Transaksi Remitansi dari Pekerja Migran Indonesia Capai USD8,8 M
A
A
A
SURABAYA - Transaksi pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia (remitansi) dari pekerja migran menghasilkan pendapatan devisa mencapai USD8,8 miliar atau sekitar Rp127 triliun. Pertumbuhan devisa tersebut diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan tren peningkatan permintaan di negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia.
"Namun, angka sebesar USD8,8 miliar ini masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Filipina yang sudah mencapai USD24 miliar," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng dalam sambutan seminar dengan tema "Membuka Akses Layanan Keuangan Melalui Optimalisasi Layanan Remitansi" di Surabaya, Jumat (14/12/2018).
Menurut dia, remitansi ini seharusnya bisa lebih besar dibandingkan negara lainnya. Pasalnya remitansi ini dapat mendorong sektor jasa yang akan membantu memperbaiki modal dan finansial di defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Rendahnya remitensi dari Pekerja Migran Indonesia disebabkan tingkat masyarakat yang sudah memiliki rekening di bank (inklusi keuangan) di Indonesia masih rendah. Saat ini, inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 49% dari target tingkat inklusivitas keuangan yang sebesar 75%.
Di samping itu, BI memperkirakan masih terdapat sebesar 7% remitansi Pekerja Migran Indonesia yang dilakukan melalui jasa penitipan kepada orang yang dipercaya atau disebut praktik Hawala. Dengan demikian, masih adanya permasalahan dan tantangan dari sisi makro mengenai pembenahan di bidang remitensi.
Tantangan lain adalah, meski 62% sistem remitansi telah berjalan secara nontunai tetapi sebesar 30% dana remitansi masih tidak masuk ke rekening sehingga ditarik secara tunai seluruhnya. "Ini juga yang menjadi salah satu faktor rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap lembaga keuangan," katanya.
Meski demikian, ada beberapa langkah yang dilakukan BI untuk mendukung pengentasan kemiskinan sekaligus meningkatkan inklusivitas keuangan diantaranya pertama, bersama dengan pemerintah menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang telah diluncurkan Presiden Joko Widodo akhir 2016 lalu.
Kedua, optimalisasi agen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk memberikan jasa keuangan kepada masyarakat di seluruh pelosok wilayah Indonesia.
Sugeng melanjutkan, potensi pengembangan kanal remitansi juga datang dari Pesantren. Badan usaha yang dimiliki Pesantren misalnya minimarket atau BMT (Baitul Maal wa Tamwil) juga dapat dikembangkan sebagai salah satu titik penerimaan dana remitansi.
"Tentunya, dalam hal badan usaha milik Pesantren bekerja sama dengan penyedia layanan remitansi, perlu dijaga dan diperhatikan prinsip-prinsip dan nilai syariah-nya. Rambu-rambu syariah, mulai dari akad, syarat, rukun, hukum, administrasi pajak, akuntansi, hingga audit, perlu menjadi prioritas utama," beber dia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sambungnya, potensi pengembangan remitansi yang berkolaborasi dengan badan usaha milik pesantren memiliki potensi yang sangat tesar untuk tumbuh dan terus berkembang.
Kepala Departemen Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional BI Pungky Purnomo Wibowo menambahkan, bisnis remitansi di Indonesia perlu didorong melalui sebuah regulasi yang mendukung pelayanan.
Dia pun berharap, layanan remitansi ini dapat menjadi semakin baik yang dicerminkan dengan skema remitansi yang lebih efisien, peningkatan kecepatan dana sampai ke rekening penerima, serta kemudahan Pekerja Migran Indonesia menemukan collecting point atau tempat pengiriman uang.
"Namun, angka sebesar USD8,8 miliar ini masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Filipina yang sudah mencapai USD24 miliar," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng dalam sambutan seminar dengan tema "Membuka Akses Layanan Keuangan Melalui Optimalisasi Layanan Remitansi" di Surabaya, Jumat (14/12/2018).
Menurut dia, remitansi ini seharusnya bisa lebih besar dibandingkan negara lainnya. Pasalnya remitansi ini dapat mendorong sektor jasa yang akan membantu memperbaiki modal dan finansial di defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Rendahnya remitensi dari Pekerja Migran Indonesia disebabkan tingkat masyarakat yang sudah memiliki rekening di bank (inklusi keuangan) di Indonesia masih rendah. Saat ini, inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 49% dari target tingkat inklusivitas keuangan yang sebesar 75%.
Di samping itu, BI memperkirakan masih terdapat sebesar 7% remitansi Pekerja Migran Indonesia yang dilakukan melalui jasa penitipan kepada orang yang dipercaya atau disebut praktik Hawala. Dengan demikian, masih adanya permasalahan dan tantangan dari sisi makro mengenai pembenahan di bidang remitensi.
Tantangan lain adalah, meski 62% sistem remitansi telah berjalan secara nontunai tetapi sebesar 30% dana remitansi masih tidak masuk ke rekening sehingga ditarik secara tunai seluruhnya. "Ini juga yang menjadi salah satu faktor rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap lembaga keuangan," katanya.
Meski demikian, ada beberapa langkah yang dilakukan BI untuk mendukung pengentasan kemiskinan sekaligus meningkatkan inklusivitas keuangan diantaranya pertama, bersama dengan pemerintah menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang telah diluncurkan Presiden Joko Widodo akhir 2016 lalu.
Kedua, optimalisasi agen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk memberikan jasa keuangan kepada masyarakat di seluruh pelosok wilayah Indonesia.
Sugeng melanjutkan, potensi pengembangan kanal remitansi juga datang dari Pesantren. Badan usaha yang dimiliki Pesantren misalnya minimarket atau BMT (Baitul Maal wa Tamwil) juga dapat dikembangkan sebagai salah satu titik penerimaan dana remitansi.
"Tentunya, dalam hal badan usaha milik Pesantren bekerja sama dengan penyedia layanan remitansi, perlu dijaga dan diperhatikan prinsip-prinsip dan nilai syariah-nya. Rambu-rambu syariah, mulai dari akad, syarat, rukun, hukum, administrasi pajak, akuntansi, hingga audit, perlu menjadi prioritas utama," beber dia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sambungnya, potensi pengembangan remitansi yang berkolaborasi dengan badan usaha milik pesantren memiliki potensi yang sangat tesar untuk tumbuh dan terus berkembang.
Kepala Departemen Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional BI Pungky Purnomo Wibowo menambahkan, bisnis remitansi di Indonesia perlu didorong melalui sebuah regulasi yang mendukung pelayanan.
Dia pun berharap, layanan remitansi ini dapat menjadi semakin baik yang dicerminkan dengan skema remitansi yang lebih efisien, peningkatan kecepatan dana sampai ke rekening penerima, serta kemudahan Pekerja Migran Indonesia menemukan collecting point atau tempat pengiriman uang.
(fjo)