Besok UE Tentukan Sikap Terkait Pelarangan Minyak Sawit
A
A
A
JAKARTA - Parlemen Uni Eropa (UE) akan memutuskan rekomendasi Komisi UE tentang pelarangan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (BBN/Biofuel) besok, Kamis (28/3/2019). Indonesia berharap keputusan yang dibuat melegakan industri sawit nasional.
Namun, Staf Khusus Menteri Luar Negeri (Menlu), Peter F Gontha menduga, keputusan Parlemen UE akan condong merugikan Indonesia.
"Ada tiga kemungkinan keputusan Parlemen UE, bisa menolak, menerima atau tidak berpendapat. Kita harapkan yang terakhir. Namun itu berat," kata Peter dalam Seminar Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Menurut Peter yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini, mayoritas anggota Parlemen UE getol memerangi minyak sawit. "Sebanyak 600 dari 700 anggota parlemen UE menentang sawit. Itu masalahnya," kata Peter.
Kalau benar parlemen UE menyetujui pelarangan minyak sawit untuk BBN, kata Peter, tentunya sangat merugikan pemerintah Indonesia. Bisa jadi keputusan ini merupakan strategi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan UE yang acapkali defisit dengan Indonesia. Di mana, nilai ekspor Indonesia ke UE sepanjang 2018 mencapai USD17,1 miliar, sementara impor sebesar USD14,1 miliar.
Ke depan, dia menyarankan agar pemerintah dan pelaku sawit di Indonesia, lebih gencar melakukan diplomasi atau pendekatan sawit terhadap parlemen UE. "Tirulah Malaysia yang all out dalam membela kepentingan industri sawit. Malaysia sampai punya kantor khusus. Sesekali kita perlu engagement Parlemen UE. Ajak mereka main golf atau minum wine. Agar mereka itu tercerahkan," kata Peter.
Sementara, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami, meyakini tren kebutuhan minyak sawit akan melonjak seiring penggunaan bahan bakar nabati dunia, termasuk di Uni Eropa.
Saat ini, kata Dono, BBN mulai dicoba di hampir seluruh moda transportasi, termasuk pesawat terbang. "Untuk rute-rute domestik, Lufthansa, maskapai penerbangan Jerman sudah menggunakan BBN. Meski bukan dari minyak sawit. Ke depan, saya optimis minyak sawit akan tetap diminati," ungkapnya.
Terkait pelarangan sawit untuk BBN, dirinya merasakan sebagai sebuah diskriminasi. Berdasarkan Suistanability Development Goals (SDGs) yang diakui UE, industri sawit memegang peran penting bagi Indonesia. Di mana, angka kemiskinan di Indonesia bisa berkurang lantaran bertumbuhnya industri sawit nasional.
"Poin pertama dari 17 poin dalam SDGs itu memuat soal pemberantasan kemiskinan. Di mana, lebih dari 17 juta rakyat Indonesia bergantung kepada sawit," papar dia.
Namun, Staf Khusus Menteri Luar Negeri (Menlu), Peter F Gontha menduga, keputusan Parlemen UE akan condong merugikan Indonesia.
"Ada tiga kemungkinan keputusan Parlemen UE, bisa menolak, menerima atau tidak berpendapat. Kita harapkan yang terakhir. Namun itu berat," kata Peter dalam Seminar Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Menurut Peter yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini, mayoritas anggota Parlemen UE getol memerangi minyak sawit. "Sebanyak 600 dari 700 anggota parlemen UE menentang sawit. Itu masalahnya," kata Peter.
Kalau benar parlemen UE menyetujui pelarangan minyak sawit untuk BBN, kata Peter, tentunya sangat merugikan pemerintah Indonesia. Bisa jadi keputusan ini merupakan strategi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan UE yang acapkali defisit dengan Indonesia. Di mana, nilai ekspor Indonesia ke UE sepanjang 2018 mencapai USD17,1 miliar, sementara impor sebesar USD14,1 miliar.
Ke depan, dia menyarankan agar pemerintah dan pelaku sawit di Indonesia, lebih gencar melakukan diplomasi atau pendekatan sawit terhadap parlemen UE. "Tirulah Malaysia yang all out dalam membela kepentingan industri sawit. Malaysia sampai punya kantor khusus. Sesekali kita perlu engagement Parlemen UE. Ajak mereka main golf atau minum wine. Agar mereka itu tercerahkan," kata Peter.
Sementara, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami, meyakini tren kebutuhan minyak sawit akan melonjak seiring penggunaan bahan bakar nabati dunia, termasuk di Uni Eropa.
Saat ini, kata Dono, BBN mulai dicoba di hampir seluruh moda transportasi, termasuk pesawat terbang. "Untuk rute-rute domestik, Lufthansa, maskapai penerbangan Jerman sudah menggunakan BBN. Meski bukan dari minyak sawit. Ke depan, saya optimis minyak sawit akan tetap diminati," ungkapnya.
Terkait pelarangan sawit untuk BBN, dirinya merasakan sebagai sebuah diskriminasi. Berdasarkan Suistanability Development Goals (SDGs) yang diakui UE, industri sawit memegang peran penting bagi Indonesia. Di mana, angka kemiskinan di Indonesia bisa berkurang lantaran bertumbuhnya industri sawit nasional.
"Poin pertama dari 17 poin dalam SDGs itu memuat soal pemberantasan kemiskinan. Di mana, lebih dari 17 juta rakyat Indonesia bergantung kepada sawit," papar dia.
(fjo)