Tarif Batas Atas Tak Pernah Ditinjau Munculkan Bagasi Berbayar?
A
A
A
JAKARTA - Pengamat industri penerbangan Alvin Lie menilai, tarif batas atas dan batas bawah penerbangan yang belum pernah ditinjau ulang sejak tiga tahun terakhir mendorong maskapai menerapkan kebijakan bagasi berbayar.
"Tarif batas atas dan batas bawah kan usianya Februari ini tiga tahun. Tidak pernah ditinjau kembali, sementara harga-harga pada naik. Rupiah anjlok, tarif avtur naik, sewa tempat di bandara dan sebagainya naik, bahkan biaya navigasi naik," ujar Alvin saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Jumat (11/1/2019).
Kondisi dunia penerbangan saat ini menurutnya sudah tidak sama lagi seperti tiga tahun lalu. Sayangnya, maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC) terikat aturan yang melarang mereka untuk menaikkan harga tiket di atas 85% dari tarif batas atas.
Oleh sebab itu, menurutnya penghapusan fasilitas bagasi gratis menjadi cara maskapai untuk mendapatkan penghasilan lain. Sebab, jika bagasi tak lagi gratis, maka maskapai bisa menghitung jumlah kebutuhan bagasi penumpang. Sedangkan sisanya, bisa mereka gunakan untuk bisnis kargo.
"Mereka pertama keuntungannya kan berarti sekarang mereka hanya jual tiket, mereka dapat penghasilan dari bagasi. Kemudian mereka juga dapat menghitung ruang bagasi yang dibutuhkan untuk mengangkat bagasi penumpang berapa. Sisa ruangnya bisa dijual untuk angkut argo kan. Kalau bukan bagasi berbayar kan mereka enggak tahu mereka mengangkut bagasi berapa? Kalau bagasinya berbayar kan bisa hitung ruangnya," jelasnya.
Alvin pun menilai keputusan maskapai penerbangan Lion Air dan Citilink Indonesia menghapus fasilitas bagasi gratis merupakan hal yang wajar. Dalam hal ini, kata dia, maskapai tidak melanggar aturan apapun.
"Saya kira wajar saja (hapus bagasi gratis). Enggak ada peraturan yang dilanggar. Karena LCC memang boleh melakukan itu. Dan LCC memang bukan cuma LCC, sebetulnya yang lain pun kondisinya berat," tandasnya.
"Tarif batas atas dan batas bawah kan usianya Februari ini tiga tahun. Tidak pernah ditinjau kembali, sementara harga-harga pada naik. Rupiah anjlok, tarif avtur naik, sewa tempat di bandara dan sebagainya naik, bahkan biaya navigasi naik," ujar Alvin saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Jumat (11/1/2019).
Kondisi dunia penerbangan saat ini menurutnya sudah tidak sama lagi seperti tiga tahun lalu. Sayangnya, maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC) terikat aturan yang melarang mereka untuk menaikkan harga tiket di atas 85% dari tarif batas atas.
Oleh sebab itu, menurutnya penghapusan fasilitas bagasi gratis menjadi cara maskapai untuk mendapatkan penghasilan lain. Sebab, jika bagasi tak lagi gratis, maka maskapai bisa menghitung jumlah kebutuhan bagasi penumpang. Sedangkan sisanya, bisa mereka gunakan untuk bisnis kargo.
"Mereka pertama keuntungannya kan berarti sekarang mereka hanya jual tiket, mereka dapat penghasilan dari bagasi. Kemudian mereka juga dapat menghitung ruang bagasi yang dibutuhkan untuk mengangkat bagasi penumpang berapa. Sisa ruangnya bisa dijual untuk angkut argo kan. Kalau bukan bagasi berbayar kan mereka enggak tahu mereka mengangkut bagasi berapa? Kalau bagasinya berbayar kan bisa hitung ruangnya," jelasnya.
Alvin pun menilai keputusan maskapai penerbangan Lion Air dan Citilink Indonesia menghapus fasilitas bagasi gratis merupakan hal yang wajar. Dalam hal ini, kata dia, maskapai tidak melanggar aturan apapun.
"Saya kira wajar saja (hapus bagasi gratis). Enggak ada peraturan yang dilanggar. Karena LCC memang boleh melakukan itu. Dan LCC memang bukan cuma LCC, sebetulnya yang lain pun kondisinya berat," tandasnya.
(fjo)