KPPU Endus Indikasi Predatory Pricing dalam Diskon Tarif Ojol
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium adanya indikasi predatory pricing dalam pemberian diskon oleh aplikator ojek online (ojol). Ini terlihat dari perbedaan harga yang tertera di aplikasi dengan yang dibayarkan konsumen.
Ketua KPPU Kurnia Toha mengatakan pihaknya telah meminta Divisi Penegakan Hukum KPPU untuk menindaklanjuti persoalan ini. "Kemarin itu kan ada penelitian (KPPU). Selama ini mereka memantau tapi belum sampai ke sana. Saya bilang sebenarnya sudah terjadi predatory pricing, maka saya minta ke Divisi Penegakan Hukum segera bergerak," ucap Kurnia kepada wartawan seusai acara Halal Bi Halal di kantor KPPU, Senin (10/6) lalu.
Predatory pricing merupakan langkah pelaku usaha di suatu pasar untuk menjual produk atau layanannya dengan harga semurah. Tujuannya tidak lain agar dapat mengalahkan pesaingnya, sehingga ia bisa menguasai pasar. Selain berdampak pada terpentalnya pelaku usaha lain, persaingan usaha yang tidak sehat seperti ini juga menghambat masuknya pemain baru.
Dugaan predatory pricing ini cukup banyak didengungkan terutama usai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberlakukan tarif batas atas dan bawah pada ojol. Dalam hal ini Permenhub No 12/2019 dan Kepmenhub No 348/2019.
Akibat tarif baru itu, diyakini terdapat penurunan jumlah pengguna layanan ojol. Sebagai respons penurunan itu, diskon diduga menjadi solusi aplikator untuk mengatasi penurunan itu. Kurnia mengatakan, indikasi bahwa terjadi predatory pricing terlihat jelas dari perbedaan harga yang tertera di aplikasi dengan yang dibayarkan konsumen.
Menurutnya, kendati mengatasnamakan diskon atau potongan harga, hal itu bisa saja mengarah pada predatory pricing. Kendati demikian, Kurnia belum menjelaskan lebih lanjut perihal rencana lembaganya untuk turut memeriksa dugaan pelanggaran persaingan usaha pada diskon tarif ojol. "Soalnya harga di aplikasi dan yang dibayar konsumen itu beda. Ini sama saja predatory pricing," pungkasnya.
Ketua KPPU Kurnia Toha mengatakan pihaknya telah meminta Divisi Penegakan Hukum KPPU untuk menindaklanjuti persoalan ini. "Kemarin itu kan ada penelitian (KPPU). Selama ini mereka memantau tapi belum sampai ke sana. Saya bilang sebenarnya sudah terjadi predatory pricing, maka saya minta ke Divisi Penegakan Hukum segera bergerak," ucap Kurnia kepada wartawan seusai acara Halal Bi Halal di kantor KPPU, Senin (10/6) lalu.
Predatory pricing merupakan langkah pelaku usaha di suatu pasar untuk menjual produk atau layanannya dengan harga semurah. Tujuannya tidak lain agar dapat mengalahkan pesaingnya, sehingga ia bisa menguasai pasar. Selain berdampak pada terpentalnya pelaku usaha lain, persaingan usaha yang tidak sehat seperti ini juga menghambat masuknya pemain baru.
Dugaan predatory pricing ini cukup banyak didengungkan terutama usai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberlakukan tarif batas atas dan bawah pada ojol. Dalam hal ini Permenhub No 12/2019 dan Kepmenhub No 348/2019.
Akibat tarif baru itu, diyakini terdapat penurunan jumlah pengguna layanan ojol. Sebagai respons penurunan itu, diskon diduga menjadi solusi aplikator untuk mengatasi penurunan itu. Kurnia mengatakan, indikasi bahwa terjadi predatory pricing terlihat jelas dari perbedaan harga yang tertera di aplikasi dengan yang dibayarkan konsumen.
Menurutnya, kendati mengatasnamakan diskon atau potongan harga, hal itu bisa saja mengarah pada predatory pricing. Kendati demikian, Kurnia belum menjelaskan lebih lanjut perihal rencana lembaganya untuk turut memeriksa dugaan pelanggaran persaingan usaha pada diskon tarif ojol. "Soalnya harga di aplikasi dan yang dibayar konsumen itu beda. Ini sama saja predatory pricing," pungkasnya.
(fjo)