Kemenkeu Prihatin, Faisal Basri Tuding Rupiah Menguat Karena Utang
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, mengaku prihatin adanya ekonom sekaliber Faisal Basri yang menuding Rupiah menguat karena adanya utang baru.
Menurut Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan setelah semester I 2018, Pemerintah tidak lagi menerbitkan SBN Valas hingga akhir tahun ini untuk menutup APBN 2018.
"Dana siaga dari ADB pun baru merupakan komitmen dan belum ditarik untuk rekonstruksi pasca bencana Palu dan Lombok. Sampai saat ini, dana APBN masih mampu untuk membiayainya dan dana siaga itu hanya bersifat pelengkap saja dan ditarik sewaktu-waktu sangat-sangat diperlukan," tuturnya, Jumat (7/12/2018).
Data DJPPR, lanjutnya, juga mendapati data kepemilikan asing juga menurun dari awal tahun. Jadi cukup mengherankan bagaimana dapat dinyatakan penguatan rupiah sekarang terkait dengan penarikan utang valas.
Menurut Schneider Siahaan, secara teori ada benarnya penarikan utang valas salah satunya akan mempengaruhi BOP dan menguatkan rupiah. Namun kali ini kasusnya beda, kembalinya rupiah ke level di bawah Rp15.000 per dolar AS karena pengaruh dari luar dan dalam.
Pengaruh dari luar salah satunya isu global yang turut melemahkan indeks dolar Amerika Serikat (AS) terutama akibat pernyataan-pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dinilai menenangkan pasar perihal pertemuannya dengan Presiden RRC Xi Jinping pada akhir November ini.
Kemudian tren penurunan harga minyak mentah dunia yang cenderung drastis juga turut mempengaruhi pergerakan rupiah. Akibatnya, mulai bermunculan berbagai ekspektasi akan kemungkinan The Fed yang akan memperlambat kenaikan suku bunganya menjadi tahun depan karena pasar melihat perekonomian global yang bergerak melambat dari perkiraan.
Masyarakat juga tidak perlu mengkhawatirkan atau mencurigai secara berlebihan terhadap tawaran pinjaman bagi bencana alam senilai hingga USD1 miliar atau sekitar Rp15 triliun dari World Bank (Bank Dunia). Pinjaman jangka panjang itu serupa pinjaman darurat atau siaga.
"Bentuk pinjamannya namanya Catastrophic Deferred Drawdown Option (Cat DDO). Jadi sifatnya standby loan yang ditarik ketika trigger atau pemicu terpenuhi yakni saat bencana alam terjadi. Jadi bisa ditarik ketika triggernya terpenuhi," tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, meski terjadi bencana sekalipun tidak serta merta pinjaman tersebut harus diambil karena pemerintah menilai kas negara masih mampu menanggung ketersediaan dana akibat musibah bencana alam.
"Sekali lagi, sifat pinjaman ini serupa pinjaman darurat. Tidak menggunakan jaminan. Jika pinjaman tidak ditarik maka tidak menjadi utang baru bagi pemerintah Indonesia. Jadi tawaran pinjaman World Bank itu bukan komitmen utang baru," tegas Schneider.
Kementerian Keuangan menegaskan ajang Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali yang sukses digelar beberapa waktu lalu tidak menghasilkan satu pun komitmen pinjaman baru bagi Indonesia.
Tawaran pinjaman saat terjadi bencana alam bagi Indonesia menjadi perbincangan setelah disampaikan oleh CEO World Bank Kristalina Georgieva pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank. Tawaran pinjaman diberikan untuk membantu pemulihan dan rekonstruksi daerah yang terdampak bencana alam, termasuk bagi korban gempa di Lombok dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Bantuan pinjaman akan dicairkan sesuai permintaan pemerintah Indonesia. Bantuan pendanaan itu juga melengkapi hibah yang sebelumnya diberikan senilai USD5 juta atau sekitar Rp75 miliar untuk asistensi teknis dalam perencanaan terperinci untuk menjamin pemulihan pasca rekonstruksi dan melibatkan masyarakat.
Menurut Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan setelah semester I 2018, Pemerintah tidak lagi menerbitkan SBN Valas hingga akhir tahun ini untuk menutup APBN 2018.
"Dana siaga dari ADB pun baru merupakan komitmen dan belum ditarik untuk rekonstruksi pasca bencana Palu dan Lombok. Sampai saat ini, dana APBN masih mampu untuk membiayainya dan dana siaga itu hanya bersifat pelengkap saja dan ditarik sewaktu-waktu sangat-sangat diperlukan," tuturnya, Jumat (7/12/2018).
Data DJPPR, lanjutnya, juga mendapati data kepemilikan asing juga menurun dari awal tahun. Jadi cukup mengherankan bagaimana dapat dinyatakan penguatan rupiah sekarang terkait dengan penarikan utang valas.
Menurut Schneider Siahaan, secara teori ada benarnya penarikan utang valas salah satunya akan mempengaruhi BOP dan menguatkan rupiah. Namun kali ini kasusnya beda, kembalinya rupiah ke level di bawah Rp15.000 per dolar AS karena pengaruh dari luar dan dalam.
Pengaruh dari luar salah satunya isu global yang turut melemahkan indeks dolar Amerika Serikat (AS) terutama akibat pernyataan-pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dinilai menenangkan pasar perihal pertemuannya dengan Presiden RRC Xi Jinping pada akhir November ini.
Kemudian tren penurunan harga minyak mentah dunia yang cenderung drastis juga turut mempengaruhi pergerakan rupiah. Akibatnya, mulai bermunculan berbagai ekspektasi akan kemungkinan The Fed yang akan memperlambat kenaikan suku bunganya menjadi tahun depan karena pasar melihat perekonomian global yang bergerak melambat dari perkiraan.
Masyarakat juga tidak perlu mengkhawatirkan atau mencurigai secara berlebihan terhadap tawaran pinjaman bagi bencana alam senilai hingga USD1 miliar atau sekitar Rp15 triliun dari World Bank (Bank Dunia). Pinjaman jangka panjang itu serupa pinjaman darurat atau siaga.
"Bentuk pinjamannya namanya Catastrophic Deferred Drawdown Option (Cat DDO). Jadi sifatnya standby loan yang ditarik ketika trigger atau pemicu terpenuhi yakni saat bencana alam terjadi. Jadi bisa ditarik ketika triggernya terpenuhi," tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, meski terjadi bencana sekalipun tidak serta merta pinjaman tersebut harus diambil karena pemerintah menilai kas negara masih mampu menanggung ketersediaan dana akibat musibah bencana alam.
"Sekali lagi, sifat pinjaman ini serupa pinjaman darurat. Tidak menggunakan jaminan. Jika pinjaman tidak ditarik maka tidak menjadi utang baru bagi pemerintah Indonesia. Jadi tawaran pinjaman World Bank itu bukan komitmen utang baru," tegas Schneider.
Kementerian Keuangan menegaskan ajang Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali yang sukses digelar beberapa waktu lalu tidak menghasilkan satu pun komitmen pinjaman baru bagi Indonesia.
Tawaran pinjaman saat terjadi bencana alam bagi Indonesia menjadi perbincangan setelah disampaikan oleh CEO World Bank Kristalina Georgieva pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank. Tawaran pinjaman diberikan untuk membantu pemulihan dan rekonstruksi daerah yang terdampak bencana alam, termasuk bagi korban gempa di Lombok dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Bantuan pinjaman akan dicairkan sesuai permintaan pemerintah Indonesia. Bantuan pendanaan itu juga melengkapi hibah yang sebelumnya diberikan senilai USD5 juta atau sekitar Rp75 miliar untuk asistensi teknis dalam perencanaan terperinci untuk menjamin pemulihan pasca rekonstruksi dan melibatkan masyarakat.
(ven)