Bisnis Ritel Mencari Arah di Tengah Kejayaan e-Commerce
A
A
A
JAKARTA - Bisnis ritel di Indonesia sedang mencari arah di tengah kejayaan e-commerce. Untuk itu, diperlukan strategi mumpuni agar dapat mengantisipasi berkembangnya ekonomi digital.
Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada, Hargo Utomo, mengatakan belanja di ritel konvensional tetap tidak bisa ditinggalkan meski ada e-commerce. Sebab, industri ini merupakan ujung dari pemasaran produk.
"Ritel tidak akan pernah mati dan akan bertahan selamanya karena proses akhir dari sebuah bisnis. Perilaku shopping tidak bisa dihapus oleh keberadaan gagdet," ujarnya di Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Menurut Hargo, ritel konvensional bisa memiliki strategi menghadapi e-commerce dengan menggabungkan pemasaran offline dan online. Offline sendiri tidak bisa ditinggal konsumen karena bersifat hiburan.
"Mau coba fitting room di mal tidak bisa dihapus imbas fungsional dan entertainment. Mal tidak hanya shopping, tapi tempat bertemu, berdiskusi di mal," katanya.
Hargo menambahkan, isu disrupsi tidaklah menakutkan. Namun yang paling banyak berubah adalah dari sisi demografi yang tidak bisa dihindari bahwa masyarakat Indonesia semakin menua.
"Lalu ada pergeseran perilaku dari suburban ke urban. Selain itu, punya kebiasaan pengeluaran Rp2 jutaan per bulan, sehingga punya daya beli dan itu perilaku menarik dengan bekal gadget," pungkasnya.
Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada, Hargo Utomo, mengatakan belanja di ritel konvensional tetap tidak bisa ditinggalkan meski ada e-commerce. Sebab, industri ini merupakan ujung dari pemasaran produk.
"Ritel tidak akan pernah mati dan akan bertahan selamanya karena proses akhir dari sebuah bisnis. Perilaku shopping tidak bisa dihapus oleh keberadaan gagdet," ujarnya di Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Menurut Hargo, ritel konvensional bisa memiliki strategi menghadapi e-commerce dengan menggabungkan pemasaran offline dan online. Offline sendiri tidak bisa ditinggal konsumen karena bersifat hiburan.
"Mau coba fitting room di mal tidak bisa dihapus imbas fungsional dan entertainment. Mal tidak hanya shopping, tapi tempat bertemu, berdiskusi di mal," katanya.
Hargo menambahkan, isu disrupsi tidaklah menakutkan. Namun yang paling banyak berubah adalah dari sisi demografi yang tidak bisa dihindari bahwa masyarakat Indonesia semakin menua.
"Lalu ada pergeseran perilaku dari suburban ke urban. Selain itu, punya kebiasaan pengeluaran Rp2 jutaan per bulan, sehingga punya daya beli dan itu perilaku menarik dengan bekal gadget," pungkasnya.
(ven)