DJP-Kemenkeu Pisah, Ekonom: Tak Ada Lompatan Penerimaan Pajak
A
A
A
JAKARTA - Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) alias DJP dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai ekonom tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan pajak. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menerangkan, kalaupun ada tidak terlalu besar.
"Bisa (meningkat), tapi tidak akan signifikan. karena hanya berubah organisasi, tapi uangnya tetap," ujar Pieter di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Rencana pemisahan Ditjen Pajak menjadi institusi tersendiri yang tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) seiring proses revisi atas undang-undang perubahan terhadap Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam proses revisi itu, muncul wacana untuk melepaskan DJP dari Kemenkeu, sekaligus menjadikannya sebagai badan otonom langsung di bawah presiden.
Pieter menambahkan, saat ini permasalahan utama yang dihadapi DJP yakni bagaimana menggenjot realisasi penerimaan pajak ialah masih rendahnya aliran uang dalam negeri. Menurutnya, hal tersebut terjadi akibat suku bunga pinjaman yang dinilai masih terlalu tinggi.
Hal ini terang dua kemudian membuat Indonesia menjadi negara dengan biaya yang mahal. "Dengan likuiditas yang lebih baik, suku bunga yang lebih rendah, apa yang terjadi? Transaksi akan naik, konsumsi akan naik," jelasnya.
Apabila konsumsi meningkat, maka disaat yang bersamaan angka permintaan produksi juga naik. Hal inilah yang kemudian akan meningkatkan angka investasi di Indonesia. "Saya yakini tidak akan ada lompatan yang besar di dalam konteks penerimaan pajak selama kondisi perekonomian kita masih kering likuiditas seperti saat ini," tandasnya.
"Bisa (meningkat), tapi tidak akan signifikan. karena hanya berubah organisasi, tapi uangnya tetap," ujar Pieter di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Rencana pemisahan Ditjen Pajak menjadi institusi tersendiri yang tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) seiring proses revisi atas undang-undang perubahan terhadap Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam proses revisi itu, muncul wacana untuk melepaskan DJP dari Kemenkeu, sekaligus menjadikannya sebagai badan otonom langsung di bawah presiden.
Pieter menambahkan, saat ini permasalahan utama yang dihadapi DJP yakni bagaimana menggenjot realisasi penerimaan pajak ialah masih rendahnya aliran uang dalam negeri. Menurutnya, hal tersebut terjadi akibat suku bunga pinjaman yang dinilai masih terlalu tinggi.
Hal ini terang dua kemudian membuat Indonesia menjadi negara dengan biaya yang mahal. "Dengan likuiditas yang lebih baik, suku bunga yang lebih rendah, apa yang terjadi? Transaksi akan naik, konsumsi akan naik," jelasnya.
Apabila konsumsi meningkat, maka disaat yang bersamaan angka permintaan produksi juga naik. Hal inilah yang kemudian akan meningkatkan angka investasi di Indonesia. "Saya yakini tidak akan ada lompatan yang besar di dalam konteks penerimaan pajak selama kondisi perekonomian kita masih kering likuiditas seperti saat ini," tandasnya.
(akr)