Indeks PMI Terus Naik, Sektor Manufaktur Indonesia Mantap Berekspansi
A
A
A
JAKARTA - Aktivitas sektor manufaktur di Indonesia terus menujukkan tren positif sepanjang Maret 2019. Hal ini ditunjukkan oleh indeks manajer pembelian (Purchasing Managers Index/PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 51,2. Angka tersebut melonjak dari bulan sebelumnya yang berada di level 50,1. Peringkat di atas 50 menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif.
"Artinya dari capaian tersebut, kepercayaan diri para investor di sektor industri masih tumbuh. Selain itu, mereka melihat iklim usaha di Indonesia tetap stabil dan telah mampu mengelola ekonomi melalui norma baru," ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Indeks yang dirilis Nikkei setiap bulan tersebut, memberikan gambaran tentang kinerja industri pengolahan pada suatu negara, yang berasal dari pertanyaan seputar jumlah produksi, permintaan baru, ketenagakerjaan, inventori, dan waktu pengiriman. Data indeks yang mencapai level 50 juga menunjukkan peningkatan di semua variabel survei.
Survei PMI manufaktur dikompilasi dari respon bulanan terhadap kuesioner yang dikirimkan kepada eksekutif pembelian di lebih dari 300 perusahaan industri yang dibagi dalam delapan kategori. Yaitu logam dasar, kimia dan plastik, listrik dan optik, makanan dan minuman, teknik mesin, tekstil danbusana, kayu dan kertas, serta transportasi.
Sejak awal tahun 2019, dalam tiga bulan terakhir, indeks PMI manufaktur Indonesia terus mengalami kenaikan, dimulai pada Januari di level 49,9 kemudian Februari naik ke level 50,1 hingga sekarang di level 51,2.
"Kenaikan PMI ini sangat positif, membuktikan industri manufaktur kita sedang bergeliat. Untuk itu, kami terus dorong agar lebih produktif dan berdaya saing," ujar Airlangga.
Dalam survei indeks PMI pada bulan Maret dilaporkan, waktu pengiriman hasil produksi lebih cepat dibanding periode sebelumnya. Selanjutnya, ketenagakerjaan manufaktur terus meluas, yang mendukung bisnis tetap bertahan untuk mampu menyelesaikan beban kerja yang belum terselesaikan. Selain itu, tingkat bisnis yang belum terselesaikan turun selama lima bulan berturut-turut.
Secara umum, Nikkei mencatat, para responden tetap optimistis tentang perkiraan bisnis pada bulan Maret, dengan 43% panelis memperkirakan kenaikan output selama 12 bulan mendatang. Alasan optimisme, termasuk proyeksi kenaikan penjualan, ekspansi bisnis terencana, investasi kapasitas, upaya yang lebih besar pada pemasaran dan aktivitas promosi.
Bahkan, di tingkat ASEAN, PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2019 menempati peringkat ke-4, atau melampaui capaian Thailand (50,3), Singapura (47,9), dan Malaysia (47,2). PMI manufaktur Indonesia juga lebih tinggi dari perolehan PMI manufaktur ASEAN sebesar 50,3.
"Artinya dari capaian tersebut, kepercayaan diri para investor di sektor industri masih tumbuh. Selain itu, mereka melihat iklim usaha di Indonesia tetap stabil dan telah mampu mengelola ekonomi melalui norma baru," ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Indeks yang dirilis Nikkei setiap bulan tersebut, memberikan gambaran tentang kinerja industri pengolahan pada suatu negara, yang berasal dari pertanyaan seputar jumlah produksi, permintaan baru, ketenagakerjaan, inventori, dan waktu pengiriman. Data indeks yang mencapai level 50 juga menunjukkan peningkatan di semua variabel survei.
Survei PMI manufaktur dikompilasi dari respon bulanan terhadap kuesioner yang dikirimkan kepada eksekutif pembelian di lebih dari 300 perusahaan industri yang dibagi dalam delapan kategori. Yaitu logam dasar, kimia dan plastik, listrik dan optik, makanan dan minuman, teknik mesin, tekstil danbusana, kayu dan kertas, serta transportasi.
Sejak awal tahun 2019, dalam tiga bulan terakhir, indeks PMI manufaktur Indonesia terus mengalami kenaikan, dimulai pada Januari di level 49,9 kemudian Februari naik ke level 50,1 hingga sekarang di level 51,2.
"Kenaikan PMI ini sangat positif, membuktikan industri manufaktur kita sedang bergeliat. Untuk itu, kami terus dorong agar lebih produktif dan berdaya saing," ujar Airlangga.
Dalam survei indeks PMI pada bulan Maret dilaporkan, waktu pengiriman hasil produksi lebih cepat dibanding periode sebelumnya. Selanjutnya, ketenagakerjaan manufaktur terus meluas, yang mendukung bisnis tetap bertahan untuk mampu menyelesaikan beban kerja yang belum terselesaikan. Selain itu, tingkat bisnis yang belum terselesaikan turun selama lima bulan berturut-turut.
Secara umum, Nikkei mencatat, para responden tetap optimistis tentang perkiraan bisnis pada bulan Maret, dengan 43% panelis memperkirakan kenaikan output selama 12 bulan mendatang. Alasan optimisme, termasuk proyeksi kenaikan penjualan, ekspansi bisnis terencana, investasi kapasitas, upaya yang lebih besar pada pemasaran dan aktivitas promosi.
Bahkan, di tingkat ASEAN, PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2019 menempati peringkat ke-4, atau melampaui capaian Thailand (50,3), Singapura (47,9), dan Malaysia (47,2). PMI manufaktur Indonesia juga lebih tinggi dari perolehan PMI manufaktur ASEAN sebesar 50,3.
(ven)