawasan "rokok berhadiah" di bawah kontrol Bea Cukai karena dengan BPOM ini, mohon maaf kerjaannya ini tidak pernah mampu meyelesaikan. Oleh karena itu, ini harus dikembalikan kepada Bea Cukai.
"Ini semua masukan agar tidak terjadi monopoli, oligopoli dan tutupnya industri rokok skala menengah dan kecil yang menurut saya industi ini menjadi bamper terhadap perekonomian nasional dimana krisis 1998, rokok menjadi bamper ekonomi," pungkasnya.
"Saya mohon kebijakan ini (baca: simplifikasi tarif cukai) betul-betul diperhatikan dan kalau perlu ditunda. Kalau saya berpandangan bahwa kebijakan ini sangat merugikan masyarakat Indonesia," kata Firman di Gedung Parlemen Senayan, Kamis (25/10/2018).
Firman mengatakan, jumlah pabrik IHT setiap tahun mengalami penurunan yang sangat drastis. Data jumlah pabrik rokok tiap tahun berkurang alias pabrik gulung tikar. Tahun 2006, jumlah pabrik sebanyak 4.669. Saat ini, jumlah pabrik sebanyak 728.
Memang saat ini ada kekhawatiran yang sangat mendasar dari industri skala menengah dan kecil terkait kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan keberlangsungan IHT. Di sisi lain, posisi kretek 95% ini menguasai pasar dalam negeri.
Menurut legislator senior Golkar itu, tujuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup industri skala menengah ke bawah.
"Ini korbannya akan sangat besar, yaitu tutupnya tenaga kerja, juga kehidupan petani menjadi terancam dan industri skala menengah ke bawah mengalami kebangkrutan. Dan yang paling ngeri adalah akan terjadi monopoli dan oligopoli yang luar biasa dalam industri ini," terangnya.
Firman yang terpilih dari daerah pemilihan Jawa Tengah III meliputi Pati, Grobogan, Rembang, dan Blora, memberikan empat catatan penting yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, harus ada kebijakan yang terkait dengan tarif untuk golongan II ke bawah. Sebab, golongan ini jumlah penguasaan industri ini adalah mayoritas perusahaan yang jauh ukurannya dari keberadaan golongan I yang sudah sangat besar.
"Kedua, dibuatnya regulasi ada pembedaan permberlakuan tarif impor secara progresif bila sudah melebihi 25%. Hal ini bisa menjaga perusahaan kecil menengah mampu bertahan," ujarnya.
Ketiga, melindungi sigaret kretek tangan (SKT) dari pergeseran yang terus menerus terjadi ke sigaret berbasis mesin.
"Padahal tenaga kerjanya itu hampir keseluruhan adalah perempuan dan menariknya masa kerja mereka minimal 10 tahun bahkan ada yang sampai 30 tahun," terangnya.
Keempat, dikembalikan pengawasan "rokok berhadiah" di bawah kontrol Bea Cukai karena dengan BPOM ini, mohon maaf kerjaannya ini tidak pernah mampu meyelesaikan. Oleh karena itu, ini harus dikembalikan kepada Bea Cukai.
"Ini semua masukan agar tidak terjadi monopoli, oligopoli dan tutupnya industri rokok skala menengah dan kecil yang menurut saya industi ini menjadi bamper terhadap perekonomian nasional dimana krisis 1998, rokok menjadi bamper ekonomi," pungkasnya.
(ven)