Tak Semua TOD Koridor Bogor Terintegrasi LRT
A
A
A
SEJAK beberapa tahun terakhir, sejumlah kota di dunia telah melakukan berbagai inovasi teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup penghuninya.
Tak hanya menerapkan konsep smart city, juga sudah mengarah ke eco city. Kawasan hunian berkonsep transit oriented development (TOD) sejatinya membuat mobilisasi penghuni makin mudah karena terintegrasi dengan transportasi massal.
Namun yang selalu jadi pertanyaan, apakah pengembang sudah tepat dalam mengimplementasikannya atau sekadar marketing gimmick untuk menarik konsumen. Konsep hunian berbasis TOD adalah pengembangan properti yang terintegrasi dengan jaringan transportasi publik, seperti kereta commuter line ataupun light rail transit (LRT).
Hal itu tak terlepas dari maraknya pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi massal, terutama di DKI Jakarta hingga ke wilayah penyangganya, yang semakin memudahkan mobilisasi masyarakat. Dari cetak biru pengembangan LRT, untuk koridor Jakarta-Bogor saat ini baru sampai Cibubur. Jadi, kawasan TOD yang dikembangkan di sekitar Cimanggis, Sentul, hingga Bogor, belum masuk dalam kriteria TOD.
Meskipun sejumlah pengembang di koridor itu mengklaim sebagai hunian TOD, sejatinya pengembangan LRT masih belum mencapai kawasan tersebut. Di koridor ini rencana pengembangan LRT tak lagi laying, tapi on grid atau di atas tanah langsung.
Diperkirakan kelanjutan jalur LRT berada di sisi tol dari arah Jakarta. Hal ini tentu akan menyulitkan kawasan-kawasan yang dikembangkan di seberangnya untuk mengakses LRT. Kawasan TOD merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik, yang kini mulai banyak diadopsi pengembang.
Tujuannya, sistem terpadu ini diharapkan mampu mengubah kehidupan masyarakat yang selama ini menggunakan kendaraan pribadi, beralih naik transportasi umum. Namun yang masih menjadi pertanyaan, koneksi transportasi di kawasan TOD apakah sudah diterapkan dengan baik?
Ketua Kompartemen Perencana Muda Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Meyriana Kesuma mengutarakan, memang saat ini belum ada informasi yang lengkap dan menyeluruh bagaimana pengembang menerapkan konsep TOD. Hal itu, kata dia, karena hingga kini belum ada kawasan hunian TOD yang sudah rampung, semua masih dalam tahap pembangunan.
Menurut Meyriana, konsep TOD merupakan integrated land use seperti perumahan dan komersial dengan transportasi massal. Yang terjadi sekarang, konektivitas dengan angkutan umum sepertinya masih dipertanyakan. “Kalau dari gambar rencana pembangunan atau masterplan memang sebagian besar masih mengandalkan kedekatan jarak dengan transportasi publik, bukan ketersambungan,” ujarnya ketika dihubungi KORAN SINDO .
Pemerintah, lanjut dia, sudah mengatur kawasan TOD melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Beleid yang disahkan pada 10 Oktober 2017 tersebut mengatur sejumlah hal terkait pengembangan properti di kawasan transit atau yang lebih dikenal TOD. Misalnya, tentang penentuan dan penetapan lokasi kawasan, pengembangan kawasan, dan kelembagaan TOD.
“Kriteria TOD ini yang akhirnya dipakai sebagai alih-alih bahwa pengembangan properti tersebut masuk dalam TOD,” tandas Meyriana. Meski begitu, sah saja apabila pengembang mengambil jalan seperti itu, membangun properti yang dekat dengan transportasi massal.
Yang terpenting harus dilakukan adalah pengembang bisa menjamin keberpihakan publik atas penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat kelas menengah bawah, fasilitas publik, seperti jalur pedestrian hingga ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu developer yang kini tengah mengembangkan proyek properti dengan konsep TOD adalah PT Adhi Persada Properti (APP).
Kawasan tersebut bernama LRT Superblock, salah satunya yang berada di Grand Dhika City Bekasi, Jawa Barat. Proyek ini adalah sebuah kawasan mixed use yang terletak tepat di depan pintu tol Bekasi Timur yang menempati area seluas total 15 hektare.
Di dalamnya akan terdapat 11 bangunan tinggi yakni apartemen, apartemen servis, perkantoran, dan hotel yang dilengkapi dengan pusat belanja, ballroom, rumah sakit, dan ruko. Tepat di dalam hunian ini adalah tujuan terakhir stasiun LRT dan depo kereta sehingga memudahkan penghuni bepergian ke pusat kota. Ada juga LRT City Bekasi Timur-Green Avenue yang dikembangkan dengan pendekatan pengembangan kota yang bersifat kompak, mengadopsi tata campuran (mixed use), dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda serta maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti LRT, bus rapid transit (BRT), dan angkutan massal lainnya.
APP juga tengah mengembangkan hunian yang terintegrasi dengan moda transportasi commuter line, Cisauk Point, serta terintegrasi dengan bus dan Pasar Modern Intermoda Cisauk. “Semua proyek TOD yang dikembangkan APP terkoneksi dengan LRT, baik masuk langsung ke kawasannya maupun terhubung dengan jembatan menuju stasiun LRT,” ujar Happy Murdianto, Corporate GM Sales & Marketing APP. (Rendra Hanggara)
Tak hanya menerapkan konsep smart city, juga sudah mengarah ke eco city. Kawasan hunian berkonsep transit oriented development (TOD) sejatinya membuat mobilisasi penghuni makin mudah karena terintegrasi dengan transportasi massal.
Namun yang selalu jadi pertanyaan, apakah pengembang sudah tepat dalam mengimplementasikannya atau sekadar marketing gimmick untuk menarik konsumen. Konsep hunian berbasis TOD adalah pengembangan properti yang terintegrasi dengan jaringan transportasi publik, seperti kereta commuter line ataupun light rail transit (LRT).
Hal itu tak terlepas dari maraknya pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi massal, terutama di DKI Jakarta hingga ke wilayah penyangganya, yang semakin memudahkan mobilisasi masyarakat. Dari cetak biru pengembangan LRT, untuk koridor Jakarta-Bogor saat ini baru sampai Cibubur. Jadi, kawasan TOD yang dikembangkan di sekitar Cimanggis, Sentul, hingga Bogor, belum masuk dalam kriteria TOD.
Meskipun sejumlah pengembang di koridor itu mengklaim sebagai hunian TOD, sejatinya pengembangan LRT masih belum mencapai kawasan tersebut. Di koridor ini rencana pengembangan LRT tak lagi laying, tapi on grid atau di atas tanah langsung.
Diperkirakan kelanjutan jalur LRT berada di sisi tol dari arah Jakarta. Hal ini tentu akan menyulitkan kawasan-kawasan yang dikembangkan di seberangnya untuk mengakses LRT. Kawasan TOD merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik, yang kini mulai banyak diadopsi pengembang.
Tujuannya, sistem terpadu ini diharapkan mampu mengubah kehidupan masyarakat yang selama ini menggunakan kendaraan pribadi, beralih naik transportasi umum. Namun yang masih menjadi pertanyaan, koneksi transportasi di kawasan TOD apakah sudah diterapkan dengan baik?
Ketua Kompartemen Perencana Muda Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Meyriana Kesuma mengutarakan, memang saat ini belum ada informasi yang lengkap dan menyeluruh bagaimana pengembang menerapkan konsep TOD. Hal itu, kata dia, karena hingga kini belum ada kawasan hunian TOD yang sudah rampung, semua masih dalam tahap pembangunan.
Menurut Meyriana, konsep TOD merupakan integrated land use seperti perumahan dan komersial dengan transportasi massal. Yang terjadi sekarang, konektivitas dengan angkutan umum sepertinya masih dipertanyakan. “Kalau dari gambar rencana pembangunan atau masterplan memang sebagian besar masih mengandalkan kedekatan jarak dengan transportasi publik, bukan ketersambungan,” ujarnya ketika dihubungi KORAN SINDO .
Pemerintah, lanjut dia, sudah mengatur kawasan TOD melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Beleid yang disahkan pada 10 Oktober 2017 tersebut mengatur sejumlah hal terkait pengembangan properti di kawasan transit atau yang lebih dikenal TOD. Misalnya, tentang penentuan dan penetapan lokasi kawasan, pengembangan kawasan, dan kelembagaan TOD.
“Kriteria TOD ini yang akhirnya dipakai sebagai alih-alih bahwa pengembangan properti tersebut masuk dalam TOD,” tandas Meyriana. Meski begitu, sah saja apabila pengembang mengambil jalan seperti itu, membangun properti yang dekat dengan transportasi massal.
Yang terpenting harus dilakukan adalah pengembang bisa menjamin keberpihakan publik atas penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat kelas menengah bawah, fasilitas publik, seperti jalur pedestrian hingga ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu developer yang kini tengah mengembangkan proyek properti dengan konsep TOD adalah PT Adhi Persada Properti (APP).
Kawasan tersebut bernama LRT Superblock, salah satunya yang berada di Grand Dhika City Bekasi, Jawa Barat. Proyek ini adalah sebuah kawasan mixed use yang terletak tepat di depan pintu tol Bekasi Timur yang menempati area seluas total 15 hektare.
Di dalamnya akan terdapat 11 bangunan tinggi yakni apartemen, apartemen servis, perkantoran, dan hotel yang dilengkapi dengan pusat belanja, ballroom, rumah sakit, dan ruko. Tepat di dalam hunian ini adalah tujuan terakhir stasiun LRT dan depo kereta sehingga memudahkan penghuni bepergian ke pusat kota. Ada juga LRT City Bekasi Timur-Green Avenue yang dikembangkan dengan pendekatan pengembangan kota yang bersifat kompak, mengadopsi tata campuran (mixed use), dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda serta maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti LRT, bus rapid transit (BRT), dan angkutan massal lainnya.
APP juga tengah mengembangkan hunian yang terintegrasi dengan moda transportasi commuter line, Cisauk Point, serta terintegrasi dengan bus dan Pasar Modern Intermoda Cisauk. “Semua proyek TOD yang dikembangkan APP terkoneksi dengan LRT, baik masuk langsung ke kawasannya maupun terhubung dengan jembatan menuju stasiun LRT,” ujar Happy Murdianto, Corporate GM Sales & Marketing APP. (Rendra Hanggara)
(nfl)