Pemasukan Negara Besar, Jasa Pelabuhan Harus Profesional
A
A
A
JAKARTA - Kegiatan pelayanan pemanduan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta sempat mengalami gangguan operasional. Pelayanan kepelabuhan di Terminal Tanjung Priok yang dikelola PT Jasa Armada Indonesia Tbk, anak usaha PT Pelindo II tersebut, terhenti oleh aksi stop operasi oleh seluruh kru kapal mulai dari Anak Buah Kapal (ABK) hingga nakhoda kapal pandu.
Penyebabnya, rencana alih daya (outsourching) oleh PT JAI terhadap para kru. Aksi stop operasi ini dinilai mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di Terminal Tanjung Priok dan terutama merugikan para pengguna jasa kepelabuhan termasuk pihak pelayaran.
"Di dalam UU No 13/2003 sangat jelas diatur bahwa jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan atau dioutsourching adalah pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari sebuah proses produksi," ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Dia menambahkan, pekerjaan yang ada di PT JAI adalah pekerjaan utama (core bussines) sehingga tidak bisa dialihdayakan kepada pihak ketiga (vendor) karena perputaran arus pendapatan negara cukup besar.
Menurut Mirah, para pekerja yang bekerja pada PT JAI sangat profesional dan memiliki keahlian khusus sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya. Artinya bisnis ini adalah bisnis utama dan tidak bisa dialihdayakan atau diserahkan pada pihak vendor.
Dia mengatakan, keputusan menyerahkan kru (pekerja) kepada vendor, harus dikomunikasikan dengan Pelindo II sebagai induk perusahaan. "Jika sudah dikomunikasikan maka Pelindo II wajib ikut menyelesaikan persoalan ini. Namun apabila belum dikomunikasikan berati ada kesalahan kebijakan," kata aktivis ketenagakerjaan ini.
Karena itu, dinilai perlu untuk dilakukan musyawarah antara pihak manajemen Pelindo II, Manajemen PT JAI, dan Serikat Pekerja dengan difasilitasi Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
"Itu sebagai kewajiban negara untuk hadir di tengah persoalan rakyatnya agar bisa menyelesaikan persoalan ini sesuai dengan perundang-undangan," tegasnya.
Pengamat ekonomi Defiyan Cori menambahkan, akar permasalahan aksi stop operasi pemanduan tersebut harus segera diselesaikan oleh manajemen PT JAI.
"Tuntutan yang diajukan tidaklah terlalu rumit, yaitu ketidaksepakatan pekerja atas pengalihan manajemen dari PT JAI yang merupakan anak usaha BUMN Pelindo II kepada vendor atau swasta," paparnya.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, menilai jika persoalan pengalihan status kru kapal pandu PT JAI ini menimbulkan gejolak bagi pelayanan arus logistik, sebaiknya diambil alih pemerintah melalui Kementerian Perhubungan.
"Jangan sampai kebijakan manajemen JAI justru memberikan beban kepada pemerintah," ujar Sofyano.
Pengamat ekonomi dan politik AEPI, Salamuddin Daeng, mengatakan persoalan tersebut bisa berpengaruh terhadap perekonomian negara. "Jika tidak segera diselesaikan akan membawa dampak yang luas," tuturnya.
Salamuddin menilai,dengan kondisi perekonomian global yang sedang melemah, maka bisa dijadikan peluang bagi sektor pelabuhan untuk meningkatkan kinerjanya. Sebab dari sektor logistik, keberadaan pelabuhan sangat vital.
Penyebabnya, rencana alih daya (outsourching) oleh PT JAI terhadap para kru. Aksi stop operasi ini dinilai mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di Terminal Tanjung Priok dan terutama merugikan para pengguna jasa kepelabuhan termasuk pihak pelayaran.
"Di dalam UU No 13/2003 sangat jelas diatur bahwa jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan atau dioutsourching adalah pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari sebuah proses produksi," ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Dia menambahkan, pekerjaan yang ada di PT JAI adalah pekerjaan utama (core bussines) sehingga tidak bisa dialihdayakan kepada pihak ketiga (vendor) karena perputaran arus pendapatan negara cukup besar.
Menurut Mirah, para pekerja yang bekerja pada PT JAI sangat profesional dan memiliki keahlian khusus sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya. Artinya bisnis ini adalah bisnis utama dan tidak bisa dialihdayakan atau diserahkan pada pihak vendor.
Dia mengatakan, keputusan menyerahkan kru (pekerja) kepada vendor, harus dikomunikasikan dengan Pelindo II sebagai induk perusahaan. "Jika sudah dikomunikasikan maka Pelindo II wajib ikut menyelesaikan persoalan ini. Namun apabila belum dikomunikasikan berati ada kesalahan kebijakan," kata aktivis ketenagakerjaan ini.
Karena itu, dinilai perlu untuk dilakukan musyawarah antara pihak manajemen Pelindo II, Manajemen PT JAI, dan Serikat Pekerja dengan difasilitasi Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
"Itu sebagai kewajiban negara untuk hadir di tengah persoalan rakyatnya agar bisa menyelesaikan persoalan ini sesuai dengan perundang-undangan," tegasnya.
Pengamat ekonomi Defiyan Cori menambahkan, akar permasalahan aksi stop operasi pemanduan tersebut harus segera diselesaikan oleh manajemen PT JAI.
"Tuntutan yang diajukan tidaklah terlalu rumit, yaitu ketidaksepakatan pekerja atas pengalihan manajemen dari PT JAI yang merupakan anak usaha BUMN Pelindo II kepada vendor atau swasta," paparnya.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, menilai jika persoalan pengalihan status kru kapal pandu PT JAI ini menimbulkan gejolak bagi pelayanan arus logistik, sebaiknya diambil alih pemerintah melalui Kementerian Perhubungan.
"Jangan sampai kebijakan manajemen JAI justru memberikan beban kepada pemerintah," ujar Sofyano.
Pengamat ekonomi dan politik AEPI, Salamuddin Daeng, mengatakan persoalan tersebut bisa berpengaruh terhadap perekonomian negara. "Jika tidak segera diselesaikan akan membawa dampak yang luas," tuturnya.
Salamuddin menilai,dengan kondisi perekonomian global yang sedang melemah, maka bisa dijadikan peluang bagi sektor pelabuhan untuk meningkatkan kinerjanya. Sebab dari sektor logistik, keberadaan pelabuhan sangat vital.
(ven)