Kementan Fokus Pembangunan Kluster Berbasis Korporasi Petani
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) akan fokus kepada pengembangan kawasan (kluster) pertanian berbasis korporasi petani dan penguatan infrastruktur pertanian pada 2019.
Hal itu diungkapkan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono pada Diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema "Outlook Agribisnis 2018 dan Proyeksi 2019" di Gedung Pusat Agribisnis Indonesia (PIA) Kementan Jakarta Selatan, Rabu (5/12/2018).
Kasdi mengatakan fokus pembangunan sektor pertanian akan menjadi basis pembangunan pertanian Indonesia 2019-2024. "Ini dilandasi pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional Berbasis Koporasi Petani," ujar Kasdi.
Selain itu, pengembangan infrastruktur akan mempercepat peningkatan produksi dan ekspor pangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Adapun kebijakan operasional meliputi percepatan produksi pangan dan perbanyakan benih, pembangunan embung, dan rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan varietas unggul, pengembangan pertanian organik, hilirisasi pertanian dan fokus kawasan pertanian berbasis korporasi.
Sementara kegiatan tahun depan fokus pada pengembangan benih hasil riset Balitbangtan, percepatan peningkatan bawang putih dan pengembangan komoditas subsitusi impor, Toko Tani Indonesia (TTI) dan KRPL, penyediaan sapi indukan, cetak sawah, optimalisasi lahan rawa, pendidikan vokasi, asuransi usaha tani padi dan ternak sapi, bantuan alsintan, techno park dan science park, serta pengentasan kemiskinan.
Menurutnya, Indonesia juga mempunyai potensi dalam pengembangan lahan rawa. Luas lahan rawa nasional mencapai 34,1 hektare (ha) terdiri dari lahan pasang surut 8,9 juta ha dan lebak 25,2 juta ha. "Seluas 19,2 juta ha sesuai untuk pertanian dan baru 3,7 juta ha sudah dimanfaatkan,” katanya
Dia menyebutkan Kementan akan fokus pemanfaatan lahan rawa di enam provinsi yakni Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, tahun 2019 target produksi padi diproyeksikan 84 juta ton, jagung 33 juta ton, kedelai 2,8 juta ton, bawang merah 1,41 juta ton, cabai 2,29 juta ton, sapi 0,75 juta ton, tebu 2,5 juta ton, kelapa 3,49 juta ton, kakao 0,96 juta ton, kopi 0,78 juta ton dan karet 3,81 juta ton.
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian Hari Priyono menambahkan, Kementan akan melakukan perbaikan layanan yang dibutuhkan petani. Pelayanan pokok utamanya berupa pupuk subsidi, penyuluhan, pengendalian hama penyakit, dan pengaturan air.
"Air menjadi krusial dalam perubahan iklim, maka irigasi menjadi salah satu faktor penting. Apabila kita ingin memperbaiki layanan ke petani, salah satunya pupuk jangan sampai terlambat," jelas Hari.
Dia mengakui, tahun 2019 sektor pertanian masih mengalami banyak tantangan, salah satunya perubahan iklim. Ia mencontohkan, pola tanam padi yang dulu kerap dibagi menjadi dua periode yakni Oktober-Maret dan April-September tidak lagi sepenuhnya dapat dijadikan patokan dalam pengembangan pertanian.
"Sebab di musim hujan seperti saat ini, kita masih menemukan ada juga daerah yang belum mengalami hujan. Inilah perlunya kita menyesuaikan diri dengan kondisi iklim," katanya. Hari menjelaskan, dengan kondisi perubahan iklim tersebut, maka hampir setiap bulan ada saja petani yang menanam padi.
Untuk itu, ia memastikan dari sisi produktivitas tidak ada kendala yang berarti. Namun persoalan muncul ketika sudah masuk ke sektor distribusi. Sebab tidak jarang ditemukan di sejumlah titik atau pasar mengalami kelangkaan bahan pokok.
Sementara, pengamat kebijakan publik Tjipta Lesmana mengapresiasi kinerja Kementan di bawah Andi Amran Sulaiman. Menurut dia, Amran mampu menyetop impor dan memerangi mafia pangan. Menurutnya, tahun 2016 hingga 2017, Kementan telah menyetop mengimpor beras, dan seharusnya tidak perlu lagi rekomendasi impor sebanyak 2 juta ton pada 2018. Sebab panen raya masih terus berlangsung.
"Pada periode lalu 2015, Indonesia pernah mengalami paceklik terpanjang sejarah pertanian, yaitu El Nino. Tapi saat itu justru produksi kita meningkat. Makanya saya heran, kenapa saat musim membaik, justru ada rekomendasi impor. Harga mahal impor, padahal setelah impor harga beras tak turun-turun. Ini kan ada something wrong," pungkasnya.
Hal itu diungkapkan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono pada Diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema "Outlook Agribisnis 2018 dan Proyeksi 2019" di Gedung Pusat Agribisnis Indonesia (PIA) Kementan Jakarta Selatan, Rabu (5/12/2018).
Kasdi mengatakan fokus pembangunan sektor pertanian akan menjadi basis pembangunan pertanian Indonesia 2019-2024. "Ini dilandasi pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional Berbasis Koporasi Petani," ujar Kasdi.
Selain itu, pengembangan infrastruktur akan mempercepat peningkatan produksi dan ekspor pangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Adapun kebijakan operasional meliputi percepatan produksi pangan dan perbanyakan benih, pembangunan embung, dan rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan varietas unggul, pengembangan pertanian organik, hilirisasi pertanian dan fokus kawasan pertanian berbasis korporasi.
Sementara kegiatan tahun depan fokus pada pengembangan benih hasil riset Balitbangtan, percepatan peningkatan bawang putih dan pengembangan komoditas subsitusi impor, Toko Tani Indonesia (TTI) dan KRPL, penyediaan sapi indukan, cetak sawah, optimalisasi lahan rawa, pendidikan vokasi, asuransi usaha tani padi dan ternak sapi, bantuan alsintan, techno park dan science park, serta pengentasan kemiskinan.
Menurutnya, Indonesia juga mempunyai potensi dalam pengembangan lahan rawa. Luas lahan rawa nasional mencapai 34,1 hektare (ha) terdiri dari lahan pasang surut 8,9 juta ha dan lebak 25,2 juta ha. "Seluas 19,2 juta ha sesuai untuk pertanian dan baru 3,7 juta ha sudah dimanfaatkan,” katanya
Dia menyebutkan Kementan akan fokus pemanfaatan lahan rawa di enam provinsi yakni Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, tahun 2019 target produksi padi diproyeksikan 84 juta ton, jagung 33 juta ton, kedelai 2,8 juta ton, bawang merah 1,41 juta ton, cabai 2,29 juta ton, sapi 0,75 juta ton, tebu 2,5 juta ton, kelapa 3,49 juta ton, kakao 0,96 juta ton, kopi 0,78 juta ton dan karet 3,81 juta ton.
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian Hari Priyono menambahkan, Kementan akan melakukan perbaikan layanan yang dibutuhkan petani. Pelayanan pokok utamanya berupa pupuk subsidi, penyuluhan, pengendalian hama penyakit, dan pengaturan air.
"Air menjadi krusial dalam perubahan iklim, maka irigasi menjadi salah satu faktor penting. Apabila kita ingin memperbaiki layanan ke petani, salah satunya pupuk jangan sampai terlambat," jelas Hari.
Dia mengakui, tahun 2019 sektor pertanian masih mengalami banyak tantangan, salah satunya perubahan iklim. Ia mencontohkan, pola tanam padi yang dulu kerap dibagi menjadi dua periode yakni Oktober-Maret dan April-September tidak lagi sepenuhnya dapat dijadikan patokan dalam pengembangan pertanian.
"Sebab di musim hujan seperti saat ini, kita masih menemukan ada juga daerah yang belum mengalami hujan. Inilah perlunya kita menyesuaikan diri dengan kondisi iklim," katanya. Hari menjelaskan, dengan kondisi perubahan iklim tersebut, maka hampir setiap bulan ada saja petani yang menanam padi.
Untuk itu, ia memastikan dari sisi produktivitas tidak ada kendala yang berarti. Namun persoalan muncul ketika sudah masuk ke sektor distribusi. Sebab tidak jarang ditemukan di sejumlah titik atau pasar mengalami kelangkaan bahan pokok.
Sementara, pengamat kebijakan publik Tjipta Lesmana mengapresiasi kinerja Kementan di bawah Andi Amran Sulaiman. Menurut dia, Amran mampu menyetop impor dan memerangi mafia pangan. Menurutnya, tahun 2016 hingga 2017, Kementan telah menyetop mengimpor beras, dan seharusnya tidak perlu lagi rekomendasi impor sebanyak 2 juta ton pada 2018. Sebab panen raya masih terus berlangsung.
"Pada periode lalu 2015, Indonesia pernah mengalami paceklik terpanjang sejarah pertanian, yaitu El Nino. Tapi saat itu justru produksi kita meningkat. Makanya saya heran, kenapa saat musim membaik, justru ada rekomendasi impor. Harga mahal impor, padahal setelah impor harga beras tak turun-turun. Ini kan ada something wrong," pungkasnya.
(fjo)