Surplus Perdagangan Membuat Rebound Pasar Keuangan Domestik
A
A
A
JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2019 mengalami surplus USD330 juta, sehingga dapat menjadi katalis bagi pasar keuangan domestik untuk rebound. Rupiah juga berpotensi menguat dan stabil di kisaran Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (USD).
Sementar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berpotensi melanjutkan penguatan menuju level 7.000-an. Chief Economist BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan nilai impor yang mampu turun cukup drastis mencerminkan kedisiplinan dalam menggunakan bahan baku dan barang impor.
Sedangkan nilai ekspor masih positif kendati harga minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/CPO) dan batubara sebagai komoditas andalan ekspor masih belum pulih lagi. "Dengan kinerja ekspor impor Februari 2019 tersebut, maka defisit perdagangan periode Januari hingga Februari makin mengecil," ujar dia saat dihubungi, Minggu (17/3/2019).
Ryan mengklaim, persepsi investor makin positif terhadap outlook perekonomian Indonesia. Apalagi, dengan adanya peringkat sovereign credit rating Indonesia pada level BBB/outlook stabil (Investment Grade) pada 14 Maret 2019 lalu.
Afirmasi rating Indonesia pada level BBB dengan outlook stabil mencerminkan keyakinan lembaga rating atas perekonomian Indonesia dan resiliensi sektor eksternal Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian.
"Jika pola perdagangan Februari 2019 berlanjut di bulan-bulan berikutnya, di akhir 2019 ini perdagangan bisa surplus atau tidak mengulang defisit 2018 yang sebesar USD7,57 miliar," paparnya.
Kuncinya yakni terus dorong ekspor serta mencari pasar non tradisional dan tekan impor. "Utamanya impor barang konsumsi. Juga tekan defisit sektor jasa, agar semuanya itu bisa menurunkan defisit transaksi berjalan (CAD)," katanya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam memandang, surplus perdagangan belum cukup significant berpengaruh ke rupiah dan pasar modal Indonesia.
Pergerakan rupiah dan pasar saham selama beberapa minggu yang lalu dan juga ke depan hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertama sentimen pasar terkait kondisi global khususnya isu perang dagang serta potensi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS.
Kedua, kondisi politik dalam negeri. Menurut Piter, pelemahan rupiah dan IHSG yang lalu lebih disebabkan faktor global dan sudah berlangsung cukup lama.
"Kita tahu tren pelemahan rupiah dan IHSG Indonesia sudah berlangsung sejak Februari 2019. Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1,37% menjadi 6.443,35 dari posisi penutupan Januari 2019 di level 6.532,97," ungkap Piter. Ketika sentimen global mereda rupiah menguat dan IHSG juga rebound.
"Itu yang terjadi di akhir minggu yang lalu. Rupiah menguat tipis sementara IHSG menguat cukup signifikan. Saya memperkirakan ini tanda tanda meredanya sentimen global," paparnya. Dia pun memerkirakan rupiah dan IHSG akan meneruskan penguatan.
Piter menuturkan neraca dagang yang surplus disebabkan perlambatan pertumbuhan impor yang jauh lebih besar daripada perlambatan ekspor. Khususnya pada impor migas yang mengalami kontraksi pertumbuhan sekitar 28,59% yoy selama Januari-Februari selain impor migas.
Selain itu, lanjut dia, pada Februari, impor barang konsumsi dan bahan baku atau penolong juga mengalami perlambatan pertumbuhan yang besar. Kondisi ini menunjukkan kebijakan pemerintah menekan impor seperti kebijakan B20 sudah mulai efektif dan diharapkan bisa berlanjut pada bulan bulan yang akan datang. "Memang yang paling realistis bagi kita saat ini adalah menahan laju pertumbuhan impot," imbuhnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko, mengungkapkan surplus perdagangan pada Februari banyak dipengaruhi oleh kenaikan pada neraca perdagangan nonmigas akibat penurunan impor nonmigas yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan ekspor nonmigas. Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas tidak banyak berbeda dibandingkan dengan kinerja bulan sebelumnya.
"Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan pada Februari 2019 berdampak positif pada upaya memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan," ungkap Onny.
Kedepan, Bank Indonesia dan pemerintah akan terus berkoordinasi mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik. Sehingga tetap dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal, termasuk prospek kinerja neraca perdagangan.
Sementar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berpotensi melanjutkan penguatan menuju level 7.000-an. Chief Economist BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan nilai impor yang mampu turun cukup drastis mencerminkan kedisiplinan dalam menggunakan bahan baku dan barang impor.
Sedangkan nilai ekspor masih positif kendati harga minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/CPO) dan batubara sebagai komoditas andalan ekspor masih belum pulih lagi. "Dengan kinerja ekspor impor Februari 2019 tersebut, maka defisit perdagangan periode Januari hingga Februari makin mengecil," ujar dia saat dihubungi, Minggu (17/3/2019).
Ryan mengklaim, persepsi investor makin positif terhadap outlook perekonomian Indonesia. Apalagi, dengan adanya peringkat sovereign credit rating Indonesia pada level BBB/outlook stabil (Investment Grade) pada 14 Maret 2019 lalu.
Afirmasi rating Indonesia pada level BBB dengan outlook stabil mencerminkan keyakinan lembaga rating atas perekonomian Indonesia dan resiliensi sektor eksternal Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian.
"Jika pola perdagangan Februari 2019 berlanjut di bulan-bulan berikutnya, di akhir 2019 ini perdagangan bisa surplus atau tidak mengulang defisit 2018 yang sebesar USD7,57 miliar," paparnya.
Kuncinya yakni terus dorong ekspor serta mencari pasar non tradisional dan tekan impor. "Utamanya impor barang konsumsi. Juga tekan defisit sektor jasa, agar semuanya itu bisa menurunkan defisit transaksi berjalan (CAD)," katanya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam memandang, surplus perdagangan belum cukup significant berpengaruh ke rupiah dan pasar modal Indonesia.
Pergerakan rupiah dan pasar saham selama beberapa minggu yang lalu dan juga ke depan hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertama sentimen pasar terkait kondisi global khususnya isu perang dagang serta potensi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS.
Kedua, kondisi politik dalam negeri. Menurut Piter, pelemahan rupiah dan IHSG yang lalu lebih disebabkan faktor global dan sudah berlangsung cukup lama.
"Kita tahu tren pelemahan rupiah dan IHSG Indonesia sudah berlangsung sejak Februari 2019. Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1,37% menjadi 6.443,35 dari posisi penutupan Januari 2019 di level 6.532,97," ungkap Piter. Ketika sentimen global mereda rupiah menguat dan IHSG juga rebound.
"Itu yang terjadi di akhir minggu yang lalu. Rupiah menguat tipis sementara IHSG menguat cukup signifikan. Saya memperkirakan ini tanda tanda meredanya sentimen global," paparnya. Dia pun memerkirakan rupiah dan IHSG akan meneruskan penguatan.
Piter menuturkan neraca dagang yang surplus disebabkan perlambatan pertumbuhan impor yang jauh lebih besar daripada perlambatan ekspor. Khususnya pada impor migas yang mengalami kontraksi pertumbuhan sekitar 28,59% yoy selama Januari-Februari selain impor migas.
Selain itu, lanjut dia, pada Februari, impor barang konsumsi dan bahan baku atau penolong juga mengalami perlambatan pertumbuhan yang besar. Kondisi ini menunjukkan kebijakan pemerintah menekan impor seperti kebijakan B20 sudah mulai efektif dan diharapkan bisa berlanjut pada bulan bulan yang akan datang. "Memang yang paling realistis bagi kita saat ini adalah menahan laju pertumbuhan impot," imbuhnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko, mengungkapkan surplus perdagangan pada Februari banyak dipengaruhi oleh kenaikan pada neraca perdagangan nonmigas akibat penurunan impor nonmigas yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan ekspor nonmigas. Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas tidak banyak berbeda dibandingkan dengan kinerja bulan sebelumnya.
"Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan pada Februari 2019 berdampak positif pada upaya memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan," ungkap Onny.
Kedepan, Bank Indonesia dan pemerintah akan terus berkoordinasi mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik. Sehingga tetap dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal, termasuk prospek kinerja neraca perdagangan.
(ven)