Kementan Ukur Emisi Gas Rumah Kaca pada Hortikultura
A
A
A
JAKARTA - Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Balai Penelitian Lingkungan Pertanian melakukan pengambilan sampel emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan tanaman cabai yang dibudidayakan secara organik dan konvensional.
Pengambilan sampel dilakukan di Desa Bumiayu, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Retno Dyah Rahmawati, Kepala LPHP Temanggung dan salah satu staf BPTPH Temanggung, daerah ini dipilih karena memiliki keunggulan dalam usaha menggerakkan budidaya organik.
"Temanggung unggul dalam budidaya organik terutama cabai. Oleh karena itu pengambilan sampel emisi GRK ini akan terus dipantau secara bersama pusat dan daerah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (27/6/2019).
Pengambilan sampel emisi GRK menggunakan alat berupa sungkup (chamber) yang dilengkapi peralatan pendukung seperti termometer, syringe atau injektor, vial atau ampul, dan timer atau stopwatch. Emisi GRK yang terperangkap dalam sungkup diambil dengan menggunakan injektor lalu disuntikkan ke dalam vial untuk disimpan dan dianalisa di Laboratorium.
Direktur Perlindungan Hortikultura Kementan Sri Wijayantie Yusuf menegaskan bahwa pengukuran sampel GRK di lahan hortikultura merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan.
"Penerapan prinsip budidaya tanaman secara ramah lingkungan merupakan langkah awal untuk menurunkan tingkat emisi GRK di lahan pertanian. Kita harapkan langkah ini dapat diterapkan di daerah lainnya sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam upaya menurunkan emisi GRK di atmosfer," jelasnya.
Gas rumah kaca mengemuka seiring isu pemanasan global dan perubahan iklim yang dampaknya dirasakan di berbagai wilayah Indonesia. Kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi GRK yang sebelumnya secara alami telah ada. Konsentrasi GRK di atmosfer setiap tahun mengalami peningkatan dengan kenaikan rerata tahunan sebesar 2,1 ppm.
Mauna Loa Observatory melaporkan bahwa emisi CO2 di atmosfer meningkat tajam per 11 Mei 2019 sebesar 415.26 ppm. Peningkatan konsentrasi GRK ini akan mempengaruhi proses fisik dan kimia yang ada di bumi maupun atmosfer dan pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim, sekaligus berpotensi terhadap kepunahan makhluk hidup di bumi.
Jenis GRK yang keberadaannya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6. Adapun sumber emisi utama GRK di sektor pertanian adalah CO2, CH4, dan N2O. Indonesia diharapkan dapat menyumbang penurunan GRK sebesar 21% di berbagai sektor termasuk pertanian.
Pengambilan sampel dilakukan di Desa Bumiayu, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Retno Dyah Rahmawati, Kepala LPHP Temanggung dan salah satu staf BPTPH Temanggung, daerah ini dipilih karena memiliki keunggulan dalam usaha menggerakkan budidaya organik.
"Temanggung unggul dalam budidaya organik terutama cabai. Oleh karena itu pengambilan sampel emisi GRK ini akan terus dipantau secara bersama pusat dan daerah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (27/6/2019).
Pengambilan sampel emisi GRK menggunakan alat berupa sungkup (chamber) yang dilengkapi peralatan pendukung seperti termometer, syringe atau injektor, vial atau ampul, dan timer atau stopwatch. Emisi GRK yang terperangkap dalam sungkup diambil dengan menggunakan injektor lalu disuntikkan ke dalam vial untuk disimpan dan dianalisa di Laboratorium.
Direktur Perlindungan Hortikultura Kementan Sri Wijayantie Yusuf menegaskan bahwa pengukuran sampel GRK di lahan hortikultura merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan.
"Penerapan prinsip budidaya tanaman secara ramah lingkungan merupakan langkah awal untuk menurunkan tingkat emisi GRK di lahan pertanian. Kita harapkan langkah ini dapat diterapkan di daerah lainnya sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam upaya menurunkan emisi GRK di atmosfer," jelasnya.
Gas rumah kaca mengemuka seiring isu pemanasan global dan perubahan iklim yang dampaknya dirasakan di berbagai wilayah Indonesia. Kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi GRK yang sebelumnya secara alami telah ada. Konsentrasi GRK di atmosfer setiap tahun mengalami peningkatan dengan kenaikan rerata tahunan sebesar 2,1 ppm.
Mauna Loa Observatory melaporkan bahwa emisi CO2 di atmosfer meningkat tajam per 11 Mei 2019 sebesar 415.26 ppm. Peningkatan konsentrasi GRK ini akan mempengaruhi proses fisik dan kimia yang ada di bumi maupun atmosfer dan pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim, sekaligus berpotensi terhadap kepunahan makhluk hidup di bumi.
Jenis GRK yang keberadaannya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6. Adapun sumber emisi utama GRK di sektor pertanian adalah CO2, CH4, dan N2O. Indonesia diharapkan dapat menyumbang penurunan GRK sebesar 21% di berbagai sektor termasuk pertanian.
(ind)