Industri Keramik Bangkit Setelah 3 Tahun Tertekan Produk Impor
A
A
A
JAKARTA - PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk (IKAI) menyatakan, industri keramik nasional mulai bangkit setelah tiga tahun tertekan banjir produk impor dari China. Dalam periode itupun, perusahaan mencatat kinerja merah.
Presiden Direktur Intikeramik Alamasri Industri Yohas Rafli mengatakan, periode kelam itu mulai berakhir tahun ini. Kinerja perusahaan mulai menghijau seiring kebijakan pemerintah menaikkan bea impor keramik.
"Pada 2015-2017, saya bisa bilang mengalami tekanan berat dari China. Mereka itu 80% kontribusi keramik di Indonesia, kalau kita lihat angkanya oleh produk China, margin kita kalah," ujarnya di Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Yohas menjelaskan, industri keramik nasional punya beban cukup berat dari kurs dan energi. Disaat dolar Amerika Serikat (USD) menguat periode tersebut, biaya energi naik.
"Saat dolar turun (tiga tahun terakhir), impor masuk dari China. Lalu saat dolar naik sekarang, impor keramik turun, barang dari China bea masuk ditambah ini ada windfall profit dari kebijakan pemerintah," katanya.
Menurutnya, sekarang industri keramik mulai masuk ke kompetisi yang adil dengan barang impor. Harus sebanding karena di China biaya energinya murah.
"Kita pakai indeks dolar untuk harga gas, di China tidak. Pada 2019, kita genjot produksi," pungkasnya.
Sebelumnya, kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap impor barang ubin dan paving, ubin perapian, dan ubin dinding akibat melonjaknya jumlah impor produk tersebut. Penetapan ini dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 973/M-DAG/SD/8/2018, pada 3 Agustus 2018.
Adapun tarif BMTP yang dikenakan yaitu Periode Tahun Pertama (12 Oktober 2018/11 Oktober 2019) sebesar 23%; Periode Tahun Kedua (12 Oktober 2019-11 Oktober 2020) sebesar 21%; dan Periode Tahun Ketiga (12 Oktober 2020-11 Oktober 2021) sebesar 19%.
Presiden Direktur Intikeramik Alamasri Industri Yohas Rafli mengatakan, periode kelam itu mulai berakhir tahun ini. Kinerja perusahaan mulai menghijau seiring kebijakan pemerintah menaikkan bea impor keramik.
"Pada 2015-2017, saya bisa bilang mengalami tekanan berat dari China. Mereka itu 80% kontribusi keramik di Indonesia, kalau kita lihat angkanya oleh produk China, margin kita kalah," ujarnya di Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Yohas menjelaskan, industri keramik nasional punya beban cukup berat dari kurs dan energi. Disaat dolar Amerika Serikat (USD) menguat periode tersebut, biaya energi naik.
"Saat dolar turun (tiga tahun terakhir), impor masuk dari China. Lalu saat dolar naik sekarang, impor keramik turun, barang dari China bea masuk ditambah ini ada windfall profit dari kebijakan pemerintah," katanya.
Menurutnya, sekarang industri keramik mulai masuk ke kompetisi yang adil dengan barang impor. Harus sebanding karena di China biaya energinya murah.
"Kita pakai indeks dolar untuk harga gas, di China tidak. Pada 2019, kita genjot produksi," pungkasnya.
Sebelumnya, kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap impor barang ubin dan paving, ubin perapian, dan ubin dinding akibat melonjaknya jumlah impor produk tersebut. Penetapan ini dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 973/M-DAG/SD/8/2018, pada 3 Agustus 2018.
Adapun tarif BMTP yang dikenakan yaitu Periode Tahun Pertama (12 Oktober 2018/11 Oktober 2019) sebesar 23%; Periode Tahun Kedua (12 Oktober 2019-11 Oktober 2020) sebesar 21%; dan Periode Tahun Ketiga (12 Oktober 2020-11 Oktober 2021) sebesar 19%.
(fjo)