Predatory Promotion Grab Dinilai Berpotensi Monopoli Pasar
A
A
A
JAKARTA - Langkah perusahaan transportasi daring (online) asal Malaysia, Grab, yang meluncurkan strategi promosi tarif di luar batas wajar dinilai dapat melahirkan aksi monopoli dan pada akhirnya akan justru merugikan mitra drivernya sendiri. Direktur Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika, menyoroti pemberian diskon tarif hingga 70% dan bahkan gratis (dengan syarat tertentu) oleh Grab telah berlangsung lebih dari tiga bulan
Menurutnya jika dilakukan dalam jangka panjang, kegiatan promosi itu dapat dikategorikan sebagai Predatory Promotion yang bertujuan memonopoli pasar. “Predatory Promotion dalam jangka panjang tentu saja akan menciptakan ketidakseimbangan pasar. Konsumen yang sensitif terhadap harga akan beralih ke layanan perusahaan yang melakukan Predatory Promotion tersebut, meski ada risiko turunnya kualitas pelayanan akibat kenaikan permintaan yang drastis,” ujarnya.
Sementara itu, dia juga mengatakan kegiatan promosi yang berlebihan juga bisa berdampak buruk bagi mitra, karena beban layanan bertambah seiring minimnya imbal jasa. Mitra pengemudi ojol akan memiliki beban kerja yang terus meningkat, sedangkan syarat insentif dan bonus justru semakin diperketat. “Akhirnya, banyak mitra yang mengalami overwork, lalu melakukan protes ke perusahaan,” imbuhnya.
Kemudian dari sisi kompetitor, menurut dia, predatory promotion yang dibiarkan terus berlanjut lambat laun akan mewujudkan misi dari penerapan doktrin ‘winner takes all’. Strategi ini senantiasa diterapkan oleh beberapa perusahaan yang berasal dari luar negeri ini sehingga bisa merusak pondasi industri berbasis inovasi di dalam negeri yang sudah susah payah dibangun.
Doktrin “winner takes all” diketahui sebagai prinsip yang dipegang Masayoshi Son, pemilik Softbank yang juga salah satu investor terbesar Grab. Doktrin ini diwujudkan Softbank dengan mengucurkan dana dalam bentuk “offensive capital” kepada perusahaan seperti Grab dalam rangka memenangi persaingan, dan melempar pesaingnya dari pasar.
“Para kompetitor Grab, baik sesama penyedia transportasi daring atau penyedia transportasi konvesional, layak khawatir terhadap peryataan terbuka dari investor Grab ini. Regulator dan lembaga pengawas persaingan usaha juga perlu meminta klarifikasi mengenai hal ini kepada Grab,” tegasnya.
Tercatat pada saat Grab sempat menjadi satu-satunya pemain di Singapura tahun 2018, driver pun protes karena mereka dirugikan oleh tindakan sepihak aplikator. KPPU Singapura (CCCS) menerima komplen dari driver bahwa Grab menaikkan tingkat komisi dan mengurangi poin yang didapatkan driver secara sepihak. Grab juga sempat memberlakukan kewajiban esklusifitas kepada driver, perusahaan taksi, perusahaan sewa mobil untuk mengikat mereka dengan perusahan.
Dengan hanya satu pemain monopoli, driver tidak punya pilihan pindah ke aplikator lain. Alhasil, praktik penyelewengan posisi dominan Grab berakhir pada hukuman denda Rp140 milyar dari KPPU Singapura.
Pengamat Transportasi dari Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan praktek banting harga di bisnis ojol nyata terjadi di lapangan. “Walau tariff sudah ada aturannya, tapi ada gejala di lapangan aplikator perang diskon, perang harga, dan promosi. Nah, di sini harus berperan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” jelasnya.
Djoko menekankan pentingnya pemerintah memerangi strategi ‘predatory pricing” bukan hanya bagi kepentingan konsumen dan mitra driver yang jumlahnya jutaan, tapi juga untuk menciptakan iklim kompetisi bisnis yang sehat, terlebih kompetitor GRAB Grab adalah perusahaan-perusahaan anak bangsalokal, seperti Gojek dan industri transportasi lokal, yang sudah sepatutnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan dilindungi dari praktik-praktik yang mengarah pada aksi monopoli perusahaan asing.
Saat ini aplikator ojol asal Malaysia itu masih menjalankan berbagai promo super murah. Bahkan konsumen hanya membayar Rp 1 jika menggunakan alat pembayaran tertentu. Sementara itu, strategi Go-Jek, aplikator lokal, lebih memprioritaskan inovasi layanan dan keamanan konsumen.
Menurutnya jika dilakukan dalam jangka panjang, kegiatan promosi itu dapat dikategorikan sebagai Predatory Promotion yang bertujuan memonopoli pasar. “Predatory Promotion dalam jangka panjang tentu saja akan menciptakan ketidakseimbangan pasar. Konsumen yang sensitif terhadap harga akan beralih ke layanan perusahaan yang melakukan Predatory Promotion tersebut, meski ada risiko turunnya kualitas pelayanan akibat kenaikan permintaan yang drastis,” ujarnya.
Sementara itu, dia juga mengatakan kegiatan promosi yang berlebihan juga bisa berdampak buruk bagi mitra, karena beban layanan bertambah seiring minimnya imbal jasa. Mitra pengemudi ojol akan memiliki beban kerja yang terus meningkat, sedangkan syarat insentif dan bonus justru semakin diperketat. “Akhirnya, banyak mitra yang mengalami overwork, lalu melakukan protes ke perusahaan,” imbuhnya.
Kemudian dari sisi kompetitor, menurut dia, predatory promotion yang dibiarkan terus berlanjut lambat laun akan mewujudkan misi dari penerapan doktrin ‘winner takes all’. Strategi ini senantiasa diterapkan oleh beberapa perusahaan yang berasal dari luar negeri ini sehingga bisa merusak pondasi industri berbasis inovasi di dalam negeri yang sudah susah payah dibangun.
Doktrin “winner takes all” diketahui sebagai prinsip yang dipegang Masayoshi Son, pemilik Softbank yang juga salah satu investor terbesar Grab. Doktrin ini diwujudkan Softbank dengan mengucurkan dana dalam bentuk “offensive capital” kepada perusahaan seperti Grab dalam rangka memenangi persaingan, dan melempar pesaingnya dari pasar.
“Para kompetitor Grab, baik sesama penyedia transportasi daring atau penyedia transportasi konvesional, layak khawatir terhadap peryataan terbuka dari investor Grab ini. Regulator dan lembaga pengawas persaingan usaha juga perlu meminta klarifikasi mengenai hal ini kepada Grab,” tegasnya.
Tercatat pada saat Grab sempat menjadi satu-satunya pemain di Singapura tahun 2018, driver pun protes karena mereka dirugikan oleh tindakan sepihak aplikator. KPPU Singapura (CCCS) menerima komplen dari driver bahwa Grab menaikkan tingkat komisi dan mengurangi poin yang didapatkan driver secara sepihak. Grab juga sempat memberlakukan kewajiban esklusifitas kepada driver, perusahaan taksi, perusahaan sewa mobil untuk mengikat mereka dengan perusahan.
Dengan hanya satu pemain monopoli, driver tidak punya pilihan pindah ke aplikator lain. Alhasil, praktik penyelewengan posisi dominan Grab berakhir pada hukuman denda Rp140 milyar dari KPPU Singapura.
Pengamat Transportasi dari Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan praktek banting harga di bisnis ojol nyata terjadi di lapangan. “Walau tariff sudah ada aturannya, tapi ada gejala di lapangan aplikator perang diskon, perang harga, dan promosi. Nah, di sini harus berperan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” jelasnya.
Djoko menekankan pentingnya pemerintah memerangi strategi ‘predatory pricing” bukan hanya bagi kepentingan konsumen dan mitra driver yang jumlahnya jutaan, tapi juga untuk menciptakan iklim kompetisi bisnis yang sehat, terlebih kompetitor GRAB Grab adalah perusahaan-perusahaan anak bangsalokal, seperti Gojek dan industri transportasi lokal, yang sudah sepatutnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan dilindungi dari praktik-praktik yang mengarah pada aksi monopoli perusahaan asing.
Saat ini aplikator ojol asal Malaysia itu masih menjalankan berbagai promo super murah. Bahkan konsumen hanya membayar Rp 1 jika menggunakan alat pembayaran tertentu. Sementara itu, strategi Go-Jek, aplikator lokal, lebih memprioritaskan inovasi layanan dan keamanan konsumen.
(akr)