DPR Diminta Segera Rampungkan RUU Sumber Daya Air
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta segera merampungkan RUU Sumber Daya Air (SDA) yang kini tengah dibahas di Komisi V. Hal ini untuk memastikan adanya payung hukum pascakeputusan MK tahun 2015 yang mencabut UU No 7/2004.
"Saat ini, dibutuhkan payung hukum, regulasi yang adil, tertib, bermanfaat, dan berkelanjutan," kata Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (14/1/2019).
Menurut Firdaus Ali, RUU SDA memiliki 68 bab, 78 pasal, dan 194 ayat. Dari pasal-pasal tersebut, pemerintah sudah menyarahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke DPR untuk dibahas pada Juni 2018. Dari lotal 604 DIM, yang sudah disepakai sebanyak 442 DIM. Sisanya, 162 DIM belum dibahas.
"Sebaiknya DPR bisa menyelesaikannya dalam satu bulan tapi karena mereka sibuk kampanye terkait masa Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, pembahasan ini menjadi tertunda," kata Firdaus.
Dia mengatakan, peran swasta dibutuhkan karena negara terkendala hambatan fiskal. Jadi yang diatur adalah bagaimana negara hadir pengelolaan SDA, agar tidak ada yang termarginalkan dan terzalimi.
Negara, lanjut dia, harus menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan poko sehari-hari. Tapi, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan.
Sementara itu, kisruh tentang swasta menguasai sumber daya air terjadi karena ada persepsi yang keliru. Sebab dalam pengusahaan air oleh industri harus ada izin yang ketat. Sedikitnya ada 21 syarat ketat bagi pelaku industri dalam pengusahaan air.
"Salah satu syarat yang ketat adalah swasta wajib memperbarui izin yang kedaluwarsa (expired) setiap 2 sampai 3 tahun sekali," kata Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang juga Ketua Asosiasi Air Minum (Aspadin) Rachmat Hidayat.
Menurut Rachmat, hal yang menjadi perhatian di RUU SDA yang tengah dibahas Komisi V DPR antara lain pada pasal 47 yang menyebutkan, bila mau mengusahakan air, maka swasta harus mau bekerja sama dengan BUMN/BUMD. Swasta dilarang menutup atau memagari kawasan pengusahaan air, menyamakan air perpipaan SPAM dengan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Rachmat menegaskan, industri harus memiliki surat izin pengusahaan air (SIPA) yang dikeluarkan oleh badan perizinan provinsi atau kementerian. Juga ada proses konsultasi publik ke masyarakat sekitar terkait rencana pengajuan izin pemanfaatan air.
Rachmat mengatakan, aturan main yang harus diikuti industri antara lain, setiap bulan wajib melaporkan penggunaan air kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Dalam perizinan juga, industri harus melakukan konservasi di daerah hulu (recharge area), membuat sumur imbuhan (sumur resapan, membuat sumur pantau (guna memantau muka air tanah), dan melaporkan penggunaan air.
Dalam hal pengawasan, lanjut Rachmat, industri dipantau berkala oleh dinas teknis (Dispenda, ESDM, Badan Lingkungan Hidup-BLH), dimonitor juga oleh DPRD dan instansi lainnya (insidentil). Diwajibkan memasang meteran air pada setiap sumur pengambilan air dan meteran air secara berkala dikalibrasi.
"Dalam pengusahaan air tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah tapi juga dibutuhkan peran industri. Kehadiran industri bukan untuk menguasai tapi mengusahakan adanya air minum dalam kemasan (AMDK) untuk melayani kebutuhan air pada masyarakat," pungkas Rachmat.
"Saat ini, dibutuhkan payung hukum, regulasi yang adil, tertib, bermanfaat, dan berkelanjutan," kata Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (14/1/2019).
Menurut Firdaus Ali, RUU SDA memiliki 68 bab, 78 pasal, dan 194 ayat. Dari pasal-pasal tersebut, pemerintah sudah menyarahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke DPR untuk dibahas pada Juni 2018. Dari lotal 604 DIM, yang sudah disepakai sebanyak 442 DIM. Sisanya, 162 DIM belum dibahas.
"Sebaiknya DPR bisa menyelesaikannya dalam satu bulan tapi karena mereka sibuk kampanye terkait masa Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, pembahasan ini menjadi tertunda," kata Firdaus.
Dia mengatakan, peran swasta dibutuhkan karena negara terkendala hambatan fiskal. Jadi yang diatur adalah bagaimana negara hadir pengelolaan SDA, agar tidak ada yang termarginalkan dan terzalimi.
Negara, lanjut dia, harus menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan poko sehari-hari. Tapi, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan.
Sementara itu, kisruh tentang swasta menguasai sumber daya air terjadi karena ada persepsi yang keliru. Sebab dalam pengusahaan air oleh industri harus ada izin yang ketat. Sedikitnya ada 21 syarat ketat bagi pelaku industri dalam pengusahaan air.
"Salah satu syarat yang ketat adalah swasta wajib memperbarui izin yang kedaluwarsa (expired) setiap 2 sampai 3 tahun sekali," kata Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang juga Ketua Asosiasi Air Minum (Aspadin) Rachmat Hidayat.
Menurut Rachmat, hal yang menjadi perhatian di RUU SDA yang tengah dibahas Komisi V DPR antara lain pada pasal 47 yang menyebutkan, bila mau mengusahakan air, maka swasta harus mau bekerja sama dengan BUMN/BUMD. Swasta dilarang menutup atau memagari kawasan pengusahaan air, menyamakan air perpipaan SPAM dengan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Rachmat menegaskan, industri harus memiliki surat izin pengusahaan air (SIPA) yang dikeluarkan oleh badan perizinan provinsi atau kementerian. Juga ada proses konsultasi publik ke masyarakat sekitar terkait rencana pengajuan izin pemanfaatan air.
Rachmat mengatakan, aturan main yang harus diikuti industri antara lain, setiap bulan wajib melaporkan penggunaan air kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Dalam perizinan juga, industri harus melakukan konservasi di daerah hulu (recharge area), membuat sumur imbuhan (sumur resapan, membuat sumur pantau (guna memantau muka air tanah), dan melaporkan penggunaan air.
Dalam hal pengawasan, lanjut Rachmat, industri dipantau berkala oleh dinas teknis (Dispenda, ESDM, Badan Lingkungan Hidup-BLH), dimonitor juga oleh DPRD dan instansi lainnya (insidentil). Diwajibkan memasang meteran air pada setiap sumur pengambilan air dan meteran air secara berkala dikalibrasi.
"Dalam pengusahaan air tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah tapi juga dibutuhkan peran industri. Kehadiran industri bukan untuk menguasai tapi mengusahakan adanya air minum dalam kemasan (AMDK) untuk melayani kebutuhan air pada masyarakat," pungkas Rachmat.
(fjo)