Pajak OTT Asing Kini Lebih Pasti
A
A
A
JAKARTA - Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan memudahkan pemerintah memungut pajak dari perusahaan over the top (OTT) asing beroperasi di Indonesia.
Di samping itu, beleid terbaru itu juga bisa membantu pemerintah dalam mengontrol konten-konten berbahaya yang biasa muncul di berbagai platform berbasis internet. Harapannya, selain menjadi sumber subjek pajak baru juga bisa menghindari perselisihan perpajakan di kemudian hari.
PMK yang mulai berlaku sejak 1 April itu diharapkan menjadi solusi yang telah lama ditunggu para pelaku usaha dalam negeri. Selama ini, keberadaan OTT asing yang beroperasi di Indonesia dianggap hanya mengambil keuntungan dari pasar dalam negeri tanpa dikenakan kewajiban perpajakan seperti korporasi pada umumnya.
“PMK ini dikeluarkan seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang melibatkan subjek pajak luar negeri,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, untuk memungut pajak dari OTT asing seperti Google, Facebook atau platform lainnya diperlukan kepastian hukum. Menurut Hestu, PMK tersebut akan mempertegas dua hal yakni pertama mengenai kepastian hukum bagi orang pribadi atau badan asing yang berusaha melalui BUT di Indonesia. Dan kedua, PMK memperjelas undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengenai penentuan BUT.
"Di UU PPh sudah ada juga tetapi perlu diperjelas lebih jauh sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih baik untuk menghindari dispute," ujarnya.
Hestu melanjutkan, PMK ini untuk memberi penegasan sehingga ada panduan yang jelas bagi masyarakat, badan asing, maupun petugas pajak di lapangan. "Itu sebenarnya bukan hal yang baru, hanya menjelaskan apa yang sudah ada di UU saja dalam bentuk PMK yang lebih detail lagi," jelasnya.
Hestu menerangkan, perusahaan seperti Google maupun Facebook perlu diindetifikasi mengenai data penghasilannya. Pasalnya, dalam beleid itu terdapat aturan di mana jika perusahan asing yang BUT memiliki penghasilan besar, maka bisa dikenakan pajak.
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ferdinandus Setu mengatakan, PMK yang mengatur Penentuan BUT merupakan salah satu peraturan yang didorong oleh Kominfo. Dia menilai, dengan aturan ini maka perusahaan dengan platform media sosial dan digital bisa lebih dipantau keberadaannya di Tanah Air. “Platform media sosial ini sangat rentan terhadap ujaran kebencian dan berpotensi mengganggu keamanan negara. Sejak awal aturan ini didorong juga oleh Kominfo sebagai dasar adanya kantor perwakilan di tanah air,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Dia meyakini perusahaan berbasis media sosial dan digital sudah mengantisipasi aturan ini dan siap bekerjasama dengan pemerintah.
“Saya kira mereka sudah antisipasi ya. Sehingga tidak akan ada masalah nantinya, karena perjuangan lahirnya aturan ini dilakukan sejak lima tahun silam,” ujarnya.
Setu mengakui, PMK ini akan memberikan keuntungan dari sisi penambahan potensial wajib pajak baru. Sedangkan bagi Kominfo, keberadaan kantor perwakilan perusahaan seperti ini bisa memudahkan pemantauan dan komunikasi terkait penggunanya di masyarakat.
“Jadi setiap kali ada aduan, ujaran kebencian atau potensi gangguan keamanan, pemantauan dan komunikasinya bisa lebih mudah,” pungkasnya.
Pengamat media sosial Heru Sutadi mengungkapkan, keberadaan kantor perwakilan perusahaan berbasis media sosial dan digital di Indonesia akan memudahkan komunikasi yang berkaitan dengan konten.
“Selama ini kalau mau protes atau mau pasang iklan semuanya dilakukan lewat fitur yang ada di platform media sosial. Jadi, dengan keberadaan kantor perwakilan media sosial ini komunikasinya saya rasa yang lebih perlu,” ungkapnya.
Dia menambahkan, pemerintah hanya bertindak selaku fasilitator dan regulator terkait penggunaan media sosial di masyarakat. “Sehingga kalau ada konten protes dan itu tidak tersampaikan, masyarakat bisa langsung menyampaikan dengan difasilitasi pemerintah,” ujarnya.
Dukung Iklim Investasi
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, PMK No 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan BUT akan mendukung iklim investasi asing yang baik di Indonesia.
"Adanya PMK ini memperjelas kepastian hukum terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia, dengan menimbang model usaha yang melibatkan subjek pajak luar negeri yang terus berkembang," ujarnya.
PMK ini, lanjut Yustinus, juga telah sesuai dengan dasar hukum Pasal 5 ayat (2) UU tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di samping itu, PMK juga sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara/yuridiksi mitra.
"PMK ini dengan jelas mengatur ketentuan mengenai tempat usaha "place of business" sebagai tempat yang digunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan," ujar Yustinus.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengatakan, aturan terbaru terkait pajak OTT yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani itu akan membuat perusahaan seperti Google dan Facebook sulit mengelak dari kewajiban membayar pajak.
Dia menambahhkan, apa yang dilakukan oleh Indonesia sudah mengikuti peraturan atau konsensus internasional terkait upaya dalam menghindari tax avoidance atau biasa dikenal dengan gerakan Base Erosion Profit Shifting.
Di Indonesia, kehadiran OTT asing sudah lama dikritisi karena dianggap melakukan praktik usaha namun diduga mengabaikan persoalan pajak. Praktik seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam negeri. Di Eropa pun perusahaan internet seperti Google, Facebook dan Amazon terus dipaksa agar mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Namun, mereka berkelit karena adanya perbedaan pendapat antara OTT dan para pembuat kebijakan.
Beberapa negara di Eropa seperti Inggris, Jerman dan Spanyol hingga kini masih terus berjuang membahas kebijakan untuk pajak digital di masing-masing negara. Ketiganya ingin mengikuti jejak Prancis yang sejak bulan lalu bersiap menerapkan pajak dengan target para raksasa internet seperti Google, Amazon dan Facebook. Prancis menerapkan regulasi lebih ketat pada perusahaan teknologi besar tanpa dukungan dari Uni Eropa (UE).
Di Prancis, Pajak sebesar 3% akan diterapkan atas pendapatan yang diperoleh di Prancis dari sekitar 30 perusahaan besar yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat (AS).
Menteri Keuangan (Menkeu) Prancis Bruno Le Maire memperkirakan pajak yang akan dikumpulkan mencapai sekitar USD565 juta per tahun. Pajak di Prancis itu saja menunjukkan besarnya pendapatan para raksasa teknologi asal AS itu. Meski demikian, aturan ini dapat membuka jalan untuk regulasi lebih luas terhadap perusahaan-perusahaan teknologi di Eropa, termasuk pajak digital UE.
Upaya mengesahkan pajak 3% untuk pendapatan perusahaan internet besar, tahun lalu gagal dilakukan karena ada kekhawatiran dari negara-negara seperti Irlandia dan Jerman yang khawatir akan mendapat balasan dari AS.
Le Maire menjadi tokoh yang paling kritis untuk mendorong pajak digital. Dia berpendapat Google, Amazon dan Facebook diuntungkan dari tingkat pajak lebih rendah dibandingkan perusahaan-perusahaan Eropa. Dia menegaskan, Prancis akan menarik pajaknya sendiri saat OECD mencapai kesepakatan.
Kepala Pajak Komisi Eropa Pierre Moscovici menyatakan, pajak baru untuk raksasa teknologi seperti Facebook, Amazon dan Google dapat mengumpulkan dana 4,4 miliar poundsterling per tahun di penjuru Eropa.
Moscovici memperingatkan bahwa 2019 akan didominasi oleh isu Brexit, pemilu Parlemen Eropa pada Mei dan pemilihan Komisioner baru dan sulit membayangkan pajak teknologi akan disepakati. “Kita dapat memimpin dengan contoh. Mari lakukan sekarang,” kata tokoh yang mendorong peningkatan pajak untuk para raksasa internet itu.
Pihak Google menyatakan menyatakan selalu membayar semua pajak. Dalam sebuah pernyataan kepada CNBC, Google menegaskan selalu menaati undang-undang pajak di setiap negara yang kami beroperasi di penjuru dunia.
“Google membayar mayoritas pajak pendapatan korporat di AS dan kami telah membayar pajak efektif global 23% selama 10 tahun terakhir,” papar juru bicara Google.
Facebook juga menyatakan membayar pajak yang ditentukan oleh undang-undang di setiap negara tempat mereka beroperasi. Facebook akan terus menaati aturan Prancis dan Eropa terkait pajak.
“Di Prancis, kami sukarela menetapkan penjualan baru dan struktur invoice baru pada 2018. Dari sekarang, semua pendapatan dari para pengiklan yang didukung tim kami di Prancis dicatat di Prancis. Kami harap OECD akan menyelesaikan kerjanya dan menciptakan kesepakatan global yang jelas dan berkelanjutan untuk pajak,” papar juru bicara Facebook. (Oktiani Endarwati/Ichsan Amin/Syarifudin/Sindonews)
Di samping itu, beleid terbaru itu juga bisa membantu pemerintah dalam mengontrol konten-konten berbahaya yang biasa muncul di berbagai platform berbasis internet. Harapannya, selain menjadi sumber subjek pajak baru juga bisa menghindari perselisihan perpajakan di kemudian hari.
PMK yang mulai berlaku sejak 1 April itu diharapkan menjadi solusi yang telah lama ditunggu para pelaku usaha dalam negeri. Selama ini, keberadaan OTT asing yang beroperasi di Indonesia dianggap hanya mengambil keuntungan dari pasar dalam negeri tanpa dikenakan kewajiban perpajakan seperti korporasi pada umumnya.
“PMK ini dikeluarkan seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang melibatkan subjek pajak luar negeri,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, untuk memungut pajak dari OTT asing seperti Google, Facebook atau platform lainnya diperlukan kepastian hukum. Menurut Hestu, PMK tersebut akan mempertegas dua hal yakni pertama mengenai kepastian hukum bagi orang pribadi atau badan asing yang berusaha melalui BUT di Indonesia. Dan kedua, PMK memperjelas undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengenai penentuan BUT.
"Di UU PPh sudah ada juga tetapi perlu diperjelas lebih jauh sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih baik untuk menghindari dispute," ujarnya.
Hestu melanjutkan, PMK ini untuk memberi penegasan sehingga ada panduan yang jelas bagi masyarakat, badan asing, maupun petugas pajak di lapangan. "Itu sebenarnya bukan hal yang baru, hanya menjelaskan apa yang sudah ada di UU saja dalam bentuk PMK yang lebih detail lagi," jelasnya.
Hestu menerangkan, perusahaan seperti Google maupun Facebook perlu diindetifikasi mengenai data penghasilannya. Pasalnya, dalam beleid itu terdapat aturan di mana jika perusahan asing yang BUT memiliki penghasilan besar, maka bisa dikenakan pajak.
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ferdinandus Setu mengatakan, PMK yang mengatur Penentuan BUT merupakan salah satu peraturan yang didorong oleh Kominfo. Dia menilai, dengan aturan ini maka perusahaan dengan platform media sosial dan digital bisa lebih dipantau keberadaannya di Tanah Air. “Platform media sosial ini sangat rentan terhadap ujaran kebencian dan berpotensi mengganggu keamanan negara. Sejak awal aturan ini didorong juga oleh Kominfo sebagai dasar adanya kantor perwakilan di tanah air,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Dia meyakini perusahaan berbasis media sosial dan digital sudah mengantisipasi aturan ini dan siap bekerjasama dengan pemerintah.
“Saya kira mereka sudah antisipasi ya. Sehingga tidak akan ada masalah nantinya, karena perjuangan lahirnya aturan ini dilakukan sejak lima tahun silam,” ujarnya.
Setu mengakui, PMK ini akan memberikan keuntungan dari sisi penambahan potensial wajib pajak baru. Sedangkan bagi Kominfo, keberadaan kantor perwakilan perusahaan seperti ini bisa memudahkan pemantauan dan komunikasi terkait penggunanya di masyarakat.
“Jadi setiap kali ada aduan, ujaran kebencian atau potensi gangguan keamanan, pemantauan dan komunikasinya bisa lebih mudah,” pungkasnya.
Pengamat media sosial Heru Sutadi mengungkapkan, keberadaan kantor perwakilan perusahaan berbasis media sosial dan digital di Indonesia akan memudahkan komunikasi yang berkaitan dengan konten.
“Selama ini kalau mau protes atau mau pasang iklan semuanya dilakukan lewat fitur yang ada di platform media sosial. Jadi, dengan keberadaan kantor perwakilan media sosial ini komunikasinya saya rasa yang lebih perlu,” ungkapnya.
Dia menambahkan, pemerintah hanya bertindak selaku fasilitator dan regulator terkait penggunaan media sosial di masyarakat. “Sehingga kalau ada konten protes dan itu tidak tersampaikan, masyarakat bisa langsung menyampaikan dengan difasilitasi pemerintah,” ujarnya.
Dukung Iklim Investasi
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, PMK No 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan BUT akan mendukung iklim investasi asing yang baik di Indonesia.
"Adanya PMK ini memperjelas kepastian hukum terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia, dengan menimbang model usaha yang melibatkan subjek pajak luar negeri yang terus berkembang," ujarnya.
PMK ini, lanjut Yustinus, juga telah sesuai dengan dasar hukum Pasal 5 ayat (2) UU tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di samping itu, PMK juga sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara/yuridiksi mitra.
"PMK ini dengan jelas mengatur ketentuan mengenai tempat usaha "place of business" sebagai tempat yang digunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan," ujar Yustinus.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengatakan, aturan terbaru terkait pajak OTT yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani itu akan membuat perusahaan seperti Google dan Facebook sulit mengelak dari kewajiban membayar pajak.
Dia menambahhkan, apa yang dilakukan oleh Indonesia sudah mengikuti peraturan atau konsensus internasional terkait upaya dalam menghindari tax avoidance atau biasa dikenal dengan gerakan Base Erosion Profit Shifting.
Di Indonesia, kehadiran OTT asing sudah lama dikritisi karena dianggap melakukan praktik usaha namun diduga mengabaikan persoalan pajak. Praktik seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam negeri. Di Eropa pun perusahaan internet seperti Google, Facebook dan Amazon terus dipaksa agar mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Namun, mereka berkelit karena adanya perbedaan pendapat antara OTT dan para pembuat kebijakan.
Beberapa negara di Eropa seperti Inggris, Jerman dan Spanyol hingga kini masih terus berjuang membahas kebijakan untuk pajak digital di masing-masing negara. Ketiganya ingin mengikuti jejak Prancis yang sejak bulan lalu bersiap menerapkan pajak dengan target para raksasa internet seperti Google, Amazon dan Facebook. Prancis menerapkan regulasi lebih ketat pada perusahaan teknologi besar tanpa dukungan dari Uni Eropa (UE).
Di Prancis, Pajak sebesar 3% akan diterapkan atas pendapatan yang diperoleh di Prancis dari sekitar 30 perusahaan besar yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat (AS).
Menteri Keuangan (Menkeu) Prancis Bruno Le Maire memperkirakan pajak yang akan dikumpulkan mencapai sekitar USD565 juta per tahun. Pajak di Prancis itu saja menunjukkan besarnya pendapatan para raksasa teknologi asal AS itu. Meski demikian, aturan ini dapat membuka jalan untuk regulasi lebih luas terhadap perusahaan-perusahaan teknologi di Eropa, termasuk pajak digital UE.
Upaya mengesahkan pajak 3% untuk pendapatan perusahaan internet besar, tahun lalu gagal dilakukan karena ada kekhawatiran dari negara-negara seperti Irlandia dan Jerman yang khawatir akan mendapat balasan dari AS.
Le Maire menjadi tokoh yang paling kritis untuk mendorong pajak digital. Dia berpendapat Google, Amazon dan Facebook diuntungkan dari tingkat pajak lebih rendah dibandingkan perusahaan-perusahaan Eropa. Dia menegaskan, Prancis akan menarik pajaknya sendiri saat OECD mencapai kesepakatan.
Kepala Pajak Komisi Eropa Pierre Moscovici menyatakan, pajak baru untuk raksasa teknologi seperti Facebook, Amazon dan Google dapat mengumpulkan dana 4,4 miliar poundsterling per tahun di penjuru Eropa.
Moscovici memperingatkan bahwa 2019 akan didominasi oleh isu Brexit, pemilu Parlemen Eropa pada Mei dan pemilihan Komisioner baru dan sulit membayangkan pajak teknologi akan disepakati. “Kita dapat memimpin dengan contoh. Mari lakukan sekarang,” kata tokoh yang mendorong peningkatan pajak untuk para raksasa internet itu.
Pihak Google menyatakan menyatakan selalu membayar semua pajak. Dalam sebuah pernyataan kepada CNBC, Google menegaskan selalu menaati undang-undang pajak di setiap negara yang kami beroperasi di penjuru dunia.
“Google membayar mayoritas pajak pendapatan korporat di AS dan kami telah membayar pajak efektif global 23% selama 10 tahun terakhir,” papar juru bicara Google.
Facebook juga menyatakan membayar pajak yang ditentukan oleh undang-undang di setiap negara tempat mereka beroperasi. Facebook akan terus menaati aturan Prancis dan Eropa terkait pajak.
“Di Prancis, kami sukarela menetapkan penjualan baru dan struktur invoice baru pada 2018. Dari sekarang, semua pendapatan dari para pengiklan yang didukung tim kami di Prancis dicatat di Prancis. Kami harap OECD akan menyelesaikan kerjanya dan menciptakan kesepakatan global yang jelas dan berkelanjutan untuk pajak,” papar juru bicara Facebook. (Oktiani Endarwati/Ichsan Amin/Syarifudin/Sindonews)
(nfl)