Sinergi Korporasi-Kampus Penuhi Kebutuhan Industri

Kamis, 25 April 2019 - 14:38 WIB
Sinergi Korporasi-Kampus Penuhi Kebutuhan Industri
Sinergi Korporasi-Kampus Penuhi Kebutuhan Industri
A A A
KALANGAN pengusaha terus mendorong terciptanya sumberdaya manusia andal pada bidang-bidang usaha tertentu sesuai kebutuhan dunia kerja saat ini. Di sisi lain, pe ningkatan produktivitas tenaga kerja juga mutlak dilakukan.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bidang Perhubungan Carmelita Hartoto mengatakan, langkah pengusaha mendorong lahirnya sumber daya manusia (SDM) yang andal sesuai dengan kebutuhan kerja saat ini di antaranya dilakukan dengan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) melalui koordinasi dengan pemerintah.

“Saya kira banyak ya, terutama melalui CSR-CSR perusahaan di berbagai sektor usaha. Misalnya usaha pelayaran, manufaktur, dan sektor lainnya,” ungkapnya kepada KORAN SINDO.

Menurut Carmelita, program tersebut juga termasuk upaya menyediakan tenaga kerja terdidik siap pakai dalam jumlah yang memadai untuk bidang-bidang usaha tertentu. “Di sektor pelayaran misalnya, kita komunikasi dengan pemerintah berapa kebutuhan untuk sumber daya nakhoda, petugas dek, mekanik, dan sebagainya. Kami juga terus meng-update perkembangan pengetahuan di sektor ini,” ujarnya.

Dia menambahkan, terdapat tenagatenaga terdidik yang siap pakai untuk kebutuhan tertentu di sektor maritim, misalnya kebutuhan koki di kapal, kebutuhan mekanik, dan sebagainya. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih menjadi tantangan bagi dunia usaha. Upah tenaga kerja di Indonesia dinilai sudah lebih mahal dibanding negara-negara lain di kawasan.

Di lain pihak, daya saing tenaga kerja Indonesia masih rendah karena kompetensi dan keterampilan yang kurang memadai. Padahal isu produktivitas tenaga kerja menjadi salah satu pertimbangan investor dalam berinvestasi. Pertumbuhan investasi ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai ketersediaan SDM yang terampil sangat diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing sektor industri. Saat ini tenaga kerja lulusan sekolah dasar (SD) di Indonesia masih tinggi sehingga hampir separuh angkatan kerja tergolong kurang literasi.

“Tenaga kerja Indonesia yang di bawah umur 15 tahun masih di atas 60%. Sementara Vietnam hanya 10%. Jadi, ini perlu diperhatikan,” ujar Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani.

Shinta menuturkan, salah satu hal membebani pengusaha adalah jam kerja yang dinilai masih rendah. Jam kerja di Indonesia termasuk paling rendah dibandingkan dengan Bangladesh (49 jam), China (47 jam), Kamboja (45 jam), dan Vietnam (41 jam). Sementara dari sisi upah, Indonesia termasuk paling tinggi dibandingkan negara tersebut.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tak mau kalah dari swasta dengan turut menyiapkan para mahasiswa yang siap kerja. Presiden Direktur PT Angkasa II (Persero) atau AP II Mochammad Awaluddin mengatakan, untuk sektor industri kebandarudaraan di Indonesia saat ini membutuhkan riset yang banyak mengenai sistem kebandarudaraan.

“Saya membuka apa yang disebut dengan Indonesia Airport Research Study Center. Jadi, kami menawarkan apabila mahasiswa, misalnya dari Universitas Padjajaran, berkenan, maka AP II bisa menjadi objek riset atau studi untuk kebandarudaraan,” kata Awaluddin.

Dia menambahkan, penelitian mahasiswa di Indonesia terkait bidang kebandarudaraan masih jarang ditemui. Karena itu, pihaknya sangat ingin agar penelitian di bidang itu semakin banyak digarap sehingga ada gagasan-gagasan baru untuk meningkatkan industri kebandarudaraan. Langkah ini disambut positif dunia kampus sebab mampu mengakomodasi kebutuhan kerja untuk industri yang spesifik.

Sejauh ini AP II telah bekerja sama dengan universitas negeri di Indonesia, seperti Universitas Padjajaran, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Telkom University. Terpisah, pengamat ekonomi dari INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, angka pengangguran dari perguruan tinggi cukup tinggi di bawah SMK dan vokasi.

Hal ini menurutnya sebagai pertanda masih ada missmatch antara industri dan kampus. Ada dua kunci yang bisa menjadi solusinya, yaitu memutakhirkan teori kurikulum yang digunakan dan menggunakan tenaga pengajar dari kalangan praktisi.

“Para praktisi tentu yang lebih paham perkembangan industri terkini,” ujar Bhima. Dia mengatakan, bursa kerja atau job fair bisa digantikan situs pencari kerja daring seperti jobstreet misalnya. Namun, mahasiswa harus mempelajari apa keahlian yang dibutuhkan di perusahaan, seperti merancang curriculum vitae atau public speaking. Hal ini kebanyakan tidak diajarkan di bangku kuliah.

Selain itu, skema magang antara korporasi dan kampus juga harus lebih jelas sesuai dengan yang dibutuhkan. Ilmu seperti ekonomi masih dibutuhkan, tapi juga harus memahami big data dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Dalam bidang HRD sekarang juga ada smart contract, menggantikan kontrak kerja konvensional karena dalam bentuk digital dan lebih akurat. Hal seperti ini akan menjadi nilai tambah. Bhima mengatakan, sekarang ini para ekonom juga harus punya skill dan memahami tentang analisis data dan big data yang berguna untuk membuat prediksi. Semua ilmu, seperti psikologi atau ekonomi, harus bisa lintas disiplin, misalnya dengan perkembangan teknologi.

“Perusahaan sekarang juga tidak peduli dengan asal kampus atau indeks prestasi kumulatif (IPK), melainkan lebih pada kemampuan menyelesaikan masalah yang bersifat praktis. Itu paling penting, kemampuan problem solving,” katanya. (Ichsan Amin/ Oktiani Endarwati/Hafid Fuad)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8684 seconds (0.1#10.140)