Kurangi Batu Bara, Indonesia Power Uji Coba Co-Firing di PLTU Jeranjang
A
A
A
JAKARTA - PT Indonesia Power bersama PT PLN (Persero) Puslitbang dan PLN Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Barat melakukan uji coba co-firing Refused Derived Fuel (RDF) dengan batu bara di PLTU Jeranjang.
Metode ini adalah alternatif untuk mengurangi pemakaian batu bara dengan cara mensubstitusi sebagian batu bara dengan bahan bakar terbarukan pada rasio tertentu dengan tetap memperhatikan kualitas bahan bakar sesuai kebutuhan.
Saat ini, PLTU berbahan bakar batu bara masih mendominasi bauran energi nasional. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional adalah 60,78 GW tahun 2017 dengan persentase terbesar adalah PLTU berbahan bakar batu bara sebesar 58,3%.
"Untuk mengantisipasi menipisnya ketersediaan batu bara, perlu adanya langkah konkrit dalam mereduksi pemakaian bahan bakar tersebut. Metode co-firing telah umum dilakukan oleh sejumlah PLTU batu bara di Eropa dan Amerika," ungkap Direktur Utama Indonesia Power Sripeni Inten Cahyani dalam keterangan tertulis, Rabu (27/2/2019).
Di Indonesia, lanjut dia, teknologi ini masih jarang ditemui. Padahal potensi adanya bahan bakar lain yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi batu bara cukup melimpah, seperti sampah atau yang dikenal dengan konsep Waste to Energy (WTE).
"Untuk itu dengan bangga kami melakukan uji coba co-firing RDF dengan batu bara di PLTU Jeranjang. Saat ini persentase pellet RDF yang digunakan sampai dengan 5% dari kebutuhan bahan bakar PLTU Jeranjang," jelasnya.
Pelet RFD sebagai bahan substitusi bahan bakar ini, smabung dia, merupakan hasil aksi nyata CSR Indonesia Power yang bekerja sama dengan STT PLN melalui program TOSS (Tempat Olah Sampah Setempat) di Kabupaten Klungkung Bali, yaitu program mengelola sampah domestik menjadi pellet RFD yang bisa menjadi campuran bahan bakar PLTU Batubara.
Uji coba dilakukan pada tanggal 19-20 Februari 2019 pada beban 25 MW dengan tahapan hari pertama uji operasional dan hari kedua uji stabilitas selama 5 jam.
"Hasil ujicoba menunjukkan hasil yang positif dimana sebagian besar parameter operasi dalam batas aman dan emisi gas buang yang didapat juga dalam batas normal," ujarnya.
Seperti diketahui sampah merupakan material yang jumlahnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sampah domestik memiliki nilai kalor sekitar 1.000 kkal/kg, lebih rendah dibandingkan jerami padi (2.400 kkal/kg) atau sekam (3.000 kkal/kg).
Nilai kalori sampah dapat ditingkatkan dengan cara pemprosesan menjadi pellet RDF dengan memanfaatkan bioactivator sehingga bau sampah akan hilang serta volume sampah akan mengendap dan lapuk hingga 50%.
Bioproduk tersebut dapat meningkatkan kualitas thermal sampai dengan 3.800 kcal/kg.
Untuk menjaga kualitas RDF dibutuhkan pengolahan pendahuluan (pre-treatment) sebelum dimanfaatkan dalam sistem WTE, pengolahan pendahuluan dapat berupa pengeringan secara alamiah maupun mekanik, pemanasan awal untuk menguapkan air yang ikut terbawa bersama sampah, dan pemotongan untuk mempermudah pembakaran.
Pellet RDF juga mengandung lebih sedikit sulfur jika dibandingkan dengan batubara. Oleh karena itu, co-firing batubara dan pelet berpotensi menurunkan emisi CO2, NOx dan SOx.
Pellet RDF ini dapat diaplikasikan untuk gasifier dan substitusi bahan bakar pada PLTU batu bara tipe stoker maupun Circulating Fluidizing Bed (CFB) seperti PLTU Jeranjang.
Metode ini adalah alternatif untuk mengurangi pemakaian batu bara dengan cara mensubstitusi sebagian batu bara dengan bahan bakar terbarukan pada rasio tertentu dengan tetap memperhatikan kualitas bahan bakar sesuai kebutuhan.
Saat ini, PLTU berbahan bakar batu bara masih mendominasi bauran energi nasional. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional adalah 60,78 GW tahun 2017 dengan persentase terbesar adalah PLTU berbahan bakar batu bara sebesar 58,3%.
"Untuk mengantisipasi menipisnya ketersediaan batu bara, perlu adanya langkah konkrit dalam mereduksi pemakaian bahan bakar tersebut. Metode co-firing telah umum dilakukan oleh sejumlah PLTU batu bara di Eropa dan Amerika," ungkap Direktur Utama Indonesia Power Sripeni Inten Cahyani dalam keterangan tertulis, Rabu (27/2/2019).
Di Indonesia, lanjut dia, teknologi ini masih jarang ditemui. Padahal potensi adanya bahan bakar lain yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi batu bara cukup melimpah, seperti sampah atau yang dikenal dengan konsep Waste to Energy (WTE).
"Untuk itu dengan bangga kami melakukan uji coba co-firing RDF dengan batu bara di PLTU Jeranjang. Saat ini persentase pellet RDF yang digunakan sampai dengan 5% dari kebutuhan bahan bakar PLTU Jeranjang," jelasnya.
Pelet RFD sebagai bahan substitusi bahan bakar ini, smabung dia, merupakan hasil aksi nyata CSR Indonesia Power yang bekerja sama dengan STT PLN melalui program TOSS (Tempat Olah Sampah Setempat) di Kabupaten Klungkung Bali, yaitu program mengelola sampah domestik menjadi pellet RFD yang bisa menjadi campuran bahan bakar PLTU Batubara.
Uji coba dilakukan pada tanggal 19-20 Februari 2019 pada beban 25 MW dengan tahapan hari pertama uji operasional dan hari kedua uji stabilitas selama 5 jam.
"Hasil ujicoba menunjukkan hasil yang positif dimana sebagian besar parameter operasi dalam batas aman dan emisi gas buang yang didapat juga dalam batas normal," ujarnya.
Seperti diketahui sampah merupakan material yang jumlahnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sampah domestik memiliki nilai kalor sekitar 1.000 kkal/kg, lebih rendah dibandingkan jerami padi (2.400 kkal/kg) atau sekam (3.000 kkal/kg).
Nilai kalori sampah dapat ditingkatkan dengan cara pemprosesan menjadi pellet RDF dengan memanfaatkan bioactivator sehingga bau sampah akan hilang serta volume sampah akan mengendap dan lapuk hingga 50%.
Bioproduk tersebut dapat meningkatkan kualitas thermal sampai dengan 3.800 kcal/kg.
Untuk menjaga kualitas RDF dibutuhkan pengolahan pendahuluan (pre-treatment) sebelum dimanfaatkan dalam sistem WTE, pengolahan pendahuluan dapat berupa pengeringan secara alamiah maupun mekanik, pemanasan awal untuk menguapkan air yang ikut terbawa bersama sampah, dan pemotongan untuk mempermudah pembakaran.
Pellet RDF juga mengandung lebih sedikit sulfur jika dibandingkan dengan batubara. Oleh karena itu, co-firing batubara dan pelet berpotensi menurunkan emisi CO2, NOx dan SOx.
Pellet RDF ini dapat diaplikasikan untuk gasifier dan substitusi bahan bakar pada PLTU batu bara tipe stoker maupun Circulating Fluidizing Bed (CFB) seperti PLTU Jeranjang.
(fjo)