Thailand dan Vietnam, Negara Pilihan Pengungsi Perang Dagang
A
A
A
HONG KONG - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih berlangsung tanpa tanda-tanda akan terjadinya gencatan. Kini, dampak berlarutnya perseteruan dagang kedua negara itu semakin tampak nyata.
Hasil wawancara yang dilakukan Reuters pada lebih dari selusin eksekutif perusahaan, pengacara perdagangan dan grup pelobi dari berbagai industri menunjukkan adanya aktivitas luar biasa di seluruh Asia beberapa bulan ini.
Para eksekutif sibuk meminta contoh produk, melakukan kunjungan ke kawasan-kawasan industri, menyewa pengacara hingga mengadakan pertemuan antarpetinggi perusahaan.
Fred Perrotta menghabiskan empat tahun membangun jejaring pemasok dari China untuk produk tas punggungnya. Namun, ketika AS mengumumkan pengenaan tarif bagi barang impor asal China, dia mulai mencari pemasok baru dari negara lain.
Proses tersebut kini sudah sangat jauh sehingga sulit dibalikkan, meski misalnya Presiden Donald Trump dan Xi Jinping tiba-tiba mengumumkan gencatan atas perang dagang tersebut pada KTT G20 yang akan datang.
Perusahaan Perrotta, Tortuga, terlanjur masuk ke fenomena yang disebut pakar industri sebagai pergeseran terbesar dalam rantai pasok lintas batas sejak China bergabung ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) di tahun 2001.
Pergeseran tersebut menciptakan kompetisi ketat untuk mengamankan fasilitas baru di negara tetangga dan membangun ulang rantai pasok di luar China.
"Semuanya cemas dan berlarian ke sana kemari," kata Perrotta seperti dilansir Reuters, Kamis (29/11/2018). "Dalam jangka panjang, kami mungkin akan mengalihkan seluruhnya," tambah dia.
Dalam proses tersebut, Vietnam dan Thailand muncul sebagai negara tujuan pilihan, meski kedua negara itu masih menghadapi kekurangan kapasitas, mulai dari tenaga kerja terampil hingga keterbatasan infrastruktur.
Juni lalu, produsen furnitur Hong Kong Man Wah Holdings membeli pabrik di Vietnam senilai USD68 juta dan awal bulan ini menyatakan akan melipattigakan kapasitas pabrik tersebut pada akhir tahun 2019. "Akuisisi ini untuk memitigasi risiko akibat penerapan tarif," ungkap Man Wah dalam sebuah pernyataan.
Sementara, pengembang kawasan industri di Vietnam BW Industrial menyebutkan pihaknya menerima banyak pertanyaan dari luar sejak Oktober lalu. Bahkan, seluruh pabrik yang dimilikinya kini sudah penuh disewa.
"Para manufaktur tersebut berasal dari seluruh dunia, tapi mereka semua punya pabrik di China dan butuh untuk segera melakukan produksi," ujar Manajer Penjualan BW Industrial Chris Truong kepada Reuters.
Di Thailand, SVI Pcl yang menyediakan solusi elektronik dan manufaktur menyebutkan telah memilih empat kesepakatan baru bernilai sekitar USD100 juta dengan konsumen yang memiliki operasi di China.
"Perang dagang ini bagus buat kami," ungkap CEO Pongsak Lothongkam. "kami didekati oleh begitu banyak perusahaan sehingga kami harus membuat prioritas," ujarnya.
Hal senada dialami KCE Electronics yang merupakan produsen papan sirkut (PCB) terbesar di Asia Tenggara yang telah dikontak sejumlah perusahaan AS yang mencari pemasok baru untuk menggantikan pemasok lama dari China.
"Ini peluang bagus buat kami. Sangat banyak konsumen yang telah mengontak kami menanyakan soal produk dan harga," kata CEO KCE Electronics Pitharn Ongkosit.
Stars Microelectronics Pcl, perusahaan manufaktur elektronik Thailand lainnya juga mengklaim telah memperoleh bisnis baru. "Dua-tiga perusahaan akan segera memindahkan basis produksinya ke kami," ungkap CEO Peerapol Wilaiwongstien.
Kendati demikian, prospek makin memburuknya perang dagang AS-China tak melulu positif bagi negara-negara Asia. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2018 di Asia Tenggara, termasuk Taiwan, Jepang dan Korea Selatan melambat, yang sebagian diakibatkan oleh dampak perang dagang.
Ekspor sirkuit elektronik terintegrasi Thailand misalnya, meski naik hingga 4% ke AS tapi merosot hingga 38% ke China. Sementara, indikator sentimen manufaktur Vietnam pada periode yang sama boleh jadi yang tertinggi di Asia, namun masih jauh di bawah puncak tertingginya.
Persoalan infrastruktur, regulasi yang ketat, serta tenaga terampil juga diperkirakan menjadi masalah bagi negara-negara yang ingin mendulang kesempatan dari dampak perang dagang tersebut.
Hasil wawancara yang dilakukan Reuters pada lebih dari selusin eksekutif perusahaan, pengacara perdagangan dan grup pelobi dari berbagai industri menunjukkan adanya aktivitas luar biasa di seluruh Asia beberapa bulan ini.
Para eksekutif sibuk meminta contoh produk, melakukan kunjungan ke kawasan-kawasan industri, menyewa pengacara hingga mengadakan pertemuan antarpetinggi perusahaan.
Fred Perrotta menghabiskan empat tahun membangun jejaring pemasok dari China untuk produk tas punggungnya. Namun, ketika AS mengumumkan pengenaan tarif bagi barang impor asal China, dia mulai mencari pemasok baru dari negara lain.
Proses tersebut kini sudah sangat jauh sehingga sulit dibalikkan, meski misalnya Presiden Donald Trump dan Xi Jinping tiba-tiba mengumumkan gencatan atas perang dagang tersebut pada KTT G20 yang akan datang.
Perusahaan Perrotta, Tortuga, terlanjur masuk ke fenomena yang disebut pakar industri sebagai pergeseran terbesar dalam rantai pasok lintas batas sejak China bergabung ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) di tahun 2001.
Pergeseran tersebut menciptakan kompetisi ketat untuk mengamankan fasilitas baru di negara tetangga dan membangun ulang rantai pasok di luar China.
"Semuanya cemas dan berlarian ke sana kemari," kata Perrotta seperti dilansir Reuters, Kamis (29/11/2018). "Dalam jangka panjang, kami mungkin akan mengalihkan seluruhnya," tambah dia.
Dalam proses tersebut, Vietnam dan Thailand muncul sebagai negara tujuan pilihan, meski kedua negara itu masih menghadapi kekurangan kapasitas, mulai dari tenaga kerja terampil hingga keterbatasan infrastruktur.
Juni lalu, produsen furnitur Hong Kong Man Wah Holdings membeli pabrik di Vietnam senilai USD68 juta dan awal bulan ini menyatakan akan melipattigakan kapasitas pabrik tersebut pada akhir tahun 2019. "Akuisisi ini untuk memitigasi risiko akibat penerapan tarif," ungkap Man Wah dalam sebuah pernyataan.
Sementara, pengembang kawasan industri di Vietnam BW Industrial menyebutkan pihaknya menerima banyak pertanyaan dari luar sejak Oktober lalu. Bahkan, seluruh pabrik yang dimilikinya kini sudah penuh disewa.
"Para manufaktur tersebut berasal dari seluruh dunia, tapi mereka semua punya pabrik di China dan butuh untuk segera melakukan produksi," ujar Manajer Penjualan BW Industrial Chris Truong kepada Reuters.
Di Thailand, SVI Pcl yang menyediakan solusi elektronik dan manufaktur menyebutkan telah memilih empat kesepakatan baru bernilai sekitar USD100 juta dengan konsumen yang memiliki operasi di China.
"Perang dagang ini bagus buat kami," ungkap CEO Pongsak Lothongkam. "kami didekati oleh begitu banyak perusahaan sehingga kami harus membuat prioritas," ujarnya.
Hal senada dialami KCE Electronics yang merupakan produsen papan sirkut (PCB) terbesar di Asia Tenggara yang telah dikontak sejumlah perusahaan AS yang mencari pemasok baru untuk menggantikan pemasok lama dari China.
"Ini peluang bagus buat kami. Sangat banyak konsumen yang telah mengontak kami menanyakan soal produk dan harga," kata CEO KCE Electronics Pitharn Ongkosit.
Stars Microelectronics Pcl, perusahaan manufaktur elektronik Thailand lainnya juga mengklaim telah memperoleh bisnis baru. "Dua-tiga perusahaan akan segera memindahkan basis produksinya ke kami," ungkap CEO Peerapol Wilaiwongstien.
Kendati demikian, prospek makin memburuknya perang dagang AS-China tak melulu positif bagi negara-negara Asia. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2018 di Asia Tenggara, termasuk Taiwan, Jepang dan Korea Selatan melambat, yang sebagian diakibatkan oleh dampak perang dagang.
Ekspor sirkuit elektronik terintegrasi Thailand misalnya, meski naik hingga 4% ke AS tapi merosot hingga 38% ke China. Sementara, indikator sentimen manufaktur Vietnam pada periode yang sama boleh jadi yang tertinggi di Asia, namun masih jauh di bawah puncak tertingginya.
Persoalan infrastruktur, regulasi yang ketat, serta tenaga terampil juga diperkirakan menjadi masalah bagi negara-negara yang ingin mendulang kesempatan dari dampak perang dagang tersebut.
(fjo)