Masa Depan Energi Terbarukan Menjanjikan
A
A
A
ABERDEEN - Peran energi terbarukan di masa mendatang semakin meningkat seiring dengan peningkatan permintaan energi global. Penasehat Minyak dan Gas perusahaan DNV GL untuk wilayah Inggris dan Afrika, Robert O’Keeffe mengatakan, pada 2050 pemenuhan energi global separuhnya akan disumbangkan oleh energi non-fosil.
"Konsumsi energi akan mengalami puncak pertumbuhan pada tahun 2030 dan setelah itu mengalami penurunan dimana share energi terbarukan semakin besar kontribusinya,” ujarnya dalam diskusi yang diinisiasi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aberdeen Inggris belum lama ini, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (5/7/2019).
Berdasarkan kajian DNV GL tentang Transisi Energi Outlook 2018, negara-negara di Asia Tenggara termasuk wilayah yang akan mengalami pertumbuhan penciptaan energi terbarukan yang cukup signifikan. Pada tahun 2016 komposisi penciptaan energi listrik berasal dari non-fosil hanya sebesar 18% dan sisanya disumbangkan oleh energi fosil sebanyak 81%, tetapi komposisi ini akan terbalik menjadi sekitar 84% berasal dari non-fosil dan sisanya berasal dari fosil pada akhir tahun 2050.
“Energi terbarukan menjadi sumber bahan bakar yang paling cepat pertumbuhannya, yaitu terutama oleh energi solar PV dan tenaga angin,” ucapnya.
Sementara itu dosen senior dan peneliti dari Universitas Abeerdeen Inggris, Henry Tan, mengungkapkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa semenjak 1950 sampai 2017 pertumbuhan konsumsi energi primer justru mengalami peningkatan secara eksponensial dan diperkirakan 280 tahun ke depan energi matahari sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan energi untuk bumi.
"Energi fusi merupakan salah satu solusi pengembangan energi di masa depan yang lebih aman bagi lingkungan,” ungkap peneliti senior di bidang energi tersebut.
Di atas dari semua hasil risetnya dalam bidang energi, menurutnya, inti mengurangi ketergantungan pada energi adalah edukasi dan perubahan perilaku individu.
“Ahli energi tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan terkait dengan kebutuhan energi, hanya perubahan pada perilaku indvidu terutama pada gaya hidup cinta lingkungan yang punya dampak paling signifikan,” tambahnya.
Orang-orang yang hidup di negara berkembang yang mana menjadi mayoritas penduduk dunia punya kecenderungan untuk mengikuti gaya hidup negara maju. Mereka berlomba-lomba membeli mobil, dan berbagai jenis transportasi dan alat komunikasi yang boros energi dan pada akhirnya meningkatkan permintaan terhadap konsumsi energi global.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah mencanangkan bauran energi terbarukan pada akhir 2025 mendatang mencapai sekitar 23% dan naik lagi menjadi 31% pada tahun 2050. Di tengah ambisi transisi energi tersebut, pemerintah mengalami banyak tantangan.
Menurut Yussri Febiyanto, mantan kepala di salah satu cabang PLN di Indonesia yang saat ini studi di Universitas Aberdeen, struktur biaya pengembangan energi terbarukan menjadi tantangan terberat di Indonesia.
“Biaya pengembangan energi terbarukan sangat mahal dan di sisi lain ada kewajiban untuk menyediakan harga energi seperti listrik yang harus kompetitif dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat,” ungkap penerima beasiswa PLN tersebut.
Di sisi lain, peralihan ke energi terbarukan berpotensi mengganggu ketenagakerjaan di Indonesia yang masih banyak mengandalkan energi berbahan bakar fosil. “Ada isu lapangan pekerjaan selain isu bersoalan pembiayaan,” tambahnya.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Aberdeen Yunan Fahmi sangat mengapresiasi terselenggaranya diskusi energi ini yang mengundang pembicara yang berlatar belakang berbeda, yaitu praktisi, akademisi dan konsultan. Sehingga diskusi yang dilakukan bisa menjadi input bagi pengembangan energi terbarukan khususnya di Indonesia.
“Mahasiswa Indonesia yang ada di Aberdeen, kota yang menjadi jantung energi Eropa, diharapkan bisa memberikan sumbangsi pemikiran dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ungkap mahasiswa penerima beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama untuk studi di Universitas Aberdeen tersebut.
Diskusi energi ini dihadiri tidak hanya oleh komunitas Indonesia yang ada di Aberdeen Inggris tapi juga mahasiswa dari berbagai negara, seperti Kolombia, Meksiko, Kamboja, China dan Kazakhstan.
"Konsumsi energi akan mengalami puncak pertumbuhan pada tahun 2030 dan setelah itu mengalami penurunan dimana share energi terbarukan semakin besar kontribusinya,” ujarnya dalam diskusi yang diinisiasi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aberdeen Inggris belum lama ini, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (5/7/2019).
Berdasarkan kajian DNV GL tentang Transisi Energi Outlook 2018, negara-negara di Asia Tenggara termasuk wilayah yang akan mengalami pertumbuhan penciptaan energi terbarukan yang cukup signifikan. Pada tahun 2016 komposisi penciptaan energi listrik berasal dari non-fosil hanya sebesar 18% dan sisanya disumbangkan oleh energi fosil sebanyak 81%, tetapi komposisi ini akan terbalik menjadi sekitar 84% berasal dari non-fosil dan sisanya berasal dari fosil pada akhir tahun 2050.
“Energi terbarukan menjadi sumber bahan bakar yang paling cepat pertumbuhannya, yaitu terutama oleh energi solar PV dan tenaga angin,” ucapnya.
Sementara itu dosen senior dan peneliti dari Universitas Abeerdeen Inggris, Henry Tan, mengungkapkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa semenjak 1950 sampai 2017 pertumbuhan konsumsi energi primer justru mengalami peningkatan secara eksponensial dan diperkirakan 280 tahun ke depan energi matahari sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan energi untuk bumi.
"Energi fusi merupakan salah satu solusi pengembangan energi di masa depan yang lebih aman bagi lingkungan,” ungkap peneliti senior di bidang energi tersebut.
Di atas dari semua hasil risetnya dalam bidang energi, menurutnya, inti mengurangi ketergantungan pada energi adalah edukasi dan perubahan perilaku individu.
“Ahli energi tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan terkait dengan kebutuhan energi, hanya perubahan pada perilaku indvidu terutama pada gaya hidup cinta lingkungan yang punya dampak paling signifikan,” tambahnya.
Orang-orang yang hidup di negara berkembang yang mana menjadi mayoritas penduduk dunia punya kecenderungan untuk mengikuti gaya hidup negara maju. Mereka berlomba-lomba membeli mobil, dan berbagai jenis transportasi dan alat komunikasi yang boros energi dan pada akhirnya meningkatkan permintaan terhadap konsumsi energi global.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah mencanangkan bauran energi terbarukan pada akhir 2025 mendatang mencapai sekitar 23% dan naik lagi menjadi 31% pada tahun 2050. Di tengah ambisi transisi energi tersebut, pemerintah mengalami banyak tantangan.
Menurut Yussri Febiyanto, mantan kepala di salah satu cabang PLN di Indonesia yang saat ini studi di Universitas Aberdeen, struktur biaya pengembangan energi terbarukan menjadi tantangan terberat di Indonesia.
“Biaya pengembangan energi terbarukan sangat mahal dan di sisi lain ada kewajiban untuk menyediakan harga energi seperti listrik yang harus kompetitif dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat,” ungkap penerima beasiswa PLN tersebut.
Di sisi lain, peralihan ke energi terbarukan berpotensi mengganggu ketenagakerjaan di Indonesia yang masih banyak mengandalkan energi berbahan bakar fosil. “Ada isu lapangan pekerjaan selain isu bersoalan pembiayaan,” tambahnya.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Aberdeen Yunan Fahmi sangat mengapresiasi terselenggaranya diskusi energi ini yang mengundang pembicara yang berlatar belakang berbeda, yaitu praktisi, akademisi dan konsultan. Sehingga diskusi yang dilakukan bisa menjadi input bagi pengembangan energi terbarukan khususnya di Indonesia.
“Mahasiswa Indonesia yang ada di Aberdeen, kota yang menjadi jantung energi Eropa, diharapkan bisa memberikan sumbangsi pemikiran dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ungkap mahasiswa penerima beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama untuk studi di Universitas Aberdeen tersebut.
Diskusi energi ini dihadiri tidak hanya oleh komunitas Indonesia yang ada di Aberdeen Inggris tapi juga mahasiswa dari berbagai negara, seperti Kolombia, Meksiko, Kamboja, China dan Kazakhstan.
(ind)