Indonesia Perlu Miliki UU Perkelapasawitan
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government Organization (NGO) berusaha keras menghambat atau bahkan ingin menggagalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan yang saat ini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Mereka akan terus menghambat pembahasan RUU ini karena LSM ini membawa kepentingan Eropa yang memang memusuhi sawit. “Saya monitor ada tekanan-tekanan dari pihak-pihak NGO asing,” kata Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo di Jakarta, kemarin.
Firman Subagyo mengatakan, wajar saja Eropa selalu dan akan terus menghambat perkembangan industri kelapa sawit Indonesia. Hal itu disebabkan Eropa ingin melindungi komoditas pertaniannya.
Karena Eropa merupakan produsen bunga matahari (sun flower) dan rapeseed yang bisa dijadikan sebagai bahan baku minyak nabati. Keduanya merupakan kompetitor kelapa sawit. Ironisnya, kedua komoditas pertanian tersebut produktivitasnya kalah jauh dibandingkan kelapa sawit.
Data Oil World menyebutkan produktivitas tanaman bunga matahari hanya 0,48 ton per hektare (ha) dan rapeseed sekitar 0,67 ton per ha. Sementara itu produktivitas kelapa sawit rata-rata mencapai 3,74 ton per ha.
Lantaran lebih produktif, kata Firman, minyak nabati berbasis kelapa sawit bisa dijual di pasar dunia dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan minyak nabati yang berasal dari bunga matahari maupun dari rapeseed. “Berdasarkan fakta inilah Eropa akan terus melakukan berbagai cara untuk menghambat atau bahkan mematikan industri sawit karena kalah bersaing,” kata Firman.
Berbagai isu disuarakan Eropa melalui LSM berkedok lingkungan yang ada di Indonesia untuk menghantam keberadaan kelapa sawit. Sekitar tahun 2005, isu yang diangkat soal kesehatan.
Karena itu, Eropa menyatakan minyak kelapa sawit tidak baik dikonsumsi manusia karena berdampak buruk terhadap kesehatan. Seiring berjalannya waktu, tudingan tersebut tidak terbukti.
Setelah isu kesehatan, kata Firman, Eropa kini menuding perkebunan kelapa sawit sebagai perusak lingkungan (kebakaran hutan dan lahan sehingga memicu pemanasan global), pemicu konflik sosial, hingga isu mempekerjakan anak di bawah umur. “Semua tudingan itu tidak benar. Karena yang terjadi sejatinya adalah saking takutnya Eropa dalam persaingan perdagangan minyak nabati dunia sehingga Eropa mencari-cari kesalahan perkebunan sawit di Indonesia,” cetus Firman.
Karena itu, kelapa sawit yang kini sudah ditetapkan sebagai komoditas strategis nasional ini harus dilindungi melalui sebuah undang-undang (UU) khusus. UU ini diperlukan karena industri kelapa sawit terbukti telah menjadi penopang ekonomi nasional.
Firman meyakini, apabila Indonesia telah memiliki UU khusus yang mengatur dan melindungi kelapa sawit, sulit bagi LSM untuk melakukan kampanye hitam. “Makanya RUU ini terus dihambat supaya tidak bisa diundangkan sehingga mereka (LSM) bisa bermain di grey area itu,” tuturnya.
Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani mengatakan semua komponen bangsa harus memahami bahwa sawit merupakan komoditas strategis. Kalau dinyatakan strategis dan penting bagi negara dari sisi ekonomi, maka semua aturan atau perangkat hukum yang menghambat harus diperbaiki.
“Selama ini dari sisi peraturan kan banyak hambatan, banyak aturan yang menghambat industri sawit. Tapi di sisi lain, dia dinyatakan sebagai komoditas strategis. Jadi diperlukan adanya UU khusus yang mengatur soal sawit,” kata Mangga Barani.
Mantan Dirjen Perkebunan ini menjelaskan bahwa saat ini memang sudah ada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun UU tersebut tidak bisa menyelesaikan persoalan di industri sawit.
Sebab UU Perkebunan tersebut berlaku untuk seluruh komoditas perkebunan dan hanya mengatur di on farm atau di hulunya saja, tidak mengatur di hilir. Padahal masalah di sawit tidak hanya terjadi di on farm saja, tapi juga di hilir karena sawit ini sudah menjadi sebuah industri. (Sudarsono)
Mereka akan terus menghambat pembahasan RUU ini karena LSM ini membawa kepentingan Eropa yang memang memusuhi sawit. “Saya monitor ada tekanan-tekanan dari pihak-pihak NGO asing,” kata Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo di Jakarta, kemarin.
Firman Subagyo mengatakan, wajar saja Eropa selalu dan akan terus menghambat perkembangan industri kelapa sawit Indonesia. Hal itu disebabkan Eropa ingin melindungi komoditas pertaniannya.
Karena Eropa merupakan produsen bunga matahari (sun flower) dan rapeseed yang bisa dijadikan sebagai bahan baku minyak nabati. Keduanya merupakan kompetitor kelapa sawit. Ironisnya, kedua komoditas pertanian tersebut produktivitasnya kalah jauh dibandingkan kelapa sawit.
Data Oil World menyebutkan produktivitas tanaman bunga matahari hanya 0,48 ton per hektare (ha) dan rapeseed sekitar 0,67 ton per ha. Sementara itu produktivitas kelapa sawit rata-rata mencapai 3,74 ton per ha.
Lantaran lebih produktif, kata Firman, minyak nabati berbasis kelapa sawit bisa dijual di pasar dunia dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan minyak nabati yang berasal dari bunga matahari maupun dari rapeseed. “Berdasarkan fakta inilah Eropa akan terus melakukan berbagai cara untuk menghambat atau bahkan mematikan industri sawit karena kalah bersaing,” kata Firman.
Berbagai isu disuarakan Eropa melalui LSM berkedok lingkungan yang ada di Indonesia untuk menghantam keberadaan kelapa sawit. Sekitar tahun 2005, isu yang diangkat soal kesehatan.
Karena itu, Eropa menyatakan minyak kelapa sawit tidak baik dikonsumsi manusia karena berdampak buruk terhadap kesehatan. Seiring berjalannya waktu, tudingan tersebut tidak terbukti.
Setelah isu kesehatan, kata Firman, Eropa kini menuding perkebunan kelapa sawit sebagai perusak lingkungan (kebakaran hutan dan lahan sehingga memicu pemanasan global), pemicu konflik sosial, hingga isu mempekerjakan anak di bawah umur. “Semua tudingan itu tidak benar. Karena yang terjadi sejatinya adalah saking takutnya Eropa dalam persaingan perdagangan minyak nabati dunia sehingga Eropa mencari-cari kesalahan perkebunan sawit di Indonesia,” cetus Firman.
Karena itu, kelapa sawit yang kini sudah ditetapkan sebagai komoditas strategis nasional ini harus dilindungi melalui sebuah undang-undang (UU) khusus. UU ini diperlukan karena industri kelapa sawit terbukti telah menjadi penopang ekonomi nasional.
Firman meyakini, apabila Indonesia telah memiliki UU khusus yang mengatur dan melindungi kelapa sawit, sulit bagi LSM untuk melakukan kampanye hitam. “Makanya RUU ini terus dihambat supaya tidak bisa diundangkan sehingga mereka (LSM) bisa bermain di grey area itu,” tuturnya.
Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani mengatakan semua komponen bangsa harus memahami bahwa sawit merupakan komoditas strategis. Kalau dinyatakan strategis dan penting bagi negara dari sisi ekonomi, maka semua aturan atau perangkat hukum yang menghambat harus diperbaiki.
“Selama ini dari sisi peraturan kan banyak hambatan, banyak aturan yang menghambat industri sawit. Tapi di sisi lain, dia dinyatakan sebagai komoditas strategis. Jadi diperlukan adanya UU khusus yang mengatur soal sawit,” kata Mangga Barani.
Mantan Dirjen Perkebunan ini menjelaskan bahwa saat ini memang sudah ada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun UU tersebut tidak bisa menyelesaikan persoalan di industri sawit.
Sebab UU Perkebunan tersebut berlaku untuk seluruh komoditas perkebunan dan hanya mengatur di on farm atau di hulunya saja, tidak mengatur di hilir. Padahal masalah di sawit tidak hanya terjadi di on farm saja, tapi juga di hilir karena sawit ini sudah menjadi sebuah industri. (Sudarsono)
(nfl)