IMF Sebut Utang Tingkatkan Risiko Krisis Ekonomi Global

Kamis, 11 April 2019 - 20:01 WIB
IMF Sebut Utang Tingkatkan...
IMF Sebut Utang Tingkatkan Risiko Krisis Ekonomi Global
A A A
LONDON - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyebutkan, perekonomian global sangat rentan terhadap krisis utang. Tingginya tingkat utang dunia usaha dan pemerintah dinilai bisa mengancam pertumbuhan dan memperburuk ekonomi global.

Catatan utang perusahaan AS yang makin meninggi dinilai bisa mengubah penguatan ekonomi negara itu menjadi sebuah kegagalan. Hubungan-hubungan yang berisiko antara bank dan pemerintah di zona euro juga menimbulkan ancaman krisis utang negara. Ini serupa risiko yang tengah dihadapi Italia, dimana utang pemerintah semakin naik sementara sektor perbankannya kian melemah.

Di sisi lain, utang pemerintah, bisnis, dan rumah tangga China juga dinilai berisiko terhadap mesin pertumbuhan global ini. Direktur Departemen Pasar Modal dan Moneter IMF Tobias Andrian dan Wakil Direktur Departemen Pasar Modal dan Moneter IMF Fabio Natalucci mengatakan, kerentanan ini semakin menjadi di pasar ekonomi maju dan berkembang.

"Ada banyak ancaman yang bisa menyebabkan guncangan ekonomi. Pengetatan secara mendadak dalam keuangan yang dipicu oleh penilaian ulang investor terhadap prospek kebijakan moneter di negara-negara maju, perlambatan pertumbuhan yang lebih tajam dari perkiraan, tensi dagang yang berlarut-larut atau Brexit tanpa kesepakatan - dapat mengekspos kerentanan ini dan meningkatkan risiko stabilitas keuangan jangka pendek," paparnya dalam Laporan Stabilitas Keuangan Global terbaru IMF.

Selain meningkatkan risiko krisis, beban utang yang besar juga akan mempersulit pemerintah dan bank sentral untuk melawan resesi ketika krisis dimulai.

"Ini menimbulkan dilema bagi para perancang kebijakan yang berusaha untuk melawan ekonomi global yang melambat," kata Adrian dan Natalucci seperti dikutip Telegraph, Rabu (10/4/2019).

Mereka mengatakan, dengan mengambil pendekatan yang telaten terhadap kebijakan moneter, bank-bank sentral dapat mengakomodasi berkembangnya risiko penurunan terhadap ekonomi. Tapi, jika kondisi keuangan tetap melonggar dalam jangka waktu lama, kerentanan akan terus terbangun dan kemungkinan penurunan tajam dalam pertumbuhan ekonomi di beberapa titik akan lebih tinggi.

Pemerintah yang memiliki utang besar kemungkinan akan mengalami kesusahan dalam merangsang pertumbuhan, mengingat terbatasnya ruang untuk meminjam lebih banyak, mencegah mereka melakukan pemotongan pajak yang signifikan atau peningkatan pengeluaran.

Bank-bank sentral diperkirakan juga akan mengalami kesulitan. Sebab, jika menaikkan suku bunga dalam upaya untuk menghentikan kenaikan utang lebih lanjut, hal itu berisiko meningkatkan biaya untuk bisnis dan keluarga yang berutang, dan memicu krisis ekonomi.

Tetapi, mempertahankan suku bunga yang rendah justru akan mendorong lebih banyaknya pinjaman sehingga memperburuk masalah. Selain itu, bank sentral hanya memiliki sedikit ruang untuk memangkas suku bunga untuk memerangi resesi yang mungkin terjadi kedepannya.

Tantangan ini ditunjukkan di akhir tahun lalu ketika kenaikan suku bunga AS menyebabkan investor panik dan pasar saham jatuh. The Fed kemudian mengambil tindakan dengan menghentikan kenaikan suku bunga dan berupaya meyakinkan para investor, menyebabkan pembalikan sentimen.

Bank Sentral Eropa (ECB) juga sedang menapaki garis tipis, mengakhiri program pelonggaran kuantitatif Desember lalu - karena ekonomi yang kuat memungkinkan kebijakan yang lebih ketat - sebelum mengumumkan rencana baru untuk memberikan pendanaan murah terhadap bank-bank akhir tahun ini karena sekali lagi, pertumbuhan kembali melemah.

Direktur ECB Mario Draghi memperingatkan terkait momentum pertumbuhan yang lebih lambat dalam ekonomi, yang dicurigai para ekonom akan memaksanya memotong suku bunga atau memulai kembali pelonggaran kuantitatif dalam waktu dekat.

IMF menyarankan untuk menggunakan kebijakan makroprudensial untuk mengendalikan ledakan utang. Alih-alih meningkatkan suku bunga dan mempertaruhkan resesi, kebijakan ini berarti memberikan batasan dalam pinjaman baru -misalnya seperti yang dilakukan oleh Bank of England dengan pembatasan hipotek besar.

"Kebijakan makroprudensial harus digunakan secara lebih proaktif untuk mempengaruhi kondisi keuangan dimana kerentanan kian meningkat," kata IMF.

Sementara di zona euro, IMF menyebutkan bahwa pemerintah yang terlilit utang besar-besaran harus memperkuat keuangan mereka secara bertahap, dan bank-bank harus memperkuat neraca mereka dan dihalangi supaya tidak memegang obligasi negara tingkat tinggi yang berbahaya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9172 seconds (0.1#10.140)