Perang Dagang Pangkas Pertumbuhan Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas prospek pertumbuhan global ke level terendah.
Tahun ini dalam World Economic Outlook Update April 2019, ekonomi dunia diproyeksikan IMF hanya tumbuh 3,3%. Tingkat pertumbuhan 2019 akan menjadi yang terlemah sejak 2009, ketika ekonomi dunia menyusut. Ini adalah ketiga kalinya IMF menurunkan prospeknya dalam enam bulan.
Sebelumnya, dalam World Economic Outlook Update yang dirilis Januari 2019, IMF menyebut pertumbuhan ekonomi dunia paling bisa tumbuh sampai 3,5%. Bahkan, dalam laporannya pada Oktober 2018, angka proyeksi ekonomi global yang disebutkan IMF bisa mencapai 3,7%.
”Ini adalah saat yang sulit,” ujar Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath pada konferensi pers di Washington waktu setempat. Volume perdagangan barang dan jasa global diperkirakan 3,4% lebih lemah dari 3,8% pada 2018 atau menurun dari perkiraan IMF sebesar 4%.
Dia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi global akan pulih pada paruh kedua tahun ini. Sementara tahun depan naik 3,6% yang mana serangkaian perkembangan yang telah meningkatkan tentang ekonomi dunia dalam beberapa pekan terakhir, termasuk keputusan Federal Reserve untuk menahan kenaikan suku bunga dan mendorong data dari sektor manufaktur China dan pasar kerja AS.
Namun, IMF memperingatkan bahwa risiko cenderung turun, dengan berbagai ancaman mengancam ekonomi global, termasuk kemungkinan jatuhnya negosiasi antara AS dan China untuk mengakhiri perang dagang mereka, dan kepergian Inggris dari Uni Eropa.
Ekonom Bank BTN Winang Budoyo mengungkapkan, penurunan proyeksi pertumbuhan oleh IMF disebabkan ekonomi AS yang selama dua tahun terakhir menjadi penopang pertumbuhan global sudah menurun, di mana salah satunya akibat perang dagang.
”Masalah Brexit yang belum berkesudahan dan ekonomi Tiongkok belum bisa rebound,” ungkapnya ketika dihubungi KORAN SINDO.
Menurut Winang, dengan pemangkasan pertumbuhan global ini, Indonesia harus dapat menjaga dan memperkuat ekonomi domestik. Indonesia juga harus berkaca pada peristiwa yang terjadi tahun 2009. ”Tapi di sisi lain, kalau Indonesia bisa menjaga ekonomi domestik akan bisa mengundang investor global dengan cara menjaga daya beli masyarakat seperti menjaga inflasi tetap rendah dan stabil. Artinya, kalau pasar ekspor sedang tidak menentu, kita bisa jadikan Indonesia sebagai market (jual barang untuk pasar domestik),” kata dia.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam menuturkan, perang dagang yang berlangsung antara AS dan China memang sudah diperkirakan akan berdampak negatif bagi perekonomian kedua negara serta terhadap perekonomian global. ”Koreksi yang terus dilakukan oleh IMF dari 3,9% menjadi 3,7%, kemudian 3,5% hingga menjadi 3,3% tidak bisa dilepaskan dari dampak perang dagang,” katanya.
Akan tetapi, koreksi IMF tersebut bukan berarti pemerintah dan Bank Indonesia harus mengoreksi pertumbuhan ekonomi juga. Walaupun pertumbuhan ekonomi global melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh sesuai target pemerintah. ”Kita masih bisa mengandalkan pasar domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Yang diperlukan adalah kebijakan yang tepat,” beber Piter.
Terpisah, Rektor Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengatakan bahwa pelemahan ekonomi global akan menjadi tantangan bagi pemimpin Indonesia di masa yang akan datang. Apalagi, IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya 3,5% menjadi 3,3%.
”Jadi siapa pun yang terpilih, presiden menghadapi fakta yang tidak selalu enak dari sisi makroekonomi, domestik, dan global. Pertumbuhan ekonomi global diturunkan lagi menjadi 3,3%. Artinya, secara global, ekonomi sedang menyusut dan punya impact negatif bagi Indonesia,” ujarnya.
Agustinus melanjutkan, selain penurunan pertumbuhan ekonomi global, iklim investasi dan bisnis juga akan turut lesu dari sebelumnya. Bahkan, pelaku usaha diprediksi akan menahan diri dengan adanya beberapa isu krusial yang dianggap kurang menguntungkan bagi pengusaha.
Menurut Agustinus, ke depan investasi tidak akan tumbuh tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu, pemerintah diminta agar menyiapkan strategi agar bisnis di Indonesia terus bergairah. ”Ini masalah serius. Kita tentu ingin ekonomi tumbuh maksimal dari sekarang dan dunia usaha berkembang pesat. Tidak mungkin ekonomi bisa tumbuh tinggi kalau bisnis tidak maju,” tuturnya.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Khamdani menuturkan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akan menjadi tantangan bagi pengusaha di Indonesia.
”Jadi ini tentu saja tantangan bagi Indonesia. Karena kita nggak bisa berdiri sendiri. Saya rasa tantangan yang harus kita perhatikan slow down economy dunia, bagaimana itu bisa berdampak ke Indonesia,” imbuh dia. Namun, dirinya optimistis Indonesia akan mampu menghadapi gejolak kondisi ekonomi global dan tetap kuat. (Kunthi Fahmar Sandy/ Oktiani Endarwati)
Tahun ini dalam World Economic Outlook Update April 2019, ekonomi dunia diproyeksikan IMF hanya tumbuh 3,3%. Tingkat pertumbuhan 2019 akan menjadi yang terlemah sejak 2009, ketika ekonomi dunia menyusut. Ini adalah ketiga kalinya IMF menurunkan prospeknya dalam enam bulan.
Sebelumnya, dalam World Economic Outlook Update yang dirilis Januari 2019, IMF menyebut pertumbuhan ekonomi dunia paling bisa tumbuh sampai 3,5%. Bahkan, dalam laporannya pada Oktober 2018, angka proyeksi ekonomi global yang disebutkan IMF bisa mencapai 3,7%.
”Ini adalah saat yang sulit,” ujar Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath pada konferensi pers di Washington waktu setempat. Volume perdagangan barang dan jasa global diperkirakan 3,4% lebih lemah dari 3,8% pada 2018 atau menurun dari perkiraan IMF sebesar 4%.
Dia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi global akan pulih pada paruh kedua tahun ini. Sementara tahun depan naik 3,6% yang mana serangkaian perkembangan yang telah meningkatkan tentang ekonomi dunia dalam beberapa pekan terakhir, termasuk keputusan Federal Reserve untuk menahan kenaikan suku bunga dan mendorong data dari sektor manufaktur China dan pasar kerja AS.
Namun, IMF memperingatkan bahwa risiko cenderung turun, dengan berbagai ancaman mengancam ekonomi global, termasuk kemungkinan jatuhnya negosiasi antara AS dan China untuk mengakhiri perang dagang mereka, dan kepergian Inggris dari Uni Eropa.
Ekonom Bank BTN Winang Budoyo mengungkapkan, penurunan proyeksi pertumbuhan oleh IMF disebabkan ekonomi AS yang selama dua tahun terakhir menjadi penopang pertumbuhan global sudah menurun, di mana salah satunya akibat perang dagang.
”Masalah Brexit yang belum berkesudahan dan ekonomi Tiongkok belum bisa rebound,” ungkapnya ketika dihubungi KORAN SINDO.
Menurut Winang, dengan pemangkasan pertumbuhan global ini, Indonesia harus dapat menjaga dan memperkuat ekonomi domestik. Indonesia juga harus berkaca pada peristiwa yang terjadi tahun 2009. ”Tapi di sisi lain, kalau Indonesia bisa menjaga ekonomi domestik akan bisa mengundang investor global dengan cara menjaga daya beli masyarakat seperti menjaga inflasi tetap rendah dan stabil. Artinya, kalau pasar ekspor sedang tidak menentu, kita bisa jadikan Indonesia sebagai market (jual barang untuk pasar domestik),” kata dia.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam menuturkan, perang dagang yang berlangsung antara AS dan China memang sudah diperkirakan akan berdampak negatif bagi perekonomian kedua negara serta terhadap perekonomian global. ”Koreksi yang terus dilakukan oleh IMF dari 3,9% menjadi 3,7%, kemudian 3,5% hingga menjadi 3,3% tidak bisa dilepaskan dari dampak perang dagang,” katanya.
Akan tetapi, koreksi IMF tersebut bukan berarti pemerintah dan Bank Indonesia harus mengoreksi pertumbuhan ekonomi juga. Walaupun pertumbuhan ekonomi global melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh sesuai target pemerintah. ”Kita masih bisa mengandalkan pasar domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Yang diperlukan adalah kebijakan yang tepat,” beber Piter.
Terpisah, Rektor Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengatakan bahwa pelemahan ekonomi global akan menjadi tantangan bagi pemimpin Indonesia di masa yang akan datang. Apalagi, IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya 3,5% menjadi 3,3%.
”Jadi siapa pun yang terpilih, presiden menghadapi fakta yang tidak selalu enak dari sisi makroekonomi, domestik, dan global. Pertumbuhan ekonomi global diturunkan lagi menjadi 3,3%. Artinya, secara global, ekonomi sedang menyusut dan punya impact negatif bagi Indonesia,” ujarnya.
Agustinus melanjutkan, selain penurunan pertumbuhan ekonomi global, iklim investasi dan bisnis juga akan turut lesu dari sebelumnya. Bahkan, pelaku usaha diprediksi akan menahan diri dengan adanya beberapa isu krusial yang dianggap kurang menguntungkan bagi pengusaha.
Menurut Agustinus, ke depan investasi tidak akan tumbuh tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu, pemerintah diminta agar menyiapkan strategi agar bisnis di Indonesia terus bergairah. ”Ini masalah serius. Kita tentu ingin ekonomi tumbuh maksimal dari sekarang dan dunia usaha berkembang pesat. Tidak mungkin ekonomi bisa tumbuh tinggi kalau bisnis tidak maju,” tuturnya.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Khamdani menuturkan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akan menjadi tantangan bagi pengusaha di Indonesia.
”Jadi ini tentu saja tantangan bagi Indonesia. Karena kita nggak bisa berdiri sendiri. Saya rasa tantangan yang harus kita perhatikan slow down economy dunia, bagaimana itu bisa berdampak ke Indonesia,” imbuh dia. Namun, dirinya optimistis Indonesia akan mampu menghadapi gejolak kondisi ekonomi global dan tetap kuat. (Kunthi Fahmar Sandy/ Oktiani Endarwati)
(nfl)