MKP Sering Tagih Fee, Iklim Usaha di Mojokerto Jadi Tidak Kondusif
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah terus meningkatkan iklim investasi dan kemudahan berusaha di Indonesia, untuk meningkatkan perekonomian. Dalam kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis oleh Bank Dunia pada 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari 190 negara.
Posisi ini turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, kendati indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 poin menjadi 67,96. Turunnya peringkat ini, salah satunya disebabkan oleh korupsi. Diantaranya kasus korupsi izin pendirian tower telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam sidang kasus tersebut, terus terungkap fakta-fakta baru. Mantan Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasha (MKP), disebut sempat menagih uang kepada perusahaan tower hingga 13 kali. Penagihan itu diminta MKP lantaran uang yang diberikan oleh salah satu perusahaan tower baru Rp550 juta, alias masih kurang Rp1,65 miliar untuk fee menerbitkan Izin Peruntukan dan Pemanfaatan Ruang (IPPR) 11 tower telekomunikasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bambang Wahyuadi, mantan Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Mojokerto saat dihadirkan menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. "Saya diperintah oleh pak bupati (MKP), menagih hingga 13 kali. Sebenarnya itu bukan tugas saya, tapi itu perintah dari bupati, saya terus ditagih, ya saya ikuti," kata Bambang.
Bambang menjadi saksi dari lima terdakwa dari perusahaan tower dan para kontraktornya, mereka adalah Onggo Wijaya, Achmad Subhan, Ahmad Suhawi, Nabiel Titawano, dan Ockyanto.
Selain Bambang, Jaksa Penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menghadirkan dua saksi lainnya, Lutfi Arif Muttaqin mantan ajudan MKP, dan Nano Santoso Hudiarto yang merupakan orang kepercayaan MKP.
Bambang menyatakan bahwa MKP merupakan inisiator dari permintaan fee untuk menerbitkan IPPR. Sebab yang menentukan besaran biaya adalah MKP. "Awalnya pak bupati minta Rp300 juta, karena perusahaan tower tidak menyanggupi, angkanya turun menjadi Rp200 juta per tower," katanya.
Perusahaan tower pun tidak memiliki pilihan selain memenuhi permintaan tersebut. Sebab untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tower harus terbit IPPR terlebih dahulu dimana perlu tandatangan MKP selaku Bupati. "IPPR untuk tower, juga toko modern itu jadi kewenangan pak bupati," terang Bambang lagi.
Pengakuan Bambang diamini oleh Nano Santoso Hudiarto. “Iya,” ujar Nano saat ditanya mengenai kuatnya kewenangan Bupati sehingga untuk mendapatkan IPPR harus melalui persetujuannya terlebih dulu. Nano adalah orang yang menaruh uang Rp550 juta di meja makan ruang dinas MKP.
Bambang sendiri mengaku bahwa apa yang ia lakukan terkait IPPR ini diluar dari tugasnya sebagai Kepala BPTPM. Namun sebagai bawahan, ia harus melaksanakan perintah MKP selaku pimpinan. Awalnya ia sempat menolak untuk membebankan biaya sebesar itu kepada perusahaan tower, karena akan membuat iklim usaha tidak kondusif.
Namun karena khawatir di non-job-kan, ia pun mengikuti perintah MKP. "Saya berupaya melakukan pelayanan sesuai norma, dan kalau harus bayar-bayar bagaimana saya melakukan pelayanan dengan baik, itu bisa membuat iklim usaha tidak kondusif," ujarnya.
Sementara itu, MKP yang dikonfrontir dipersidangan membantah semua keterangan mantan anak buahnya itu. Menurutnya ia tidak pernah menagih uang kepada perusahaan tower melalui Bambang. Ia juga mengaku tidak tahu kenapa Nano menaruh uang diatas mejanya sebesar Rp550 juta. "Saya tahunya ada uang itu dari Rahmadi. Rahmadi bilang itu bantuan seremonial keagamaan," kata MKP.
Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana mengingatkan Mustofa bahwa dirinya di pengadilan telah dibawah sumpah dan harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. "Saksi-saksi yang dihadirkan tadi dibawah sumpah, sama seperti saudara. Dan semua mengarah kepada saudara," kata Ketua Majelis Hakim.
Namun lagi-lagi, Mustofa membantah. "Saya tidak pernah menyuruh apa-apa. Ini inisiatif mereka sendiri," katanya.
Terkait kasus korupsi tower ini, sejatinya perusahaan-perusahan tower telah melengkapi perizinan yang dibutuhkan. Lantaran IPPR tidak kunjung ditandatangani oleh Bupati, walaupun berkas sudah diajukan kepadanya. Hal ini menyebabkan IMB tidak dapat diproses dan diterbitkan. Akhirnya perusahaan terpaksa mengeluarkan biaya untuk memenuhi permintaan MKP.
Ketua Majelis Hakim Cokorda pada sidang sebelumnya juga mengingatkan bahwa IPPR ini penting karena semua izin pembangunan dimulai dari IPPR. Tanpa IPPR, maka tidak akan ada IMB dan izin-izin lainnya.
"Jika IPPR mandek maka tidak akan ada pembangunan dan perekonomian. Alfa dan Indomart itu juga perlu IPPR. Dan tanpa tower, itu masyarakat tidak bisa halo-halo. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai kejadian lagi," tegas hakim Cokorda dalam keterangan kepada media, Kamis (21/2/2019).
Dalam kasus korupsi tower ini sejatinya MKP sudah divonis 8 tahun, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang 12 tahun penjara. Saat ini MKP tengah banding dan mencoba peruntungannya agar mendapat vonis lebih ringan.
Posisi ini turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, kendati indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 poin menjadi 67,96. Turunnya peringkat ini, salah satunya disebabkan oleh korupsi. Diantaranya kasus korupsi izin pendirian tower telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam sidang kasus tersebut, terus terungkap fakta-fakta baru. Mantan Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasha (MKP), disebut sempat menagih uang kepada perusahaan tower hingga 13 kali. Penagihan itu diminta MKP lantaran uang yang diberikan oleh salah satu perusahaan tower baru Rp550 juta, alias masih kurang Rp1,65 miliar untuk fee menerbitkan Izin Peruntukan dan Pemanfaatan Ruang (IPPR) 11 tower telekomunikasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bambang Wahyuadi, mantan Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Mojokerto saat dihadirkan menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. "Saya diperintah oleh pak bupati (MKP), menagih hingga 13 kali. Sebenarnya itu bukan tugas saya, tapi itu perintah dari bupati, saya terus ditagih, ya saya ikuti," kata Bambang.
Bambang menjadi saksi dari lima terdakwa dari perusahaan tower dan para kontraktornya, mereka adalah Onggo Wijaya, Achmad Subhan, Ahmad Suhawi, Nabiel Titawano, dan Ockyanto.
Selain Bambang, Jaksa Penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menghadirkan dua saksi lainnya, Lutfi Arif Muttaqin mantan ajudan MKP, dan Nano Santoso Hudiarto yang merupakan orang kepercayaan MKP.
Bambang menyatakan bahwa MKP merupakan inisiator dari permintaan fee untuk menerbitkan IPPR. Sebab yang menentukan besaran biaya adalah MKP. "Awalnya pak bupati minta Rp300 juta, karena perusahaan tower tidak menyanggupi, angkanya turun menjadi Rp200 juta per tower," katanya.
Perusahaan tower pun tidak memiliki pilihan selain memenuhi permintaan tersebut. Sebab untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tower harus terbit IPPR terlebih dahulu dimana perlu tandatangan MKP selaku Bupati. "IPPR untuk tower, juga toko modern itu jadi kewenangan pak bupati," terang Bambang lagi.
Pengakuan Bambang diamini oleh Nano Santoso Hudiarto. “Iya,” ujar Nano saat ditanya mengenai kuatnya kewenangan Bupati sehingga untuk mendapatkan IPPR harus melalui persetujuannya terlebih dulu. Nano adalah orang yang menaruh uang Rp550 juta di meja makan ruang dinas MKP.
Bambang sendiri mengaku bahwa apa yang ia lakukan terkait IPPR ini diluar dari tugasnya sebagai Kepala BPTPM. Namun sebagai bawahan, ia harus melaksanakan perintah MKP selaku pimpinan. Awalnya ia sempat menolak untuk membebankan biaya sebesar itu kepada perusahaan tower, karena akan membuat iklim usaha tidak kondusif.
Namun karena khawatir di non-job-kan, ia pun mengikuti perintah MKP. "Saya berupaya melakukan pelayanan sesuai norma, dan kalau harus bayar-bayar bagaimana saya melakukan pelayanan dengan baik, itu bisa membuat iklim usaha tidak kondusif," ujarnya.
Sementara itu, MKP yang dikonfrontir dipersidangan membantah semua keterangan mantan anak buahnya itu. Menurutnya ia tidak pernah menagih uang kepada perusahaan tower melalui Bambang. Ia juga mengaku tidak tahu kenapa Nano menaruh uang diatas mejanya sebesar Rp550 juta. "Saya tahunya ada uang itu dari Rahmadi. Rahmadi bilang itu bantuan seremonial keagamaan," kata MKP.
Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana mengingatkan Mustofa bahwa dirinya di pengadilan telah dibawah sumpah dan harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. "Saksi-saksi yang dihadirkan tadi dibawah sumpah, sama seperti saudara. Dan semua mengarah kepada saudara," kata Ketua Majelis Hakim.
Namun lagi-lagi, Mustofa membantah. "Saya tidak pernah menyuruh apa-apa. Ini inisiatif mereka sendiri," katanya.
Terkait kasus korupsi tower ini, sejatinya perusahaan-perusahan tower telah melengkapi perizinan yang dibutuhkan. Lantaran IPPR tidak kunjung ditandatangani oleh Bupati, walaupun berkas sudah diajukan kepadanya. Hal ini menyebabkan IMB tidak dapat diproses dan diterbitkan. Akhirnya perusahaan terpaksa mengeluarkan biaya untuk memenuhi permintaan MKP.
Ketua Majelis Hakim Cokorda pada sidang sebelumnya juga mengingatkan bahwa IPPR ini penting karena semua izin pembangunan dimulai dari IPPR. Tanpa IPPR, maka tidak akan ada IMB dan izin-izin lainnya.
"Jika IPPR mandek maka tidak akan ada pembangunan dan perekonomian. Alfa dan Indomart itu juga perlu IPPR. Dan tanpa tower, itu masyarakat tidak bisa halo-halo. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai kejadian lagi," tegas hakim Cokorda dalam keterangan kepada media, Kamis (21/2/2019).
Dalam kasus korupsi tower ini sejatinya MKP sudah divonis 8 tahun, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang 12 tahun penjara. Saat ini MKP tengah banding dan mencoba peruntungannya agar mendapat vonis lebih ringan.
(ven)