Perhitungan Lahan Sawah untuk Subsidi Pupuk Dinilai Harus Selaras BPS
A
A
A
JAKARTA - Perhitungan lahan baku sawah versi lama seluas 8,1 juta hektare untuk penentuan anggaran subsidi pupuk dinilai tidak tepat. Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono menerangkan, ada perbedaan luas lahan baku sawah yang berkisar 1 juta hektare yang dipandangnya sangat berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran.
Tidak terkecuali kemungkinan akan adanya penyalahgunaan anggaran untuk subsidi pupuk. Hitungan itu jelasnya jauh lebih besar dari hasil penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS) bersama lembaga terkait, bahwa lahan baku sawah pada 2018 kemarin hanya 7,1 juta hektare. “Kalau seperti itu kan pemborosan dan juga nanti ada peluang untuk penyelewengan. Jadi, luasnya dibesar-besarkan karena anggarannya besar,” ujar Anton kepada wartawan
Untuk diketahui, tahun ini Kementan meminta anggaran subsidi pupuk sebesar Rp29,5 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk. Nilai subsidi pupuk ini naik 3,51% dibandingkan anggaran pada tahun sebelumnya yang berada di agka Rp28,5 triliun.
Terhadap hal ini, Anton melihat keputusan Kementan untuk menggunakan data luas lahan baku sawah versi lama dalam penentuan subsidi pupuk tidak selaras dengan komitmen negara untuk menghemat anggaran. Pasalnya, subsidi pupuk dihitung per hektare sehingga dengan penambahan luas lahan baku sawah akan membuat anggarannya membengkak. “Kita kan harusnya menghemat anggaran untuk sesuatu yang lebih penting,” tukasnya.
Menurutnya terang dia, saat ini luasan lahan baku sawah versi BPS sendiri sudah dianggap tepat. Permintaan Kementan agar BPS menghitung ulang luas lahan baku sawah pun dirasa tidak akan mengubah hasil berkurang banyaknya lahan pertanian negeri ini. Justru dengan penghitungan ulang luas lahan baku sawah, besarannya diyakini Ketua Dewan Kopi ini,makin menyusut.
Mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih di kesempatan berbeda, mengamini bahwa data luas lahan sawah memang sejak dulu jadi masalah karena perbedaan persepsi. Padahal, data itu penting untuk menjadi landasan untuk kebijakan dan anggaran.
“Sebenarnya tidak ada prevalensi benar salah. Tidak bisa dikatakan data BPS paling benar, data BPN paling benar, atau data Kementan paling benar, karena tidak pernah dibuka secara jelas ke publik soal definisi dan metodologi pengumpulan datanya,” ujar Bungaran.
Menurut Bungaran, saat dirinya menjadi menteri, ia juga merasakan data yang digunakan selalu over estimate, atau dibesarkan. “Kalau saya dulu, daripada mengumpulkan data dan makan waktu, kita kerja dulu, waktu itu pakai data yang tersedia, merumuskan kebijakan dengan data harga, karena data harga lebih akurat dan bisa dipercaya daripada data fisik, semisal area tanam dan area produktif,” tuturnya.
Ia berharap BPS, BPN, dan Kementan bisa duduk bersama merumuskan data-data ini dan membukanya ke publik, dan melibatkan akademisi. Diakui olehnya area tanam di Indonesia terus berubah, terutama terkait konversi lahan tanam.
“Jangankan dibandingkan 1990an, dibanding tahun 2000-an saja sudah jauh berbeda. Jadi semua informasi terkait luasan pertanian, harus dicek ricek lagi dengan tentunya keterbukaan definisi dan metodologi, sehingga masalah data bisa selesai,” jelasnya.
Pihak terkait, BPS)menyatakan, meskipun belum terverifikasi semua, total luas lahan baku sawah terbaru pada 2018 kemarin sudah menunjukkan hampir keseluruhan data. Dikarenakan 14 provinsi yang telah terverifikasi memiliki sekitar 86% dari total luasan lahan baku sawah yang dihitung.
“Sisanya yang 16 provinsi itu bukan sentra produksi padi. Itu kan kayak adanya di timur Indonesia, terus beberapa di Sulawesi, terus di Kalimantan. Provinsi-provinsi itu bukan sentra produksi,” jelas Kepala Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan BPS, Kadarmanto, kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mengenai tidak dipakainya lahan baku sawah terbaru yang digagas oleh BPS, BIG, BPN, dan berbagai instansi terkait lainnya dalam penentuan anggaran Kementan, Kadarmanto menyatakan, pihaknya tidak bisa mencegah hal tersebut. BPS hanya menerbitkan data. “Kami bukan polisi yang bisa melarang. Hanya saja penghitungan ini kan sudah lama. Kalau yang 8,1 juta hektare itu kan data tahun kapan,” tukas Kardarmanto.
Sebelumnya, pada Senin (21/1) lalu, Kementan dan Komisi IV DPR RI meresmikan anggaran pagu 2019 berdasarkan data luas lahan baku 2016. Keputusan itu dilakukan lantaran Komisi IV DPR akan meminta pegawai di tingkat daerah akan membelanjakan menggunakan data yang diminta BPN agar membutuhkan pengiriman lama untuk dibacanya.
Tidak terkecuali kemungkinan akan adanya penyalahgunaan anggaran untuk subsidi pupuk. Hitungan itu jelasnya jauh lebih besar dari hasil penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS) bersama lembaga terkait, bahwa lahan baku sawah pada 2018 kemarin hanya 7,1 juta hektare. “Kalau seperti itu kan pemborosan dan juga nanti ada peluang untuk penyelewengan. Jadi, luasnya dibesar-besarkan karena anggarannya besar,” ujar Anton kepada wartawan
Untuk diketahui, tahun ini Kementan meminta anggaran subsidi pupuk sebesar Rp29,5 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk. Nilai subsidi pupuk ini naik 3,51% dibandingkan anggaran pada tahun sebelumnya yang berada di agka Rp28,5 triliun.
Terhadap hal ini, Anton melihat keputusan Kementan untuk menggunakan data luas lahan baku sawah versi lama dalam penentuan subsidi pupuk tidak selaras dengan komitmen negara untuk menghemat anggaran. Pasalnya, subsidi pupuk dihitung per hektare sehingga dengan penambahan luas lahan baku sawah akan membuat anggarannya membengkak. “Kita kan harusnya menghemat anggaran untuk sesuatu yang lebih penting,” tukasnya.
Menurutnya terang dia, saat ini luasan lahan baku sawah versi BPS sendiri sudah dianggap tepat. Permintaan Kementan agar BPS menghitung ulang luas lahan baku sawah pun dirasa tidak akan mengubah hasil berkurang banyaknya lahan pertanian negeri ini. Justru dengan penghitungan ulang luas lahan baku sawah, besarannya diyakini Ketua Dewan Kopi ini,makin menyusut.
Mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih di kesempatan berbeda, mengamini bahwa data luas lahan sawah memang sejak dulu jadi masalah karena perbedaan persepsi. Padahal, data itu penting untuk menjadi landasan untuk kebijakan dan anggaran.
“Sebenarnya tidak ada prevalensi benar salah. Tidak bisa dikatakan data BPS paling benar, data BPN paling benar, atau data Kementan paling benar, karena tidak pernah dibuka secara jelas ke publik soal definisi dan metodologi pengumpulan datanya,” ujar Bungaran.
Menurut Bungaran, saat dirinya menjadi menteri, ia juga merasakan data yang digunakan selalu over estimate, atau dibesarkan. “Kalau saya dulu, daripada mengumpulkan data dan makan waktu, kita kerja dulu, waktu itu pakai data yang tersedia, merumuskan kebijakan dengan data harga, karena data harga lebih akurat dan bisa dipercaya daripada data fisik, semisal area tanam dan area produktif,” tuturnya.
Ia berharap BPS, BPN, dan Kementan bisa duduk bersama merumuskan data-data ini dan membukanya ke publik, dan melibatkan akademisi. Diakui olehnya area tanam di Indonesia terus berubah, terutama terkait konversi lahan tanam.
“Jangankan dibandingkan 1990an, dibanding tahun 2000-an saja sudah jauh berbeda. Jadi semua informasi terkait luasan pertanian, harus dicek ricek lagi dengan tentunya keterbukaan definisi dan metodologi, sehingga masalah data bisa selesai,” jelasnya.
Pihak terkait, BPS)menyatakan, meskipun belum terverifikasi semua, total luas lahan baku sawah terbaru pada 2018 kemarin sudah menunjukkan hampir keseluruhan data. Dikarenakan 14 provinsi yang telah terverifikasi memiliki sekitar 86% dari total luasan lahan baku sawah yang dihitung.
“Sisanya yang 16 provinsi itu bukan sentra produksi padi. Itu kan kayak adanya di timur Indonesia, terus beberapa di Sulawesi, terus di Kalimantan. Provinsi-provinsi itu bukan sentra produksi,” jelas Kepala Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan BPS, Kadarmanto, kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mengenai tidak dipakainya lahan baku sawah terbaru yang digagas oleh BPS, BIG, BPN, dan berbagai instansi terkait lainnya dalam penentuan anggaran Kementan, Kadarmanto menyatakan, pihaknya tidak bisa mencegah hal tersebut. BPS hanya menerbitkan data. “Kami bukan polisi yang bisa melarang. Hanya saja penghitungan ini kan sudah lama. Kalau yang 8,1 juta hektare itu kan data tahun kapan,” tukas Kardarmanto.
Sebelumnya, pada Senin (21/1) lalu, Kementan dan Komisi IV DPR RI meresmikan anggaran pagu 2019 berdasarkan data luas lahan baku 2016. Keputusan itu dilakukan lantaran Komisi IV DPR akan meminta pegawai di tingkat daerah akan membelanjakan menggunakan data yang diminta BPN agar membutuhkan pengiriman lama untuk dibacanya.
(akr)