Sekarang Trump Memenangkan Perang Ekonomi Melawan China, Besok?

Selasa, 08 Januari 2019 - 04:46 WIB
Sekarang Trump Memenangkan Perang Ekonomi Melawan China, Besok?
Sekarang Trump Memenangkan Perang Ekonomi Melawan China, Besok?
A A A
WASHINGTON - Genderang perang tarif yang ditabuh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Maret 2018 telah melukai perekonomian Republik Rakyat China di tahun lalu. Melansir Reuters, Selasa (8/1/2019), People's Bank of China melansir cadangan devisa mereka turun USD67,24 miliar menjadi USD3,073 triliun. Berbanding tahun 2017 yang meningkat USD129,4 miliar yang mencapai USD3,14 triliun.

Selain itu, mata uang yuan China anjlok 5,3% melawan dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang tahun 2018.

Kepada awak media, Presiden Trump mengatakan melemahnya ekonomi China akan membuat mereka "tunduk" untuk bernegosiasi. "Saya pikir China ingin menyelesaikannya (negosiasi). Ekonomi mereka saat ini tidak baik. Saya pikir hal ini akan membuat mereka bernegosiasi," ujarnya di Gedung Putih.

Namun, sejumlah ekonom mengatakan jika konflik dagang berlarut-larut, keadaan bisa saja berubah. Bila saat ini, Trump yang memenangkan perang ekonomi, di masa kemudian, hal tersebut bisa berubah.

Mengutip dari CNBC, Selasa (8/1/2019), Bank of America Merrill Lynch menilai ekonomi China kemungkinan bakal pulih di paruh kedua tahun 2019. Pemerintah China menyatakan siap melakukan stimulus besar-besaran untuk menghadapi dampak dari konflik dagang melawan AS.

Sementara, pertumbuhan ekonomi AS pada paruh kedua tahun ini diperkirakan bakal melambat, dengan estimasi pertumbuhan sekira 2%. Hal ini disebabkan stimulus dari pemotongan pajak, pengetatan moneter dengan kenaikan suku bunga sudah mulai berkurang. Dan ditambah masalah government shutdown yang berisiko menurunkan kepercayaan investor dan publik.

Adapun negosiator dari kedua negara akan melakukan pertemuan di Beijing pada pekan ini. Komentar positif di sekitar pembicaraan akan membantu pasar menjadi stabil.

"Sejauh ini, konflik dagang berdampak jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi China dibandingkan pertumbuhan ekonomi AS. Tapi itu bisa berubah pada musim semi mendatang," tulis ekonom di Bank of America Merrill Lynch.

Bank of America Merrill Lynch melanjutkan, selama ini, konflik dagang telah meningkatkan kepercayaan terhadap AS, seperti kepercayaan konsumen, bisnis dan investor. Namun ketidakpastian kebijakan di AS bisa berdampak terhadap berlarutnya konflik dagang.

Dan China masih memiliki banyak ruang untuk melonggarkan kebijakan dalam menghadapi konflik dagang. Pekan lalu, China menerapkan pemotongan persyaratan cadangan bank dan langkah lebih banyak lagi.

"China akan menggunakan seluruh daya untuk meningkatkan stimulus. Seperti pelonggaran moneter dan kredit, melemahkan mata uang, dan melakukan pemotongan pajak," tulis para ekonom di Bank of America Merrill Lynch.

Sementara, kata para ekonom tersebut, AS memiliki ruang terbatas untuk melonggarkan kebijakan. Kebijakan fiskal terjebak dalam kemacetan akibat government shutdown.

Ekonom global dari Citigroup, Cesar Rojas, mengatakan agar tidak berbalik keadaan. Sekarang merupakan peluang untuk melakukan kesepakatan, disebabkan saat ini pertumbuhan ekonomi China masih melemah. Meski tidak ada jaminan kesepakatan akan tercapai.

"Masih ada peluang bagi AS dan China untuk mencapai kesepakatan. Pertumbuhan ekonomi yang moderat di China dan pasar saham yang telah jatuh di AS dan China, ini waktunya membuka peluang. Jika tidak mungkin akan segera tertutup," ujarnya.

Rojas menambahkan, saar ini ekonomi AS masih kuat, memberinya lebih banyak pengaruh terhadap China, dimana stimulus RRC sejauh ini gagal membendung pelemahan. Tapi bila itu berubah, dimana ekonomi China bisa bangkit dan stabil dan ketika pertumbuhan ekonomi AS melemah di akhir tahun, keadaan bisa bergeser.

"Mungkin ada skenario dimana batas waktu 1 Maret berlalu tanpa tarif baru perdagangan. Jika tidak ada kenaikan tarif, situasi ini sebagai limbo (tepi batas) tarif. Kondisi ini bisa berdampak pada keputusan ekonomi," katanya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8339 seconds (0.1#10.140)