Risiko Sistemik Sektor Keuangan Berhasil Dihalau Secara Sistematis
A
A
A
JAKARTA - Terdapat dua risiko sistemik utama yakni pertama respons pengetatan kebijakan bank sentral negara maju termasuk Amerika Serikat. Ditambah negara emerging markets yang lebih agresif dibanding perkiraan,
Hal tersebut mengakibatkan kenaikan suku bunga internasional dan mengetatnya likuiditas global ternyata tidak terjadi. Patuhnya Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed terhadap Presiden AS Donald Trump merupakan bentuk nyata dari dovishnya risiko sistemik tersebut.
"Bank Indonesia (BI) dengan memperhitungkan covered interest parity telah menempatkan kebijakan moneter yang tepat yang a head the curve," ujar President Director Center for Banking Crisis Achmad Deni Daruri lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Risiko kedua yakni berlanjutnya kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang meningkatkan eskalasi trade war (perang dagang) antara Amerika Serikat dan China diperkirakan semakin melemah. Langkah BI dan OJK dengan menganut prinsip bank follows the trade, dinilai tampaknya berhasil menjangkar risiko inflasi yang berpotensi ditimbulkan oleh perang dagang.
Hal itu dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Rime, Scrimpf dan Syrstad tahun 2017. Terbukti juga bahwa deviasi dalam covered interest parity yang umumnya terjadi secara persisten setelah global financial crisis juga dapat dijinakan.
Menurutnya, hal ini juga dapat terjadi akibat kecerdikan pengelola sektor moneter dan keuangan di Indonesia dalam mengelola kebijakan moneter dan keuangan yang tidak melemahkan peran negara dan masyarakat dalam pembangunan.
Teori ini, lanjut Deni, sebetulnya dikembangkan oleh Raghuram Rajan lulusan Universitas Chicago yang pernah menjadi gubernur bank sentral India dan chief economist IMF. Namun, justru di Indonesialah teori ini dapat diterapkan dengan baik oleh BI dan OJK.
"Dengan penerapan teori ini, maka ancaman shok berupa contagion effect krisis perekonomian yang terjadi di Turki dan Argentina ke negara emerging lainnya semakin jauh panggang dari pada api," imbuhnya.
Dia menuturkan, acungan jempol patut diberikan khususnya kepada Perry Waluyo (Gubernur BI) yang mampu melakukan kebijakan moneter yang bersifat divergensi setelah mampu membaca dengan baik pergerakan deviasi yang besar dari rupiah terhadap USD dalam konteks covered interest parity khususnya pada akhir tahun 2018 dan awal 2019.
"Jika kewaspadaan ini dapat dipertahankan dengan baik, maka dapat diperkirakan bahwa stabilitas system keuangan pada 2019 akan kembali dapat terjaga dengan baik. Apalagi, BI memprioritaskan menjaga stabilitas ketimbang pertumbuhan ekonomi," paparnya.
Dengan demikian, langkah BI mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate atau BI7DRR sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75% berdasarkan covered interest rate parity merupakan langkah tepat seiring ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari kenyataan dan ekspektasi nilai tukar rupiah yang lebih murah dari yang terjadi di pasar.
Hal tersebut mengakibatkan kenaikan suku bunga internasional dan mengetatnya likuiditas global ternyata tidak terjadi. Patuhnya Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed terhadap Presiden AS Donald Trump merupakan bentuk nyata dari dovishnya risiko sistemik tersebut.
"Bank Indonesia (BI) dengan memperhitungkan covered interest parity telah menempatkan kebijakan moneter yang tepat yang a head the curve," ujar President Director Center for Banking Crisis Achmad Deni Daruri lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Risiko kedua yakni berlanjutnya kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang meningkatkan eskalasi trade war (perang dagang) antara Amerika Serikat dan China diperkirakan semakin melemah. Langkah BI dan OJK dengan menganut prinsip bank follows the trade, dinilai tampaknya berhasil menjangkar risiko inflasi yang berpotensi ditimbulkan oleh perang dagang.
Hal itu dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Rime, Scrimpf dan Syrstad tahun 2017. Terbukti juga bahwa deviasi dalam covered interest parity yang umumnya terjadi secara persisten setelah global financial crisis juga dapat dijinakan.
Menurutnya, hal ini juga dapat terjadi akibat kecerdikan pengelola sektor moneter dan keuangan di Indonesia dalam mengelola kebijakan moneter dan keuangan yang tidak melemahkan peran negara dan masyarakat dalam pembangunan.
Teori ini, lanjut Deni, sebetulnya dikembangkan oleh Raghuram Rajan lulusan Universitas Chicago yang pernah menjadi gubernur bank sentral India dan chief economist IMF. Namun, justru di Indonesialah teori ini dapat diterapkan dengan baik oleh BI dan OJK.
"Dengan penerapan teori ini, maka ancaman shok berupa contagion effect krisis perekonomian yang terjadi di Turki dan Argentina ke negara emerging lainnya semakin jauh panggang dari pada api," imbuhnya.
Dia menuturkan, acungan jempol patut diberikan khususnya kepada Perry Waluyo (Gubernur BI) yang mampu melakukan kebijakan moneter yang bersifat divergensi setelah mampu membaca dengan baik pergerakan deviasi yang besar dari rupiah terhadap USD dalam konteks covered interest parity khususnya pada akhir tahun 2018 dan awal 2019.
"Jika kewaspadaan ini dapat dipertahankan dengan baik, maka dapat diperkirakan bahwa stabilitas system keuangan pada 2019 akan kembali dapat terjaga dengan baik. Apalagi, BI memprioritaskan menjaga stabilitas ketimbang pertumbuhan ekonomi," paparnya.
Dengan demikian, langkah BI mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate atau BI7DRR sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75% berdasarkan covered interest rate parity merupakan langkah tepat seiring ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari kenyataan dan ekspektasi nilai tukar rupiah yang lebih murah dari yang terjadi di pasar.
(akr)