Perusahaan Jepang di Indonesia Keluhkan Kenaikan Upah Buruh
A
A
A
JAKARTA - Survei Japan External Trade Organization (JETRO) terhadap perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia menyimpulkan, semakin mahalnya upah buruh di negara ini menjadi perhatian utama manajemen.
"Tenaga kerja yang pada 2009 dianggap murah oleh 45,8% responden, di 2018 hanya 23,8% saja yang berpendapat sama," kata President Director JETRO Keishi Suzuki, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/2/2019).
JETRO menyebutkan, respons efektif dari jajak pendapat tersebut diperoleh dari 413 perusahaan Jepang yang ada di Indonesia, dengan rasio efektif 22%. Selain masalah upah buruh, dari survei tersebut diketahui ada beberapa hal lain yang cukup mengkhawatirkan. Namun, beberapa hal lainnya menunjukkan perkembangan positif.
Keishi Suzuki memaparkan, kesimpulan penting dari survei tersebut pertama adalah rasio jumlah perusahaan Jepang yang mengalami keuntungan pada tahun 2018 adalah sebanyak 65,5%.Kedua, rasio ekspor terhadap penjualan naik menjadi 24,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Ketiga, perusahaan yang menjawab bahwa kenaikan biaya produksi dan jasa berdampak negatif sangat besar terhadap kegiatan usaha mencapai 47%.
Keempat, masalah manajemen yang utama adalah rasio kenaikan upah buruh yang merupakan tertinggi di antara lima negara utama ASEAN.
Kelima, permasalahan hambatan bisnis dalam bidang nontarif. Keenam, meskipun minat terhadap pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri tinggi, tidak terlihat adanya perbaikan pada rasio pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri.Ketujuh, perusahaan Jepang yang berencana memperluas bisnisnya dalam 1-2 tahun ke depan, jumlahnya menurun sampai setengahnya. Kedelapan, gencarnya pembangunan infrastruktur membuat iklim investasi Indonesia semakin membaik.Pada 2013, kata dia, ada 73,2% responden menyebut infrastruktur yang tidak memadai sebagai risiko investasi. Tapi di tahun 2018, jumlahnya turun menjadi 52,5%. "Hal ini dapat dilihat sebagai keberhasilan dari langkah kebijakan pemerintah," sebut Keishi.
Dia menambahkan, survei itu juga menyebutkan bahwa 80% responden menyatakan keuntungan dalam berinvestasi di Indonesia adalah skala pasar atau potensi pertumbuhan yang besar. Namun, sambung dia, masalah ketidakpastian kebijakan pemerintah daerah menurutnya akan menjadi persoalan di masa mendatang. Dia mengatakan, sejak 2009-2018, responden mengatakan tidak ada perubahan yang signifikan terkait hambatan tersebut.
"Perusahaan Jepang yang berencana ekspansi dalam 1-2 tahun ke depan jumlahnya menurun sampai setengahnya. Penyebabnya adalah kenaikan upah buruh dan kenaikan biaya pengadaan. Semoga ke depan pemerintah dapat memperbaiki isu tersebut," pungkasnya.
"Tenaga kerja yang pada 2009 dianggap murah oleh 45,8% responden, di 2018 hanya 23,8% saja yang berpendapat sama," kata President Director JETRO Keishi Suzuki, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/2/2019).
JETRO menyebutkan, respons efektif dari jajak pendapat tersebut diperoleh dari 413 perusahaan Jepang yang ada di Indonesia, dengan rasio efektif 22%. Selain masalah upah buruh, dari survei tersebut diketahui ada beberapa hal lain yang cukup mengkhawatirkan. Namun, beberapa hal lainnya menunjukkan perkembangan positif.
Keishi Suzuki memaparkan, kesimpulan penting dari survei tersebut pertama adalah rasio jumlah perusahaan Jepang yang mengalami keuntungan pada tahun 2018 adalah sebanyak 65,5%.Kedua, rasio ekspor terhadap penjualan naik menjadi 24,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Ketiga, perusahaan yang menjawab bahwa kenaikan biaya produksi dan jasa berdampak negatif sangat besar terhadap kegiatan usaha mencapai 47%.
Keempat, masalah manajemen yang utama adalah rasio kenaikan upah buruh yang merupakan tertinggi di antara lima negara utama ASEAN.
Kelima, permasalahan hambatan bisnis dalam bidang nontarif. Keenam, meskipun minat terhadap pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri tinggi, tidak terlihat adanya perbaikan pada rasio pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri.Ketujuh, perusahaan Jepang yang berencana memperluas bisnisnya dalam 1-2 tahun ke depan, jumlahnya menurun sampai setengahnya. Kedelapan, gencarnya pembangunan infrastruktur membuat iklim investasi Indonesia semakin membaik.Pada 2013, kata dia, ada 73,2% responden menyebut infrastruktur yang tidak memadai sebagai risiko investasi. Tapi di tahun 2018, jumlahnya turun menjadi 52,5%. "Hal ini dapat dilihat sebagai keberhasilan dari langkah kebijakan pemerintah," sebut Keishi.
Dia menambahkan, survei itu juga menyebutkan bahwa 80% responden menyatakan keuntungan dalam berinvestasi di Indonesia adalah skala pasar atau potensi pertumbuhan yang besar. Namun, sambung dia, masalah ketidakpastian kebijakan pemerintah daerah menurutnya akan menjadi persoalan di masa mendatang. Dia mengatakan, sejak 2009-2018, responden mengatakan tidak ada perubahan yang signifikan terkait hambatan tersebut.
"Perusahaan Jepang yang berencana ekspansi dalam 1-2 tahun ke depan jumlahnya menurun sampai setengahnya. Penyebabnya adalah kenaikan upah buruh dan kenaikan biaya pengadaan. Semoga ke depan pemerintah dapat memperbaiki isu tersebut," pungkasnya.
(fjo)