Defisit Transaksi Berjalan 2019 Diprediksi Lebih Rendah

Rabu, 28 November 2018 - 17:46 WIB
Defisit Transaksi Berjalan...
Defisit Transaksi Berjalan 2019 Diprediksi Lebih Rendah
A A A
JAKARTA - Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di tahun 2019 kemungkinan akan lebih rendah dibanding 2018. Tahun depan CAD diperkirakan berada di kisaran 2,5% dari produk domestik bruto (PDB).

Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean mengatakan, ada dua penyebab defisit neraca berjalan Indonesia, pertama adalah impor migas dan kedua adalah infrastruktur. Untuk impor migas, sebaiknya pemerintah mulai menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dengan begitu, tekanan impor diperkirakan mulai berkurang di 2019. Sementara untuk infrastruktur, diharapkan pemerintah melakukan penjadwalan ulang temporer terhadap sejumlah proyek infrastruktur untuk menjaga defisit transaksi berjalan yang sangat lebar.

"Pasalnya CAD di Indonesia itu ada dua momok yakni migas dan infrastruktur. Ini yang masih menjadi PR buat kita. Makanya pemerintah harus segera meng-addres CAD," kata Adrian saat Diskusi Media di Jakarta, Rabu (27/11/2018).

Dengan mengacu pada prospek CAD tersebut, maka rentang nilai tukar rupiah di tahun 2019 diperkirakan berada di level Rp14.400-15.200 per USD.

Menurut Adrian, nilai fundamental rupiah bisa dihitung dengan melakukan dua pendekatan. Pertama adalah dengan melalui pendekatan daya beli dan inflasi, dan kedua adalah dengan melakukan pendekatan perbedaan suku bunga.

Sementara bila dilihat secara fundamental, lanjut dia, dari perspektif daya beli dan perbedaan bunga jangka panjang, nilai rupiah yang wajar untuk tahun 2019 sebetulnya berada di kisaran Rp14.300-14.800 per USD.

Namun menurutnya, dengan memasukkan faktor sentimen dan faktor cross-currency movement, maka rentang perdagangan rupiah bisa mencapai Rp14.400-15.200 per USD. Di samping itu, kenaikan suku bunga acuan BI yang diperkirakan berlanjut akan menekan pertumbuhan ekonomi di 2019 menjadi 4,9%.

Sementara, mengenai ekonomi Indonesia, dia menyebut prospek berlanjutnya normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR) sebanyak dua sampai tiga kali pada tahun depan akan menekan pertumbuhan. Kemudian perlambatan ekonomi di China, prospek normalisasi moneter di Zona Eropa, gesekan geopolitik yang berimbas pada harga minyak, serta prospek berlanjutnya perang dagang antara AS dan China.

"Kesemuanya perlu direspon pemerintah lewat penyesuaian kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan. Harapannya agar daya tarik pasar keuangan domestik tetap terjaga," tegasnya.

Menurut dia, jika tahun depan suku bunga acuan FFR naik dua sampai tiga kali dan posisi defisit transaksi berjalan belum membaik, maka BI diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) kearah 6,50-6,75%.

Akan tetapi, kenaikan suku bunga acuan tersebut akan menyebabkan berkurangnya likuiditas di sistem keuangan domestik, naiknya long-term rates, sehingga volatilitas pasar finansial tahun depan akan lebih tinggi dari tahun ini.

"Bila suku bunga acuan BI terus bergerak naik kearah 6,50-6,75%, saya memperkirakan rerata yield obligasi tenor 10 tahun akan berada di kisaran 8,5% di 2019, atau naik sekitar 100 bps dari rerata di 2018," ujar Adrian.

Adapun faktor lain yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan adalah kebijakan fiskal pemerintah yang tidak ekspansif.

"Ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya tax-ratio kita yang kemudian diaksentuasi oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga nilai rupiah namun berdampak pada pelemahan dinamika sektor riil," beber dia.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8695 seconds (0.1#10.140)