Andalan Penerimaan Negara, Industri Tembakau Terganggu Perda KTR
A
A
A
JAKARTA - Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan industri padat karya dan tenaga kerja dengan sumbangsih besar bagi penerimaan negara. Sayangnya, di sisi lain baik produk yang berupa rokok hingga industrinya kerap dibatasi berbagai aturan hingga dikecam untuk dihilangkan.
Dalam special dialogue “Kebijakan Industri Hasil Tembakau: Hidup Diganggu, Mati Tak Boleh”, Senin (17/12/2018), sejumlah pembicara sepakat bahwa bahwa industri ini memberi penerimaan negara yang cukup besar dibandingkan sektor lain. Para pembicara yakni Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Haryanto, Asisten Deputi Urusan Industri Kementerian Perindustrian Atong Soekirman dan Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati,
Nirwala mengatakan, IHT merupakan andalan penerimaan Negara. Selain itu, yang bergantung kepada industri ini sangat banyak yakni 6,1 juta tenaga kerja.
“Kalau IHT ini dihapus di 2020 misalnya, terus akan dikemanakan jutaan orang ini? Jika melihat penelitiannya Drajad Wibowo, 1% pertumbuhan ekonomi (angka moderat) itu harus bisa membuka lapangan pekerjaan sebanyak 300.000 orang, kalau pabrik rokok ditutup harus diberikan lapangan kerja baru, maka pertumbuhan ekonomi harus 20%, belum ditambah 5,4% pertumbuhan per tahun,” katanya.
Jika dilihat lebih dalam, penerimaan negara dari industri mencapai Rp148 triliun. Sehingga jika industri ini dihapus semua unsur harus duduk bersama dan mencari solusi penggantinya bagi penerimaan negara.
“Rp1 triliun dari penerimaan itu berguna untuk 1 juta anak sekolah lewat BOS, membantu ibu melahirkan 1,5 juta orang, dan lainnya. Kalau penerimaan ini hilang maka semua sektor harus bicara dan cari solusinya,” ujarnya.
Sementara itu, kontribusi IHT terhadap fiskal sangat besar yakni mencapai 61,4 %. Sedangkan jasa keuangan hanya berada di urutan kedua sekitar 26,4 %. “Sehingga kita tidak bisa serta merta menyebut industri ini harus dihilangkan atau lainnya,” tuturnya.
Menghadapi 2019, terdapat empat pilar yang sedang dihadapi industri IHT. Masalah pembatasan konsumsi, keberlangsungan industri, penerimaan negara dan pemberantasan rokok ilegal. Sejumlah peraturan pemerintah daerah atau perda juga jadi batu sandungan bagi keberlangsungan industri padat modal ini.
Perda Kawasan Tanpa Rokok
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor yang disebut-sebut telah disahkan bertentangan dengan PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tidak boleh bertentangan dengan nilai umum dan kesusilaan,” kata Kepala Seksi Wilayah IV B Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri Wahyu Perdana Putra di gedung BEI di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Kemendagri memastikan tata kelola Perda KTR yang telah dikeluarkan pemda telah sesuai dengan PP No 109/2010. Masalahnya saat ini Perda KTR tersebut belum sesuai akan kebutuhan masyarakat.
Melihat hal itu, Wahyu menilai Perda KTR bisa saja dibatalkan. Namun dalam aturan tersebut terdapat ruang untuk pengawasan dan pembinaan masyarakat agar hidup sehat.
Dalam pelaksanaannya, Perda KTR ternyata ikut menjadi masalah bagi para pelaku usaha. Misalnya, pelarangan pemajangan produk rokok di toko-toko ritel di Bogor. Padahal, peraturan nasional, aturan yang wajib menjadi acuan dalam menyusun perda KTR justru tidak melarang hal tersebut.
Perda KTR Kota Bogor yang melarang pemajangan produk tembakau atau rokok di toko-toko ritel modern menuai protes dari berbagai kalangan. Termasuk warga yang memiliki usaha di Kota Bogor.
“Perda yang tidak sesuai dengan peraturan nasional jelas menimbulkan kebingungan di lapangan. Kami tidak memiliki aturan main yang jelas, karena di level nasional (pemajangan produk rokok) boleh, sementara di level daerah dilarang,” kata Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Gunawan Baskoro.
Dalam special dialogue “Kebijakan Industri Hasil Tembakau: Hidup Diganggu, Mati Tak Boleh”, Senin (17/12/2018), sejumlah pembicara sepakat bahwa bahwa industri ini memberi penerimaan negara yang cukup besar dibandingkan sektor lain. Para pembicara yakni Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Haryanto, Asisten Deputi Urusan Industri Kementerian Perindustrian Atong Soekirman dan Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati,
Nirwala mengatakan, IHT merupakan andalan penerimaan Negara. Selain itu, yang bergantung kepada industri ini sangat banyak yakni 6,1 juta tenaga kerja.
“Kalau IHT ini dihapus di 2020 misalnya, terus akan dikemanakan jutaan orang ini? Jika melihat penelitiannya Drajad Wibowo, 1% pertumbuhan ekonomi (angka moderat) itu harus bisa membuka lapangan pekerjaan sebanyak 300.000 orang, kalau pabrik rokok ditutup harus diberikan lapangan kerja baru, maka pertumbuhan ekonomi harus 20%, belum ditambah 5,4% pertumbuhan per tahun,” katanya.
Jika dilihat lebih dalam, penerimaan negara dari industri mencapai Rp148 triliun. Sehingga jika industri ini dihapus semua unsur harus duduk bersama dan mencari solusi penggantinya bagi penerimaan negara.
“Rp1 triliun dari penerimaan itu berguna untuk 1 juta anak sekolah lewat BOS, membantu ibu melahirkan 1,5 juta orang, dan lainnya. Kalau penerimaan ini hilang maka semua sektor harus bicara dan cari solusinya,” ujarnya.
Sementara itu, kontribusi IHT terhadap fiskal sangat besar yakni mencapai 61,4 %. Sedangkan jasa keuangan hanya berada di urutan kedua sekitar 26,4 %. “Sehingga kita tidak bisa serta merta menyebut industri ini harus dihilangkan atau lainnya,” tuturnya.
Menghadapi 2019, terdapat empat pilar yang sedang dihadapi industri IHT. Masalah pembatasan konsumsi, keberlangsungan industri, penerimaan negara dan pemberantasan rokok ilegal. Sejumlah peraturan pemerintah daerah atau perda juga jadi batu sandungan bagi keberlangsungan industri padat modal ini.
Perda Kawasan Tanpa Rokok
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor yang disebut-sebut telah disahkan bertentangan dengan PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tidak boleh bertentangan dengan nilai umum dan kesusilaan,” kata Kepala Seksi Wilayah IV B Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri Wahyu Perdana Putra di gedung BEI di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Kemendagri memastikan tata kelola Perda KTR yang telah dikeluarkan pemda telah sesuai dengan PP No 109/2010. Masalahnya saat ini Perda KTR tersebut belum sesuai akan kebutuhan masyarakat.
Melihat hal itu, Wahyu menilai Perda KTR bisa saja dibatalkan. Namun dalam aturan tersebut terdapat ruang untuk pengawasan dan pembinaan masyarakat agar hidup sehat.
Dalam pelaksanaannya, Perda KTR ternyata ikut menjadi masalah bagi para pelaku usaha. Misalnya, pelarangan pemajangan produk rokok di toko-toko ritel di Bogor. Padahal, peraturan nasional, aturan yang wajib menjadi acuan dalam menyusun perda KTR justru tidak melarang hal tersebut.
Perda KTR Kota Bogor yang melarang pemajangan produk tembakau atau rokok di toko-toko ritel modern menuai protes dari berbagai kalangan. Termasuk warga yang memiliki usaha di Kota Bogor.
“Perda yang tidak sesuai dengan peraturan nasional jelas menimbulkan kebingungan di lapangan. Kami tidak memiliki aturan main yang jelas, karena di level nasional (pemajangan produk rokok) boleh, sementara di level daerah dilarang,” kata Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Gunawan Baskoro.
(poe)