Peningkatan Pernikahan Muda Hambat Indeks Pembangunan Manusia
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada 2018 mencapai 71,39. Angka ini meningkat 0,58 poin atau tumbuh 0,82% dibandingkan tahun 2017.
Meski begitu, angka ini lebih rendah dari target Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 71,5. BPS menyatakan meningkatnya angka pernikahan muda menjadi salah satu penghambat laju IPM nasional 2018.
"Secara keseluruhan, IPM terus mengalami peningkatan sejak tahun 2010. Tapi jika dibandingkan dengan target APBN, memang lebih rendah. Namun selisihnya cukup tipis," ujar Kepala BPS, Suhariyanto di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Peningkatan IPM 2018 didorong oleh pertumbuhan di semua komponen, yaitu umur harapan hidup saat lahir (tumbuh 0,19 %), harapan lama sekolah (tumbuh 0,47 %), rata-rata lama sekolah (tumbuh 0,86 %), pengeluaran per kapita per tahun (tumbuh 3,7 %). Selain itu, disparitas status pembangunan manusia di provinsi pun mengecil.
"Hal ini terlihat dari Provinsi Papua yang naik statusnya menjadi sedang atau 60,06. Ini menyebabkan Papua menjadi provinsi dengan pertumbuhan IPM tertinggi yaitu 1,64 %," kata Kecuk, sapaan akrabnya.
Kecuk menambahkan, ada beberapa catatan bagi pemerintah dalam meningkatkan IPM. Salah satunya adalah angka pernikahan dini yang mengalami peningkatan pada 2018. Baca Juga: BPS: Kualitas Hidup di Indonesia Meningkat di 2018
Berdasarkan data BPS, persentase perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang, mengalami peningkatan dari 14,18% pada 2017 menjadi 15,66% pada 2018. Provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan (22,77%), Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).
Pada 2017, persentase pernikahan dini di Jawa Barat mencapai 17,28%. Angka itu lebih rendah dari Jawa Timur (18,44%) dan Kalimantan Selatan (21,53%). Dengan demikian, peningkatan persentase pernikahan muda tahun 2018 di Jawa Barat jauh lebih signifikan dibandingkan provinsi lainnya.
Suhariyanto mengatakan, pernikahan muda ini memiliki pengaruh signifikan pada tingkat kematian bayi dan angka harapan hidup. Seorang ibu yang siap secara fisik dan mental akan menekan tingkat kematian bayi.
"Bayangkan jika seorang pernikahan dini terjadi, psikologi dan kesehatan ibu buruk. Ketika buruk, dia akan berpengaruh pada tingkat kematian bayi sehingga angka harapan hidup berkurang," tuturnya.
Hanya saja, Suhariyanto mengatakan, BPS tidak mengetahui detail apa saja yang menyebabkan angka pernikahan muda meningkat. "Saya kira perlu dilakukan sosialisasi terutama mengenai program keluarga berencana. Sebab saat ini, jumlah anak pun mengalami peningkatan, sudah bukan dua anak lagi," ujarnya.
Meski begitu, angka ini lebih rendah dari target Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 71,5. BPS menyatakan meningkatnya angka pernikahan muda menjadi salah satu penghambat laju IPM nasional 2018.
"Secara keseluruhan, IPM terus mengalami peningkatan sejak tahun 2010. Tapi jika dibandingkan dengan target APBN, memang lebih rendah. Namun selisihnya cukup tipis," ujar Kepala BPS, Suhariyanto di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Peningkatan IPM 2018 didorong oleh pertumbuhan di semua komponen, yaitu umur harapan hidup saat lahir (tumbuh 0,19 %), harapan lama sekolah (tumbuh 0,47 %), rata-rata lama sekolah (tumbuh 0,86 %), pengeluaran per kapita per tahun (tumbuh 3,7 %). Selain itu, disparitas status pembangunan manusia di provinsi pun mengecil.
"Hal ini terlihat dari Provinsi Papua yang naik statusnya menjadi sedang atau 60,06. Ini menyebabkan Papua menjadi provinsi dengan pertumbuhan IPM tertinggi yaitu 1,64 %," kata Kecuk, sapaan akrabnya.
Kecuk menambahkan, ada beberapa catatan bagi pemerintah dalam meningkatkan IPM. Salah satunya adalah angka pernikahan dini yang mengalami peningkatan pada 2018. Baca Juga: BPS: Kualitas Hidup di Indonesia Meningkat di 2018
Berdasarkan data BPS, persentase perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang, mengalami peningkatan dari 14,18% pada 2017 menjadi 15,66% pada 2018. Provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan (22,77%), Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).
Pada 2017, persentase pernikahan dini di Jawa Barat mencapai 17,28%. Angka itu lebih rendah dari Jawa Timur (18,44%) dan Kalimantan Selatan (21,53%). Dengan demikian, peningkatan persentase pernikahan muda tahun 2018 di Jawa Barat jauh lebih signifikan dibandingkan provinsi lainnya.
Suhariyanto mengatakan, pernikahan muda ini memiliki pengaruh signifikan pada tingkat kematian bayi dan angka harapan hidup. Seorang ibu yang siap secara fisik dan mental akan menekan tingkat kematian bayi.
"Bayangkan jika seorang pernikahan dini terjadi, psikologi dan kesehatan ibu buruk. Ketika buruk, dia akan berpengaruh pada tingkat kematian bayi sehingga angka harapan hidup berkurang," tuturnya.
Hanya saja, Suhariyanto mengatakan, BPS tidak mengetahui detail apa saja yang menyebabkan angka pernikahan muda meningkat. "Saya kira perlu dilakukan sosialisasi terutama mengenai program keluarga berencana. Sebab saat ini, jumlah anak pun mengalami peningkatan, sudah bukan dua anak lagi," ujarnya.
(ven)