Konflik Dagang AS-China Masih Akan Mewarnai Pasar Modal 2019
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2018 segera berakhir, pasar pun menanti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di tahun 2019. Analis Senior CSA Research Institue, Reza Priyambada, menilai pergerakan IHSG tahun depan tetap akan dipengaruhi oleh sentimen global.
Cermat dia, diantaranya masih adanya potensi konflik dagang Amerika Serikat dengan Republik Rakyat China, dimana kedua pemimpin negara belum melihat tanda-tanda melunak.
Beberapa waktu lalu, dalam pertemuan G-20 Summit di Buenos Aires, Argentina, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu untuk membahas kerjasama perdagangan lebih lanjut. Akan tetapi, yang dihasilkan salah satunya hanya penundaan untuk pengenaan tarif impor bagi keduanya.
"Hal ini menandakan masih adanya potensi pengenaan tarif impor lebih lanjut. Apalagi jika melihat ambisi Presiden Trump untuk membuat surplus perdagangannya dengan China," ujar Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada di Jakarta, Sabtu (29/12/2018).
Reza menjelaskan, akibat saling pengenaan tarif diantara keduanya membuat industri dan manufaktur di kedua negara tersebut melemah yang berujung pada melambatnya pertumbuhan ekonominya. Jika kondisi ini terus berulang maka bukan tidak mungkin akan mempengaruhi perkembangan ekonomi global.
Tidak hanya itu, persepsi akan kekhawatiran melambatnya ekonomi global akan mempengaruhi secara psikologis pelaku pasar yang pada akhirnya membuat aksi jual kerap terjadi.
Selain itu, rencana kebijakan The Fed untuk kembali menaikan suku bunganya. Baru-baru ini muncul di berbagai pemberitaan global adanya rencana Presiden Trump untuk memecat Gubernur The Fed Jerome Powell atas kebijakannya telah menaikan suku bunganya sebanyak empat kali di tahun ini.
Presiden Trump berkilah bahwa pertumbuhan ekonomi AS melambat atas kebijakan Gubernur Powell. Sementara itu, dari sisi Gubernur Powell, kebijakan untuk menaikan suku bunga The Fed dengan pertimbangan ekonomi AS akan mengalami peningkatan.
"Ditopang oleh meningkatnya penyerapan tenaga kerja di berbagi sektor, bertumbuhnya permintaan, yang nantinya berimbas pada kenaikan kegiatan pabrikan yang berujung pada peningkatan inflasi. Di tahun 2019, akan menjadi penentuan apakah The Fed akan kembali menaikan suku bunganya sebanyak 2-3 kali atau masalah personal Presiden Trump dan Gubernur Powell yang lebih ditonjolkan," pungkas Reza.
Cermat dia, diantaranya masih adanya potensi konflik dagang Amerika Serikat dengan Republik Rakyat China, dimana kedua pemimpin negara belum melihat tanda-tanda melunak.
Beberapa waktu lalu, dalam pertemuan G-20 Summit di Buenos Aires, Argentina, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu untuk membahas kerjasama perdagangan lebih lanjut. Akan tetapi, yang dihasilkan salah satunya hanya penundaan untuk pengenaan tarif impor bagi keduanya.
"Hal ini menandakan masih adanya potensi pengenaan tarif impor lebih lanjut. Apalagi jika melihat ambisi Presiden Trump untuk membuat surplus perdagangannya dengan China," ujar Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada di Jakarta, Sabtu (29/12/2018).
Reza menjelaskan, akibat saling pengenaan tarif diantara keduanya membuat industri dan manufaktur di kedua negara tersebut melemah yang berujung pada melambatnya pertumbuhan ekonominya. Jika kondisi ini terus berulang maka bukan tidak mungkin akan mempengaruhi perkembangan ekonomi global.
Tidak hanya itu, persepsi akan kekhawatiran melambatnya ekonomi global akan mempengaruhi secara psikologis pelaku pasar yang pada akhirnya membuat aksi jual kerap terjadi.
Selain itu, rencana kebijakan The Fed untuk kembali menaikan suku bunganya. Baru-baru ini muncul di berbagai pemberitaan global adanya rencana Presiden Trump untuk memecat Gubernur The Fed Jerome Powell atas kebijakannya telah menaikan suku bunganya sebanyak empat kali di tahun ini.
Presiden Trump berkilah bahwa pertumbuhan ekonomi AS melambat atas kebijakan Gubernur Powell. Sementara itu, dari sisi Gubernur Powell, kebijakan untuk menaikan suku bunga The Fed dengan pertimbangan ekonomi AS akan mengalami peningkatan.
"Ditopang oleh meningkatnya penyerapan tenaga kerja di berbagi sektor, bertumbuhnya permintaan, yang nantinya berimbas pada kenaikan kegiatan pabrikan yang berujung pada peningkatan inflasi. Di tahun 2019, akan menjadi penentuan apakah The Fed akan kembali menaikan suku bunganya sebanyak 2-3 kali atau masalah personal Presiden Trump dan Gubernur Powell yang lebih ditonjolkan," pungkas Reza.
(ven)