Kaum Milenial Mendamba Kota Idaman
A
A
A
JAKARTA - Kaum milenial bukan hanya memiliki pengaruh besar dalam mengubah sosial-ekonomi dunia. Mereka juga mempunyai ekspektasi yang tinggi untuk mengubah tingkat kualitas hidup mereka sendiri.
Berdasar data Forum Ekonomi Dunia (WEF), sebanyak empat dari lima kaum muda milenial dilaporkan ingin pindah dari negara asal dan meniti karier yang lebih baik di luar negeri.
Tren ini banyak terjadi di Asia. Tren ini juga didorong pesatnya kemajuan sistem teknologi dan komunikasi. Menurut penelitian Value Champion, Singapura merupakan kota terbaik bagi milenial yang ingin mencari pekerjaan baru dengan kualitas hidup terbaik.
Hal ini didukung oleh banyak lapangan pekerjaan dan rendahnya pengangguran. Faktanya, produk domestik bruto (PDB) per kapita Singapura mencapai SGD79.000 (Rp817 juta).
“PDB per kapita Singapura tertinggi dan angka penganggurannya kedua terendah di antara 20 kota Asia lainnya yang kami teliti. Selain itu, perbedaan gaji antara lakilaki dan perempuan juga sangat tipis. Dengan demikian, kaum milenial dapat lebih mudah mencari pekerjaan dengan gaji bagus,” demikian dipaparkan Value Champion.
Singapura juga disebut memiliki tingkat polusi dan kejahatan yang sangat rendah dibanding kota lain. Tokyo menjadi kota impian kedua. Impian ini muncul karena kehidupan di Tokyo sangat seimbang. Ekonominya begitu kuat, biaya hidupnya tidak terlalu mahal, dan lingkungannya juga bagus.
Angka pengangguran di Jepang hanya mencapai 2,5% dengan PDB per kapita mencapai SGD53.000 (Rp548 juta), tertinggi di dalam daftar Value Champions. Di samping itu, penduduk Tokyo mengeluarkan biaya yang lebih rendah untuk sewa tempat tinggal dibandingkan di kota lainnya.
Selisihnya mencapai sekitar 27%. Hong Kong berada di urutan ketiga. Kota administratif China itu memiliki ekonomi yang kuat dengan angka pengangguran 2,8% dan PDB per kapita SGD63.000 (Rp652 juta).
Hong Kong juga merupakan kota sehat. Angka kematian bayi hanya sekitar 0,27% dengan rata-rata usia hidup 84,2 tahun. Namun, biaya hidup di Hong Kong terbilang sangat mahal dibanding kota-kota lainnya.
Menurut Value Champions, warga Hong Kong rata-rata menghabiskan 31% pendapatannya hanya untuk sewa tempat tinggal. Pemotongan gaji sebesar itu dinilai akan menjadi beban yang sangat berat bagi kaum muda milenial. Sebaliknya dari Hong Kong, biaya hidup di Guangzhou jauh lebih murah.
Faktanya, Guangzhou adalah salah satu kota paling terjangkau di Asia. Warga Guangzhou rata-rata hanya mengeluarkan 21% gajinya untuk sewa tempat tinggal. Harga produk di Guangzhou juga murah dengan satu botol bir dibanderol SGD1,22.
Kekurangan Guangzhou dari kota teratas lainnya ialah cukup tingginya tingkat polusi. Kota di Asia yang terbilang cukup seimbang hanyalah Melbourne. Selain tingkat polusi yang rendah dan masuk peringkat Indeks Perdamaian Global, warga di kota itu juga hanya menghabiskan 20% gajinya untuk sewa tempat tinggal.
“Melbourne memiliki lingkungan yang bagus. Di samping itu, Melbourne merupakan tempat yang relatif terjangkau. Kami mengestimasikan warga di sana mampu menggunakan 80% gajinya untuk hal lain di luar sewa tempat tinggal,” ungkap Value Champions.
Hanya, angka pengangguran di Melbourne tinggi. WEF menyatakan kaum muda milenial juga tak sedikit yang ingin pindah dan bekerja di negara emerging-market. Negara emergingmarket terfavorit mereka ialah China dan Uni Emirates Arab (UEA) yang telah mengalami kemajuan signifikan.
Disusul Brasil, Afrika Selatan, dan Argentina. Salah satu faktor utama yang mendorong kaum muda milenial memilih China dan UEA ialah kuatnya prospek pekerjaan.
Sekitar sepertiga (34%) responden dari seluruh dunia menyatakan peluang ekonomi dan karier menjadi salah satu permasalahan paling serius yang merusak negara mereka, termasuk korupsi.
Secara keseluruhan, kaum milenial masih menekankan nilai utama pada gaji (54%) dan kemajuan karier (46%) dibanding tujuan dan dampak terhadap masyarakat (37%) dalam pekerjaan mereka. Fenomena itu banyak terjadi di negara seperti China dan India, juga UEA.
Adapun tujuan yang menjadi prioritas milenial yakni Barat. Penelitian tersebut melibatkan 20.000 milenial berusia 18-35 tahun dari 187 negara. WEF dalam hal ini Global Shapers Community meminta mereka untuk menyampaikan pandangan terkait bisnis, ekonomi, politik, dan teknologi.
Global Shapers Community sendiri dipimpin dan dioperasikan oleh anak muda 20-29 tahun. Namun, sebagian kaum muda milenial mengaku pesimistis dan mengalami penurunan motivasi bekerja.
Sebanyak 43% juga mengaku ingin keluar dari pekerjaannya. Hanya sekitar 48% yang meyakini bisnis masih taat kode etik dan banyak bos yang berkomitmen membantu meningkatkan kesejahteraan karyawan.
“Salah satu cara membangkitkan semangat kerja kaum milenial ialah dengan pemberian bonus dan membangun budaya kerja yang nyaman dan aman. Segalanya akan terasa lain jika tingkat fleksibilitasnya bagus dan pegawainya dari berbagai etnis. Mereka yang tidak puas tidak menemukan itu,” ungkap Deloitte.
Meski mengetahui pentingnya Industry 4.0, kaum milenial mengaku belum siap dengan perubahan yang akan terjadi. Mereka berharap lembaga pendidikan dapat menangkal permasalahan ini dengan cepat.
Hanya sekitar 36% kaum milenial yang percaya diri memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup memadai. Pakar marketing, Yuswohady memahami juga kaum milenal mendamba kota Singapura, Tokyo, Hong Kong, Guangzhou, serta Melbourne karena kota-kota tersebut memiliki infrastruktur digital maju.
Kendati begitu, dia menilai indikator yang disuguhkan lembaga pemeringkatan tersebut masih minim variabel.
“Ya, tidak akan jauh-jauh dari lima kota besar itu yang dipilih. Cuman variabel indikatornya sangat umum hanya tiga metode saja. Padahal, milenial sangat digital sekali,” ucapnya kepada KORAN SINDO.
Di sisi lain, dia melihat Jakarta yang berada pada posisi ke-17 dari 20 kota karena ibu kota Indonesia ini memang perlu banyak berbenah.
Menurut dia, setidaknya butuh waktu lima hingga 10 tahun mengejar ketertinggalan sebagai kota yang diminati kalangan milenial global.
“Tapi, untuk kesempatan kerja maupun biaya hidup ya Jakarta bisa dibilang cukup. Persoalan ada pada masalah kualitas hidup yang masih rendah seperti polusi udara, kemacetan, hingga keamanan. Ini yang pembenahannya butuh waktu panjang,” ungkapnya.
Dia lantas menuturkan, dari sisi kesempatan kerja, Jakarta adalah pasar yang besar sehingga penyerapan tenaga kerja anak-anak muda dari luar sangat terbuka lebar.
Namun, kondisi tersebut belum ditunjang dengan murahnya biaya hidup dibandingkan negara lain yang sudah maju dari sisi infrastruktur. “Tapi, saya kira penilaian yang paling menentukan itu ada pada kualitas hidup. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” pungkasnya. (Muh Shamil/Ichsan Amin)
Berdasar data Forum Ekonomi Dunia (WEF), sebanyak empat dari lima kaum muda milenial dilaporkan ingin pindah dari negara asal dan meniti karier yang lebih baik di luar negeri.
Tren ini banyak terjadi di Asia. Tren ini juga didorong pesatnya kemajuan sistem teknologi dan komunikasi. Menurut penelitian Value Champion, Singapura merupakan kota terbaik bagi milenial yang ingin mencari pekerjaan baru dengan kualitas hidup terbaik.
Hal ini didukung oleh banyak lapangan pekerjaan dan rendahnya pengangguran. Faktanya, produk domestik bruto (PDB) per kapita Singapura mencapai SGD79.000 (Rp817 juta).
“PDB per kapita Singapura tertinggi dan angka penganggurannya kedua terendah di antara 20 kota Asia lainnya yang kami teliti. Selain itu, perbedaan gaji antara lakilaki dan perempuan juga sangat tipis. Dengan demikian, kaum milenial dapat lebih mudah mencari pekerjaan dengan gaji bagus,” demikian dipaparkan Value Champion.
Singapura juga disebut memiliki tingkat polusi dan kejahatan yang sangat rendah dibanding kota lain. Tokyo menjadi kota impian kedua. Impian ini muncul karena kehidupan di Tokyo sangat seimbang. Ekonominya begitu kuat, biaya hidupnya tidak terlalu mahal, dan lingkungannya juga bagus.
Angka pengangguran di Jepang hanya mencapai 2,5% dengan PDB per kapita mencapai SGD53.000 (Rp548 juta), tertinggi di dalam daftar Value Champions. Di samping itu, penduduk Tokyo mengeluarkan biaya yang lebih rendah untuk sewa tempat tinggal dibandingkan di kota lainnya.
Selisihnya mencapai sekitar 27%. Hong Kong berada di urutan ketiga. Kota administratif China itu memiliki ekonomi yang kuat dengan angka pengangguran 2,8% dan PDB per kapita SGD63.000 (Rp652 juta).
Hong Kong juga merupakan kota sehat. Angka kematian bayi hanya sekitar 0,27% dengan rata-rata usia hidup 84,2 tahun. Namun, biaya hidup di Hong Kong terbilang sangat mahal dibanding kota-kota lainnya.
Menurut Value Champions, warga Hong Kong rata-rata menghabiskan 31% pendapatannya hanya untuk sewa tempat tinggal. Pemotongan gaji sebesar itu dinilai akan menjadi beban yang sangat berat bagi kaum muda milenial. Sebaliknya dari Hong Kong, biaya hidup di Guangzhou jauh lebih murah.
Faktanya, Guangzhou adalah salah satu kota paling terjangkau di Asia. Warga Guangzhou rata-rata hanya mengeluarkan 21% gajinya untuk sewa tempat tinggal. Harga produk di Guangzhou juga murah dengan satu botol bir dibanderol SGD1,22.
Kekurangan Guangzhou dari kota teratas lainnya ialah cukup tingginya tingkat polusi. Kota di Asia yang terbilang cukup seimbang hanyalah Melbourne. Selain tingkat polusi yang rendah dan masuk peringkat Indeks Perdamaian Global, warga di kota itu juga hanya menghabiskan 20% gajinya untuk sewa tempat tinggal.
“Melbourne memiliki lingkungan yang bagus. Di samping itu, Melbourne merupakan tempat yang relatif terjangkau. Kami mengestimasikan warga di sana mampu menggunakan 80% gajinya untuk hal lain di luar sewa tempat tinggal,” ungkap Value Champions.
Hanya, angka pengangguran di Melbourne tinggi. WEF menyatakan kaum muda milenial juga tak sedikit yang ingin pindah dan bekerja di negara emerging-market. Negara emergingmarket terfavorit mereka ialah China dan Uni Emirates Arab (UEA) yang telah mengalami kemajuan signifikan.
Disusul Brasil, Afrika Selatan, dan Argentina. Salah satu faktor utama yang mendorong kaum muda milenial memilih China dan UEA ialah kuatnya prospek pekerjaan.
Sekitar sepertiga (34%) responden dari seluruh dunia menyatakan peluang ekonomi dan karier menjadi salah satu permasalahan paling serius yang merusak negara mereka, termasuk korupsi.
Secara keseluruhan, kaum milenial masih menekankan nilai utama pada gaji (54%) dan kemajuan karier (46%) dibanding tujuan dan dampak terhadap masyarakat (37%) dalam pekerjaan mereka. Fenomena itu banyak terjadi di negara seperti China dan India, juga UEA.
Adapun tujuan yang menjadi prioritas milenial yakni Barat. Penelitian tersebut melibatkan 20.000 milenial berusia 18-35 tahun dari 187 negara. WEF dalam hal ini Global Shapers Community meminta mereka untuk menyampaikan pandangan terkait bisnis, ekonomi, politik, dan teknologi.
Global Shapers Community sendiri dipimpin dan dioperasikan oleh anak muda 20-29 tahun. Namun, sebagian kaum muda milenial mengaku pesimistis dan mengalami penurunan motivasi bekerja.
Sebanyak 43% juga mengaku ingin keluar dari pekerjaannya. Hanya sekitar 48% yang meyakini bisnis masih taat kode etik dan banyak bos yang berkomitmen membantu meningkatkan kesejahteraan karyawan.
“Salah satu cara membangkitkan semangat kerja kaum milenial ialah dengan pemberian bonus dan membangun budaya kerja yang nyaman dan aman. Segalanya akan terasa lain jika tingkat fleksibilitasnya bagus dan pegawainya dari berbagai etnis. Mereka yang tidak puas tidak menemukan itu,” ungkap Deloitte.
Meski mengetahui pentingnya Industry 4.0, kaum milenial mengaku belum siap dengan perubahan yang akan terjadi. Mereka berharap lembaga pendidikan dapat menangkal permasalahan ini dengan cepat.
Hanya sekitar 36% kaum milenial yang percaya diri memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup memadai. Pakar marketing, Yuswohady memahami juga kaum milenal mendamba kota Singapura, Tokyo, Hong Kong, Guangzhou, serta Melbourne karena kota-kota tersebut memiliki infrastruktur digital maju.
Kendati begitu, dia menilai indikator yang disuguhkan lembaga pemeringkatan tersebut masih minim variabel.
“Ya, tidak akan jauh-jauh dari lima kota besar itu yang dipilih. Cuman variabel indikatornya sangat umum hanya tiga metode saja. Padahal, milenial sangat digital sekali,” ucapnya kepada KORAN SINDO.
Di sisi lain, dia melihat Jakarta yang berada pada posisi ke-17 dari 20 kota karena ibu kota Indonesia ini memang perlu banyak berbenah.
Menurut dia, setidaknya butuh waktu lima hingga 10 tahun mengejar ketertinggalan sebagai kota yang diminati kalangan milenial global.
“Tapi, untuk kesempatan kerja maupun biaya hidup ya Jakarta bisa dibilang cukup. Persoalan ada pada masalah kualitas hidup yang masih rendah seperti polusi udara, kemacetan, hingga keamanan. Ini yang pembenahannya butuh waktu panjang,” ungkapnya.
Dia lantas menuturkan, dari sisi kesempatan kerja, Jakarta adalah pasar yang besar sehingga penyerapan tenaga kerja anak-anak muda dari luar sangat terbuka lebar.
Namun, kondisi tersebut belum ditunjang dengan murahnya biaya hidup dibandingkan negara lain yang sudah maju dari sisi infrastruktur. “Tapi, saya kira penilaian yang paling menentukan itu ada pada kualitas hidup. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” pungkasnya. (Muh Shamil/Ichsan Amin)
(nfl)