Perkebunan Swasta Tegaskan Taat Aturan Bangun Plasma

Jum'at, 22 Februari 2019 - 15:43 WIB
Perkebunan Swasta Tegaskan...
Perkebunan Swasta Tegaskan Taat Aturan Bangun Plasma
A A A
JAKARTA - Perkebunan besar swasta (PBS) menegaskan ketaatan terhadap semua aturan yang berlaku di Indonesia, termasuk di antaranya kewajiban membangun atau bermitra dengan petani plasma. Bahkan hubungan keduanya saling menguntungkan.

"Keduanya telah terjadi simbiosis mutualisme. Bahkan untuk petani plasma mendapatkan keistimewaan berupa harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi jika dibandingkan petani mandiri," ujar Anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Achmad Mangga Barani di Jakarta, Jumat (22/2).

Bagi PBS, lanjut Mangga Barani, keuntungan yang didapat salah satunya ada kepastian pasokan TBS dari kebun plasma ke pabrik kelapa sawit (PKS) yang dimilikinya. Karena itulah, ketika menjabat sebagai Dirjen Perkebunan, Mangga Barani menginisiasi penerbitan Permentan No.26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Menurut Mangga Barani, poin penting dari permentan tersebut yakni kewajiban bagi PBS dan Perkebunan Besar Negara (PBN) untuk membangun kebun plasma sekitar 20% dari total konsesi yang dimilikinya. Semangat dari regulasi ini agar rakyat juga menikmati keuntungan dari budidaya perkebunan sawit.

"Tapi perlu dicatat bahwa, kebun plasma yang dibangun PBS dan PBN tersebut tidak berasal dari HGU (hak guna usaha) yang dimiliki PBS maupun PBN. Artinya, kebun plasma itu, tanahnya milik masyarakat yang ada di sekitar kebun PBS maupun PBN," kata mantan Dirjen Perkebunan ini.

Mangga Barani menegaskan kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma seluas 20% dari total konsesi itu ada sejak terbitnya permentan tersebut, yakni pada tahun 2007. Sedangkan sebelum 2007 tidak ada kewajiban bagi PBS maupun PBN membangun atau bermitra dengan petani plasma. "Jadi salah besar jika dikatakan perusahaan sawit dan PTPN tidak berpihak ke petani kecil," tegas Mangga Barani.

Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan menyebutkan, hingga akhir 2018 total kebun sawit di Indonesia mencapai 14.309.256 hektare (ha). Kepemilikan kebun sawit tersebut terdiri atas perkebunan rakyat seluas 5.807.514 ha, PBN seluas 713.121 ha, dan PBS seluas 7.788.621 ha. Perkebunan rakyat ini terbagi menjadi dua, yakni kebun milik petani mandiri dan petani plasma yang luasnya sekitar 617.000 ha.

Sepintas, kata Mangga Barani, perkebunan swasta tidak taat aturan karena kebun plasma hanya 8% dari total kebun swasta. Namun perlu diingat bahwa budidaya perkebunan kelapa sawit itu ada sejak penjajahan Belanda.

Sementara itu, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma itu ada sejak tahun 2007 seiring dengan terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan tersebut diperkuat dengan UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang juga mengamanatkan PBS maupun PBN membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi.

"Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007 itu tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan No 26/2007 tersebut tidak berlaku surut," tandasnya.

Terkait dengan regulasi budi daya sawit di Indonesia hingga saat ini juga masih ada celah hukum terkait dengan kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma. UU Perkebunan yang telah diundangkan sejak 2014 hingga saat ini belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya. "Sehingga UU tersebut sulit dilaksanakan," ujarnya.

Sementara Permentan No 26/2007 posisinya sangat lemah karena terbit sebelum ada UU Perkebunan. "Permentan No 26/2007 ini cantelannya waktu itu tidak ada, waktu itu yang penting ada pemerataan terhadap pembangunan perkebunan sawit. Dan alhamdulillah para pengusaha mengikuti aturan ini," katanya.

Oleh karena itu, kata Mangga Barani, untuk memberikan kepastian hukum terhadap fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (kebun plasma), perlu segera dibuat peraturan pelaksanaan dari UU Perkebunan dalam bentuk PP.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan bahwa perusahaan kelapa sawit selalu patuh dengan regulasi yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dia mengatakan bahwa kewajiban pembangunan kebun plasma itu ada sejak tahun 2007 seiring dengan terbitnya Permentan No 26/2007.

Menurutnya, pembangunan kebun plasma itu membutuhkan lahan. Sementara sejak 20 Mei 2011 pemerintah melakukan moratorium pemberian izin baru untuk pembukaan lahan. Beleid ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

Jadi, sejak 20 Mei 2011 tidak ada izin baru yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan swasta, sehingga bisa dipastikan tidak ada pembangunan kebun plasma baru. "Pembangunan kebun plasma baru itu bisa dilakukan jika ada izin baru. Jadi di sini pemerintah perlu menyediakan lahan untuk pembangunan kebun plasma baru," kata Joko Supriyono.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1631 seconds (0.1#10.140)