Avtur Dituding Bikin Tiket Pesawat Mahal, Pengamat Sebut Aneh
A
A
A
JAKARTA - Harga avtur yang kerap disalahkan sebagai penyebab tiket pesawat menjadi mahal, menurut pengamat sangat aneh. Bahkan Ekonom Indef Drajad Wibowo menyebutkan ada udang di balik batu, pasalnya Ia menilai harga avtur Pertamina sangat bersaing.
Untuk itulah, lanjutnya, sangat aneh, jika dalam kondisi harga tiket pesawat mahal seperti sekarang, avtur Pertamina selalu disalahkan. Terlebih karena selalu dikaitkan dengan kemungkinan adanya pemain baru untuk avtur dalam negeri. "Kenapa narasinya selalu ‘swasta harus ikut main avtur, jangan Pertamina saja’. Jangan-jangan ada udang dibalik batu," kata Drajad melalui keterangan tertulis di Jakarta.
Sambung dia menerangkan, harga avtur Pertamina sangat bersaing dibanding dengan harga avtur yang dijual raksasa minyak seperti Shell. "Bahkan jika disandingkan dengan harga di Singapura, jatuhnya bisa lebih murah 10-20 sen dolar AS per liter,” paparnya.
Perbandingan harga untuk periode II, April 2019, harga avtur Pertamina di dua bandara, yaitu Juanda Surabaya dan Soekarno Hatta Jakarta, bahkan paling rendah dibandingkan Shell di berbagai bandara, yaitu Narita Tokyo, Manila, Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan Bangkok.
Di bandara Juanda, harga avtur Pertamina adalah Rp9.949,06/liter dan di Soekarno Hatta Rp9.022,54/liter, sedangkan harga Shell termurah di Bangkok mencapai Rp9.956,70/liter, sementara Shell di Narita Tokyo mencapai Rp15.993,54/liter.
Menurut Drajad, yang menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat saat ini adalah inefisiensi maskapai. Lebih lanjut Ia mencontohkan salah satu maskapai dalam negeri yang memikul banyak beban yang tidak efisien seperti pengadaan pesawat, asuransi dan biaya lainnya, akibatnya harga tiket maskapai tersebut sangat mahal.
“Saya bisa bicara tentang inefisiensi ini karena sebagai anggota DPR, saya pernah menulis solusi keuangan maskapai tersebut yang saya antar langsung ke istana pada masa Presiden SBY," katanya.
Tentang mahalnya tiket perusahaan maskapai dalam negeri, Drajad mengaku tiket Garuda ke Eropa jauh lebih mahal dibandingkan Turkish, Emirates, Qatar, Etihad dan Saudi. "Memang Garuda tanpa transit, tapi selisih harganya gila-gilaan. Jadi, memang maskapainya yang seharusnya disoroti atas mahalnya harga tiket," kata dia.
Menurut dia jika Garuda bisa menurunkan harga tiket, diyakini bahwa maskapai lain akan ikut turun. Jika tidak, mereka kehilangan pasar secara signifikan. "Nah, karena Garuda mayoritas milik negara, mengapa pemerintah selalu gagal menurunkan harga tiket Garuda? Ini kan otomatis akan menurunkan harga tiket pesawat di Indonesia," ujarnya.
Untuk itulah, lanjutnya, sangat aneh, jika dalam kondisi harga tiket pesawat mahal seperti sekarang, avtur Pertamina selalu disalahkan. Terlebih karena selalu dikaitkan dengan kemungkinan adanya pemain baru untuk avtur dalam negeri. "Kenapa narasinya selalu ‘swasta harus ikut main avtur, jangan Pertamina saja’. Jangan-jangan ada udang dibalik batu," kata Drajad melalui keterangan tertulis di Jakarta.
Sambung dia menerangkan, harga avtur Pertamina sangat bersaing dibanding dengan harga avtur yang dijual raksasa minyak seperti Shell. "Bahkan jika disandingkan dengan harga di Singapura, jatuhnya bisa lebih murah 10-20 sen dolar AS per liter,” paparnya.
Perbandingan harga untuk periode II, April 2019, harga avtur Pertamina di dua bandara, yaitu Juanda Surabaya dan Soekarno Hatta Jakarta, bahkan paling rendah dibandingkan Shell di berbagai bandara, yaitu Narita Tokyo, Manila, Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan Bangkok.
Di bandara Juanda, harga avtur Pertamina adalah Rp9.949,06/liter dan di Soekarno Hatta Rp9.022,54/liter, sedangkan harga Shell termurah di Bangkok mencapai Rp9.956,70/liter, sementara Shell di Narita Tokyo mencapai Rp15.993,54/liter.
Menurut Drajad, yang menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat saat ini adalah inefisiensi maskapai. Lebih lanjut Ia mencontohkan salah satu maskapai dalam negeri yang memikul banyak beban yang tidak efisien seperti pengadaan pesawat, asuransi dan biaya lainnya, akibatnya harga tiket maskapai tersebut sangat mahal.
“Saya bisa bicara tentang inefisiensi ini karena sebagai anggota DPR, saya pernah menulis solusi keuangan maskapai tersebut yang saya antar langsung ke istana pada masa Presiden SBY," katanya.
Tentang mahalnya tiket perusahaan maskapai dalam negeri, Drajad mengaku tiket Garuda ke Eropa jauh lebih mahal dibandingkan Turkish, Emirates, Qatar, Etihad dan Saudi. "Memang Garuda tanpa transit, tapi selisih harganya gila-gilaan. Jadi, memang maskapainya yang seharusnya disoroti atas mahalnya harga tiket," kata dia.
Menurut dia jika Garuda bisa menurunkan harga tiket, diyakini bahwa maskapai lain akan ikut turun. Jika tidak, mereka kehilangan pasar secara signifikan. "Nah, karena Garuda mayoritas milik negara, mengapa pemerintah selalu gagal menurunkan harga tiket Garuda? Ini kan otomatis akan menurunkan harga tiket pesawat di Indonesia," ujarnya.
(akr)