Awas, Defisit Neraca Perdagangan Bisa Permanen Sepanjang Tahun
A
A
A
JAKARTA - Ancaman defisit neraca perdagangan Indonesia menurut ekonom bakal terus membayangi sepanjang tahun ini, mengingat perlambatan ekspor yang masih terjadi seiring gejolak ekonomi global. Efek ketidakpastian perang dagang masih konsisten, sehingga berimbas ke ekspor komoditas batu bara sawit yang melemah.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai defisit neraca dagang RI pada periode Januari 2019 yang sebesar USD1,16 miliar menjadi rekor terburuk di Indonesia. Ditambah menurutnya defisit neraca dagang Indonesia akan terus terjadi dan bisa menyebabkan permanen sepanjang tahun 2019
"Defisit Januari ini memburuk dibanding bulan Desember 2018 maupun Januari 2018. Pertanda sepanjang tahun akan terjadi ledakan defisit perdagangan," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (16/2/2019)..
Sambung dia menerangkan, penyumbang terbesar adalah menurunya kinerja ekspor di tengah perlambatan ekonomi global dan rendahnya harga komoditas unggulan ekspor. Sebab, pasar utama ekspor semakin tidak bisa diandalkan untuk menyerap produk Indonesia karena ada masalah penurunan permintaan bahan baku secara signifikan.
"Di sisi yang lain defisit migas masih bengkak mencapai USD454 Juta. Kebijakan menahan harga BBM premium dan solar membuat konsumsi BBM domestik tetap besar. Selain itu lifting minyak konsisten turun akibat kurangnya investasi di bidang eksplorasi minyak," paparnya.
Sementara itu faktor musiman yang biasanya terjadi yakni impor turun di awal tahun. Namun ekspor belum ada peningkatan yang signifikan, karena kondisi global yang masih lesu hingga membuat defisit dagang kembali terjadi.
Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan, defisit pada Januari 2019 menjadi yang terbesar disebabkan adanya gejolak perekonomian global yang masih berlangsung . Hal itu memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
"Jadi lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan ini semua kalau kita lihat, dari prediksi sampai Desember 2019 akan cenderung menurun harga komoditas, " ujar Suhariyanto di Gedung Pusat BPS, Jakarta, kemarin.
Dia mencontohkan, komoditas minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor. Pasalnya, meski volume ekspor meningkat 23,77%, namun harganya anjlok mencapai 13,56%. "Sehingga kinerjanya jatuh, tercermin dari turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56%," kata dia.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai defisit neraca dagang RI pada periode Januari 2019 yang sebesar USD1,16 miliar menjadi rekor terburuk di Indonesia. Ditambah menurutnya defisit neraca dagang Indonesia akan terus terjadi dan bisa menyebabkan permanen sepanjang tahun 2019
"Defisit Januari ini memburuk dibanding bulan Desember 2018 maupun Januari 2018. Pertanda sepanjang tahun akan terjadi ledakan defisit perdagangan," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (16/2/2019)..
Sambung dia menerangkan, penyumbang terbesar adalah menurunya kinerja ekspor di tengah perlambatan ekonomi global dan rendahnya harga komoditas unggulan ekspor. Sebab, pasar utama ekspor semakin tidak bisa diandalkan untuk menyerap produk Indonesia karena ada masalah penurunan permintaan bahan baku secara signifikan.
"Di sisi yang lain defisit migas masih bengkak mencapai USD454 Juta. Kebijakan menahan harga BBM premium dan solar membuat konsumsi BBM domestik tetap besar. Selain itu lifting minyak konsisten turun akibat kurangnya investasi di bidang eksplorasi minyak," paparnya.
Sementara itu faktor musiman yang biasanya terjadi yakni impor turun di awal tahun. Namun ekspor belum ada peningkatan yang signifikan, karena kondisi global yang masih lesu hingga membuat defisit dagang kembali terjadi.
Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan, defisit pada Januari 2019 menjadi yang terbesar disebabkan adanya gejolak perekonomian global yang masih berlangsung . Hal itu memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
"Jadi lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan ini semua kalau kita lihat, dari prediksi sampai Desember 2019 akan cenderung menurun harga komoditas, " ujar Suhariyanto di Gedung Pusat BPS, Jakarta, kemarin.
Dia mencontohkan, komoditas minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor. Pasalnya, meski volume ekspor meningkat 23,77%, namun harganya anjlok mencapai 13,56%. "Sehingga kinerjanya jatuh, tercermin dari turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56%," kata dia.
(akr)