Asosiasi E-Commerce Minta Pajak Digital Berlaku ke Semua Platform
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi E-Commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association/idEA) siap mendukung pajak ekonomi digital asalkan adil. Asosiasi meminta rencana penerapan pajak ekonomi digital dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dapat berlaku adil untuk semua platform.
Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengatakan, siap mendukung rencana Kemenkeu terkait penerapan pajak ekonomi digital. Namun syaratnya adalah aturan tersebut dapat berlaku adil untuk semua platform seperti marketplace (Lazada, Blibli, ride-hailing (GOJEK, Grab), online retail, voucher murah, iklan baris (OLX, Kaskus), dan sosial media.
“Idealnya setiap transaksi harus ada pajak. Tapi untuk platform iklan baris dan sosial media ini yang paling sulit untuk dilacak karena transaksinya bisa via telepon atau WA. Ini yang sulit,” ujar Ignatius di Jakarta.
Dia juga mengatakan, pemberlakukan pajak untuk semua platform baik untuk pemasukan negara. Namun ini akan menantang karena berbagai platform akan muncul seperti pedagang kaki lima yang hilang saat dirazia. Model bisnis baru akan bermunculan demi menghindari pajak. “Marketplace atau e-commerce yang paling mudah untuk dikenakan pajak. Tapi mereka bisa saja beralih ke grup WA atau sosial media,” ujarnya.
Sebelumnya pemerintah mencoba berlakukan PMK-210 pada platform marketplace dan akhirnya mendorong pedagang untuk pindah berdagang melalui media sosial. Apalagi saat ini 95% pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan platform marketplace.
Meskipun pemerintah telah mencabut PMK ini, idEa berharap adanya direktorat baru tidak akan kembali membebani pedagang mikro di e-commerce. "Sekarang persaingan sedang ketat. Pedagang marketplace bisa pindah semua ke media sosial, tapi kalau diterapkan ke semua secara seragam tidak akan masalah, tidak ada persaingan," tuturnya
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengukuhkan dua direktorat baru di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak, yakni Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Sri Mulyani mengatakan, dalam era digital saat ini, ketersediaan data menjadi hal yang sangat penting sehingga dirinya menginginkan Direktorat Jenderal Pajak memiliki kapasitas, kompetensi, dan kredibilitas dalam membangun sistem informasi dan pengumpulan data yang bersifat kredibel, akurat, serta aktual.
Pemerintah melalui Kemenkeu mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara. Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dia memastikan, pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional. Namun, menurutnya yang membedakan adalah tata cara pungutan karena Badan Usaha Tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.
Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.
Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengatakan, siap mendukung rencana Kemenkeu terkait penerapan pajak ekonomi digital. Namun syaratnya adalah aturan tersebut dapat berlaku adil untuk semua platform seperti marketplace (Lazada, Blibli, ride-hailing (GOJEK, Grab), online retail, voucher murah, iklan baris (OLX, Kaskus), dan sosial media.
“Idealnya setiap transaksi harus ada pajak. Tapi untuk platform iklan baris dan sosial media ini yang paling sulit untuk dilacak karena transaksinya bisa via telepon atau WA. Ini yang sulit,” ujar Ignatius di Jakarta.
Dia juga mengatakan, pemberlakukan pajak untuk semua platform baik untuk pemasukan negara. Namun ini akan menantang karena berbagai platform akan muncul seperti pedagang kaki lima yang hilang saat dirazia. Model bisnis baru akan bermunculan demi menghindari pajak. “Marketplace atau e-commerce yang paling mudah untuk dikenakan pajak. Tapi mereka bisa saja beralih ke grup WA atau sosial media,” ujarnya.
Sebelumnya pemerintah mencoba berlakukan PMK-210 pada platform marketplace dan akhirnya mendorong pedagang untuk pindah berdagang melalui media sosial. Apalagi saat ini 95% pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan platform marketplace.
Meskipun pemerintah telah mencabut PMK ini, idEa berharap adanya direktorat baru tidak akan kembali membebani pedagang mikro di e-commerce. "Sekarang persaingan sedang ketat. Pedagang marketplace bisa pindah semua ke media sosial, tapi kalau diterapkan ke semua secara seragam tidak akan masalah, tidak ada persaingan," tuturnya
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengukuhkan dua direktorat baru di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak, yakni Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Sri Mulyani mengatakan, dalam era digital saat ini, ketersediaan data menjadi hal yang sangat penting sehingga dirinya menginginkan Direktorat Jenderal Pajak memiliki kapasitas, kompetensi, dan kredibilitas dalam membangun sistem informasi dan pengumpulan data yang bersifat kredibel, akurat, serta aktual.
Pemerintah melalui Kemenkeu mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara. Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dia memastikan, pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional. Namun, menurutnya yang membedakan adalah tata cara pungutan karena Badan Usaha Tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.
Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.
(akr)