Furnitur dalam Negeri Berjibaku dengan Produk Impor

Minggu, 23 Juni 2019 - 08:33 WIB
Furnitur dalam Negeri Berjibaku dengan Produk Impor
Furnitur dalam Negeri Berjibaku dengan Produk Impor
A A A
Masifnya pembangunan properti seperti rumah tapak, apartemen, hotel hingga gedung perkantoran dipastikan bakal mendorong kinerja industri mebel. Hal ini dikarenakan pertumbuhan industri properti selalu beriringan dengan meningkatnya permintaan bahan baku hunian, furnitur, kerajinan tangan hingga jasa desain interior.

Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan industri mebel. Tidak hanya karena bahan baku yang melimpah, sumber daya manusia (SDM) terampil, tetapi juga keragaman corak dari budaya lokal yang unik. Kebutuhan mebel yang meningkat dari tahun ke tahun menjadikan industri ini cukup potensial untuk pertumbuhan ekonomi nasional melalui pasar ekspor.

Dari sisi bahan baku rotan misalnya, negara kita berpotensi besar karena merupakan penghasil 80% bahan baku rotan dunia dengan 312 jenis spesies rotan yang bisa dimanfaatkan. Tercatat, nilai ekspor mebel pada Januari 2019 sebesar USD113,36 juta atau sekitar Rp1,61 triliun. Sementara itu sepanjang tahun lalu, nilai ekspor furnitur nasional tembus hingga USD1,69 miliar, ekuivalen dengan Rp24 triliun atau naik sebesar 4% bila dibandingkan dengan raihan pada 2017 lalu.

Selanjutnya nilai ekspor dari produk kriya nasional pada Januari–November 2018 mampu mencapai USD823 juta, naik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD820 juta. Industri kerajinan di Indonesia sejatinya jumlahnya cukup banyak, yakni lebih dari 700.000 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 1,32 juta orang.

Dengan negara tujuan utama Amerika Serikat (AS), Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Australia, Belgia, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Italia, dan Uni Arab Emirat, ekspor furnitur pada 2019 diprediksi tumbuh di kisaran 10% sampai 15% tahun ini. Pertumbuhan itu salah satunya disebabkan meningkatnya permintaan pasar AS seiring dengan bergulirnya perang dagang.

Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengemukakan, tumbuh suburnya bisnis properti dalam negeri tentu sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan industri mebel dan furnitur. Sebab pasti setelah bangunan baik rumah tapak, apartemen, atau bahkan perkantoran sudah jadi, yang masuk pertama dari isi bangunan adalah perabotan.

“Jadi memang korelasinya sangat besar. Bahkan boleh dikatakan industri mebel dan furnitur bisa tumbuh sangat bagus sejalan dengan perkembangan bisnis properti yang tengah booming,” papar Sobur ketika dihubungi KORAN SINDO, Sabtu (22/6). Pertumbuhan bisnis properti, menurut Sobur, memang sangat menggairahkan bagi industri mebel dan furnitur dalam negeri.

Menurut dia, pasar domestik selalu mengalami pertumbuhan cepat serta diversifikasi juga naik, terutama pada kalangan kelas menengah. Penjualan produk furnitur di pasar domestik pada 2019 diproyeksikan tumbuh 12% dari tahun lalu, sejalan dengan semakin banyaknya proyek perumahan dan gedung yang telah rampung. Nilai pasar domestik industri furnitur tahun ini diprediksi bisa menembus Rp15 triliun.

Proyeksi ini naik dari capaian 2017 senilai Rp12 triliun. "Pasar mebel dan furnitur sangat tinggi seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, terutama kalangan kelas menengah yang terus meningkat. Terutama di kota-kota besar utama yang menjadi pusat aktivitas bisnis industri dan destinasi wisata," ujar Sobur.

Oleh karena itu, di tengah tingginya permintaan produk mebel dan furnitur dalam negeri, harusnya hal itu mampu menjadikan perusahaan ataupun perajin mebel dan furnitur menjadi raja di dalam negeri. Tapi sayangnya pertahanan produsen furnitur semakin lemah menghadapi gempuran produk impor.

Pangsa pasar furnitur asing disebut-sebut bisa sampai 55% bila dibandingkan dengan buatan negeri sendiri. Ke depannya, kata Sobur, Indonesia masih berpotensi menumbuhkembangkan penjualan ekspornya dalam tahun-tahun selanjutnya. Meski demikian usaha meningkatkan ekspor produk mebel bukan langkah yang mudah dan tanpa halangan.

Dia mengungkapkan, maraknya ekspor produk mentah, yakni kayu sebagai material mebel, turut memengaruhi suplai kebutuhan pabrikan furnitur tersebut. “Hilirisasi produk kayu itu mutlak, maka dari itu perlu keberlangsungan bahan baku. Jadi sayang sekali kalau bahan baku tersebut langsung diekspor begitu saja tanpa added value," urai Sobur.

Selain itu industri mebel Indonesia saat ini memerlukan asupan investasi lagi jika ingin memperlebar nilai ekspornya. Salah satu caranya ialah bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mau menanamkan modal kerjanya di Indonesia. Hal itu agar jumlah ekspor mebel dapat ditingkatkan lagi. Pemerintah juga sebaiknya memberikan pembatasan terhadap produk impor.

Sobur memproyeksikan pasar mebel dan furnitur akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan properti yang terus melesat setiap tahunnya, ditambah lagi adanya program pemerintah sejuta rumah yang juga akan berdampak pada industri mebel dan furnitur. "Setiap rumah membutuhkan mebel maupun kerajinan untuk menghias interiornya. Jadi industri ini akan terus tumbuh baik yang sifatnya baru atau pergantian kebutuhan interior lama," sebut Sobur.

Dina Hartadi, Wakil Ketua Umum Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) Pusat, mengutarakan, selain pengembangan produk properti, pertumbuhan pembangunan infrastruktur baik oleh pemerintah maupun swasta juga menggenjot pendapatan industri mebel dan kerajinan.

Apalagi diiringi oleh pipeline pembangunan destinasi wisata dan perhotelan menjadikan platform yang tepat untuk memenuhi suplai produk dan jasa yang dibutuhkan pada bidang hospitality. Hal ini, kata dia, akan semakin menggairahkan bisnis furnitur dan kerajinan, interior, arsitektur serta produk-produk pendukung hotel. Adapun konsep desain yang diperkirakan akan berkembang pada tahun ini adalah model eklektik.

Desain itu menjadikan setiap individu diberi ruang bebas berkreasi dengan desain sesuka hati. Eklektik yang diartikan sebagai percampuran berbagai konsep desain dalam satu benang merah memungkinkan penggabungan ide dari berbagai zaman. “Melalui konsep ini, furnitur beda zaman bisa masuk dalam satu konsep, bahkan dengan furnitur saat ini yang lebih sarat teknologi,” kata Dina.

Dina memaparkan, industri perhotelan tentunya memerlukan komponen-komponen pendukung dari industri kreatif lainnya seperti furnitur, kerajinan, interior, dan peranti hotel. Interior, menurut dia, menjadi salah satu nilai jual hotel saat ini, selain sisi fasilitas dan kenyamanan, yang menjadi daya tarik bagi tamu untuk menginap. Desain tata ruang hotel yang Instagramable sering kali menjadi magnet bagi wisatawan untuk membagikannya ke media sosial dan internet.

Untuk itulah perlu adanya perabot, hiasan dinding, dan ornamen yang sesuai dengan karakter hotel dan tren yang sedang berkembang di publik. Menurut Dina, era revolusi industri 4.0 yang berpusat pada penggabungan teknologi otomatisasi dan siber telah mengubah paradigma masyarakat, terutama generasi milenial. Teknologi telah membuat perubahan drastis terhadap desain interior hotel, termasuk furnitur dan ornamen pendukung di dalamnya yang cenderung lebih ringkas, simpel, dan multifungsi.

Tidak mengherankan jika saat ini semakin banyak muncul hotel butik yang hanya memiliki lahan terbatas, tetapi tetap menyajikan interior menarik. “Kini tantangan bagi para desainer interior untuk tidak sekadar menciptakan desain yang sesuai dengan konsep hotel, namun juga harus mengikuti tren dan perilaku konsumen, terutama kalangan milenial, sehingga karya yang tercipta bisa dinikmati oleh para tamu yang berkunjung,” ujarnya.

Lebih lanjut Dina menekankan pentingnya desainer interior untuk membangun pola hubungan bisnis yang intens dengan supplierinterior dan pelaku usaha furnitur serta home decoration dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek hospitality, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sementara itu pemerintah terus mendukung industri mebel dan kerajinan karena Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi pemain utama industri furnitur, terutama melalui rotan.

Bentuk dukungan tersebut misalnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah membuka Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRnas) di Palu, Sulawesi Tengah. Selain itu Kemenperin juga mendorong peningkatan SDM melalui pembukaan politeknik khusus pengembangan furnitur di Kendal, Semarang, Jawa Tengah yang merupakan bagian dari kawasan industri Jawa Tengah.

Dalam kurun dua tahun, kawasan industri ini telah berhasil menarik 50 investor dengan nilai investasi sebesar USD500 Juta. Direktur Jenderal Industri, Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Gati Wibawaningsih berharap agar sektor industri kecil dan menengah (IKM) yang menjadi produsen furnitur dan kerajinan agar tetap menjaga kualitas bahan baku dan produknya serta selalu berinovasi.

“Yang tidak kalah penting juga adalah after sales servicekepada para buyer agar mereka menjadi loyal customer,” ucapnya. Potensi pengembangan industri furnitur dan kerajinan di dalam negeri tecermin dari Indonesia sebagai penghasil 80% untuk bahan baku rotan dunia, dengan daerah penghasil rotan di Indonesia yang tersebar di berbagai pulau, terutama di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

“Kita punya 312 jenis spesies rotan yang perlu dimanfaatkan untuk industri furnitur dan kerajinan,” tutur Gati. Selain itu sumber bahan baku kayu juga sangat besar mengingat potensi lahan hutan di Indonesia yang sangat luas dengan total hingga 120,6 juta hektare, terdiri atas hutan produksi seluas 12,8 juta hektare.

Guna menghasilkan produk yang kompetitif di kancah global, industri furnitur dan kerajinan juga perlu memanfaatkan teknologi terkini. Hal ini seiring dengan implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0. “Melalui penggunaan teknologi digital, diharapkan industrinya semakin produktif dan inovatif, sekaligus memperluas pasar,” imbuh Gati.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7964 seconds (0.1#10.140)