Tolak Diskriminasi Sawit, RI dan Malaysia Kirim Surat Keberatan ke UE

Senin, 08 April 2019 - 13:54 WIB
Tolak Diskriminasi Sawit, RI dan Malaysia Kirim Surat Keberatan ke UE
Tolak Diskriminasi Sawit, RI dan Malaysia Kirim Surat Keberatan ke UE
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia dengan Malaysia telah melayangkan surat bersama ke pihak Uni Eropa (UE) soal keberatan terhadap pelarangan masuknya komoditas kelapa sawit ke kawasan tersebut. Surat itu pun dikirimkan pada kemarin malam, Minggu (7/4/2019).

Adapun saat ini, Parlemen Uni Eropa sedang melakukan pembahasan terkait keputusan undang-undang penghapusan penggunaan biofuel yang berbasis kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia sendiri merupakan dua negara terbesar penghasil kelapa sawit.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, surat bersama itu telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. "Sudah tulis surat bersama dan tandatangan bersama. Itu tadi malam dikirimnya," ujar Luhut dalam acara cofee morning bersama media di kantornya, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Kendati demikian Luhut enggan menjelaskan secara rinci isi surat tersebut. Dirinya hanya memastikan, surat tersebut mencakup keberatan dan ketegasan dua negara produsen kelapa sawit itu terhadap sikap diskriminasi Uni Eropa. "Isinya keberatan terhadap apa yang diberikan Uni Eropa, tapi kira-kira itu ada ketegasan di dalamnya," katanya.

Dia menjelaskan, pemerintah Indonesia juga akan terus menggandeng negara penghasil kelapa sawit lainnya untuk menyuarakan keberatan terhadap keputusan Uni Eropa. "Nanti kita ajak lagi, Kolombia dan Afrika," sambungnya.

Menurut Luhut, jika Uni Eropa tetap tak mengindahkan keberatan negara-negara produsen kelapa sawit, Pemerintah Indonesia bakal melakukan gugatan ke pengadilan internasional Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO). Serta mendorong pengusaha turut melakukan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Uni Eropa (the Court of Justice).

"Tapi karena WTO itu butuh berapa tahun, (lewat) Court of Justice ini lebih cepat. Opsi apa saja juga akan kita jalani, seperti keluar Paris Agreement, AS dan BraZil aja bisa keluar kenapa kita enggak bisa. Hasil karbon paling banyak hutannya kan Indonesia, Brazil dan Kolombia," jelas dia
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7164 seconds (0.1#10.140)