Why Millennials Love Fintech?
A
A
A
Milenial adalah “pembunuh berdarah dingin”. Apapun “dibunuhnya” mulai dari department store, CD/DVD, golf, berlian, bir hingga Harley Davidson atau bahkan jam kerja kantoran dari pukul 9 pagi hingga 5 sore (“9 to 5”) dibunuhnya.
Millennials kill everything ! Ketika perusahaan, produk, layanan, olahraga, atau kebiasaan yang sudah established puluhan tahun kini tidak relevan lagi bagi kaum milenial, dengan sendirinya mereka akan tergusur dan akhirnya punah ditelan zaman.
Ketika sharing lifestyle menjadi mainstream kehidupan para milenial, CD/DVD misalnya akan punah karena tak ada yang menggunakan lagi. Ya , itu karena kalangan milenial lebih suka menggunakan layanan streaming seperti Netflix atau Spotify. Bagi mereka access lebih penting ketimbang owning.
Satu lagi korban “pembantaian” milenial adalah bank. Persis seperti dibilang Bill Gates 25 tahun yang lalu bahwa banking is necessary, bank are not. Bukan banking yang dibunuh milenial, tapi bank as we know it, yaitu bank yang tak adaptatif dan tak bisa agile mengikuti pergeseran preferensi dan perilaku kaum milenial.
Pelan tapi pasti kaum milenial mulai melakukan eksodus dari bank konvensional ke layanan fintech . Banyak ragam layanan fintech ini mulai dari layanan pembayaran (Go-pay atau TCash), P2P lending (Amartha atau UangTeman), reksa dana (Bareksa) hingga layanan perencanaan keuangan (Finansialku).
Anyway , kenapa kaum milenial begitu cocok dan menyukai layanan fintech ketimbang bank tradisional? Berikut ini tiga alasannya.
#1. It’s Digital: “More for Less”
Saya menyebut kaum milenial sebagai “generasi susah”. Kenapa? Karena perjalanan hidup mereka sarat dipenuhi krisis yang bertubitubi.
Pertama di usia SMP-SMA orang tua mereka struggle menghadapi krismon 1998 yang membuat ekonomi keluarga begitu sulit.
Kedua, di masa lulus kuliah dan mulai mencari kerja, sekali lagi mereka terempas krisis 2008.
Hidup susah ini mengendap dalam mindset, pola pikir, dan perilaku mereka. Tak hanya itu, setidaknya hingga saat ini, mereka belum banyak punya duit untuk menghidupi diri karena umumnya mereka adalah early jobbers dengan gaji yang masih cekak.
Karena itu setiap pengeluaran yang dia lakukan ditimbang masak-masak untung-ruginya. Mereka hypervalue-oriented consumers. Dengan background kondisi ekonomi yang tak menguntungkan tersebut, mereka cenderung mencari layanan apa pun dengan value maksimal.
Mereka mencari produk dan layanan banking yang more benefit, with less cost (atau singkatnya: more for less). Mereka mencari layanan banking yang cepat, nggak ribet dengan beragam persyaratan dan solutif menyelesaikan persoalan keuangan mereka; tapi dengan fee yang jauh lebih murah dari bank tradisional. Nah, platform digital yang diberikan fintech mampu memberikan solusi more for less yang tak mampu diberikan bank tradisional.
#2. It’s Sharing: “Peer to Peer Matters”
Kaum milenial nyaman dengan gaya hidup berbagi (sharing lifestyle ) karena itu mereka lebih menyukai layanan perbankan yang berbasis peer to peer dan kolaboratif (kokreatif).
Itu sebabnya peer to peer lending yang diberikan oleh fintech misalnya lebih mereka sukai ketimbang tradisional lending services yang diberikan bank tradisional.
Platform marketplace yang mempertemukan pencari pinjaman dan pemberi pinjaman dalam lingkungan pasar yang transparan dan efisien lebih diminati kaum milenial ketimbang pasar yang dikendalikan oleh “rezim” bank tradisional yang regulatedbirokratis , tertutup, dan tak memberikan kebebasan penuh kepada nasabah.
Lingkungan pasar-pasar semacam ini memungkinkan pencari pinjaman dan pemberi pinjaman menemukan “harga terbaik” secara fair, informatif, dan transparan.
Platform marketplace yang berbasis peer to peer adalah solusi cespleng yang diberikan fintech dan belum bisa diberikan oleh bank tradisional. Itu sebabnya saya menyebut model layanan bank tradisional yang ada selama ini tidak millennial-friendly .
#3. It’s Mobile: “My World Is My Handphone”
Kenapa Go-pay begitu sukses menarik minat kaum milenial, sementara layanan yang sama oleh bank tradisional tidak? Kuncinya adalah kemudahan dan kesimpelan. Kenapa mudah dan simpel? Karena semuanya ada di genggaman tangan mereka.
“The world is in my hand,” ucap mereka. Hidup kalangan milenial adalah di handphone , bukan di kartu atau di kantor cabang. Itu sebabnya ketika saya mengatakan:
Millennials kill everything , maka dua hal yang akan “dibunuh” kaum milenial adalah, pertama, kartu kredit, kartu debit dan kartu-kartu yang lain.
Kedua adalah kantor cabang bank. Card will dying... branch will dying.
Di kalangan generasi-generasi sebelumnya (yup, Baby Boomers dan Gen-X), ketika di dompet mereka ada sepuluh kartu kredit dari berbagai bank, mereka begitu bangga dan merasa prestige.
Namun kini kaum milenial tidak demikian. Mereka menginginkan simplicity ketimbang prestige di mana semua transaksi dilakukan di handphone mereka dengan mudah, murah, dan nggak ribet.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
Millennials kill everything ! Ketika perusahaan, produk, layanan, olahraga, atau kebiasaan yang sudah established puluhan tahun kini tidak relevan lagi bagi kaum milenial, dengan sendirinya mereka akan tergusur dan akhirnya punah ditelan zaman.
Ketika sharing lifestyle menjadi mainstream kehidupan para milenial, CD/DVD misalnya akan punah karena tak ada yang menggunakan lagi. Ya , itu karena kalangan milenial lebih suka menggunakan layanan streaming seperti Netflix atau Spotify. Bagi mereka access lebih penting ketimbang owning.
Satu lagi korban “pembantaian” milenial adalah bank. Persis seperti dibilang Bill Gates 25 tahun yang lalu bahwa banking is necessary, bank are not. Bukan banking yang dibunuh milenial, tapi bank as we know it, yaitu bank yang tak adaptatif dan tak bisa agile mengikuti pergeseran preferensi dan perilaku kaum milenial.
Pelan tapi pasti kaum milenial mulai melakukan eksodus dari bank konvensional ke layanan fintech . Banyak ragam layanan fintech ini mulai dari layanan pembayaran (Go-pay atau TCash), P2P lending (Amartha atau UangTeman), reksa dana (Bareksa) hingga layanan perencanaan keuangan (Finansialku).
Anyway , kenapa kaum milenial begitu cocok dan menyukai layanan fintech ketimbang bank tradisional? Berikut ini tiga alasannya.
#1. It’s Digital: “More for Less”
Saya menyebut kaum milenial sebagai “generasi susah”. Kenapa? Karena perjalanan hidup mereka sarat dipenuhi krisis yang bertubitubi.
Pertama di usia SMP-SMA orang tua mereka struggle menghadapi krismon 1998 yang membuat ekonomi keluarga begitu sulit.
Kedua, di masa lulus kuliah dan mulai mencari kerja, sekali lagi mereka terempas krisis 2008.
Hidup susah ini mengendap dalam mindset, pola pikir, dan perilaku mereka. Tak hanya itu, setidaknya hingga saat ini, mereka belum banyak punya duit untuk menghidupi diri karena umumnya mereka adalah early jobbers dengan gaji yang masih cekak.
Karena itu setiap pengeluaran yang dia lakukan ditimbang masak-masak untung-ruginya. Mereka hypervalue-oriented consumers. Dengan background kondisi ekonomi yang tak menguntungkan tersebut, mereka cenderung mencari layanan apa pun dengan value maksimal.
Mereka mencari produk dan layanan banking yang more benefit, with less cost (atau singkatnya: more for less). Mereka mencari layanan banking yang cepat, nggak ribet dengan beragam persyaratan dan solutif menyelesaikan persoalan keuangan mereka; tapi dengan fee yang jauh lebih murah dari bank tradisional. Nah, platform digital yang diberikan fintech mampu memberikan solusi more for less yang tak mampu diberikan bank tradisional.
#2. It’s Sharing: “Peer to Peer Matters”
Kaum milenial nyaman dengan gaya hidup berbagi (sharing lifestyle ) karena itu mereka lebih menyukai layanan perbankan yang berbasis peer to peer dan kolaboratif (kokreatif).
Itu sebabnya peer to peer lending yang diberikan oleh fintech misalnya lebih mereka sukai ketimbang tradisional lending services yang diberikan bank tradisional.
Platform marketplace yang mempertemukan pencari pinjaman dan pemberi pinjaman dalam lingkungan pasar yang transparan dan efisien lebih diminati kaum milenial ketimbang pasar yang dikendalikan oleh “rezim” bank tradisional yang regulatedbirokratis , tertutup, dan tak memberikan kebebasan penuh kepada nasabah.
Lingkungan pasar-pasar semacam ini memungkinkan pencari pinjaman dan pemberi pinjaman menemukan “harga terbaik” secara fair, informatif, dan transparan.
Platform marketplace yang berbasis peer to peer adalah solusi cespleng yang diberikan fintech dan belum bisa diberikan oleh bank tradisional. Itu sebabnya saya menyebut model layanan bank tradisional yang ada selama ini tidak millennial-friendly .
#3. It’s Mobile: “My World Is My Handphone”
Kenapa Go-pay begitu sukses menarik minat kaum milenial, sementara layanan yang sama oleh bank tradisional tidak? Kuncinya adalah kemudahan dan kesimpelan. Kenapa mudah dan simpel? Karena semuanya ada di genggaman tangan mereka.
“The world is in my hand,” ucap mereka. Hidup kalangan milenial adalah di handphone , bukan di kartu atau di kantor cabang. Itu sebabnya ketika saya mengatakan:
Millennials kill everything , maka dua hal yang akan “dibunuh” kaum milenial adalah, pertama, kartu kredit, kartu debit dan kartu-kartu yang lain.
Kedua adalah kantor cabang bank. Card will dying... branch will dying.
Di kalangan generasi-generasi sebelumnya (yup, Baby Boomers dan Gen-X), ketika di dompet mereka ada sepuluh kartu kredit dari berbagai bank, mereka begitu bangga dan merasa prestige.
Namun kini kaum milenial tidak demikian. Mereka menginginkan simplicity ketimbang prestige di mana semua transaksi dilakukan di handphone mereka dengan mudah, murah, dan nggak ribet.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)