Percepatan Program Jargas Bakal Menghemat Subsidi
A
A
A
JAKARTA - Mantan anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2019, Tumiran, menilai percepatan pembangunan infrastruktur jaringan gas untuk rumah tangga dan UMKM sangat penting untuk mengurangi beban biaya subsidi LPG yang terus membengkak.
Tumiran yang dikenal pemerhati kebijakan energi menambahkan, pembangunan jargas (jaringan gas) dapat mengurangi impor LPG yang telah membebani devisa negara. Strategi pembangunan jargas juga akan menciptakan multiplier effect yaitu terbukanya ribuan lapangan kerja dari proyek-proyek jargas dan peluang tumbuhnya industri UMKM yang baru.
Menurut Tumiran yang merupakan Dekan Fakultas Teknik UGM 2008-2012, pembangunan jargas rumah tangga, yang didukung dengan infrastruktur utama gas bumi dari holding migas dan subholding gas, akan memudahkan percepatan program ini.
Apalagi pemanfaatan gas bumi akan lebih efisien apabila juga digunakan bagi pelaku usaha kecil yang kini menjamur di berbagai kota di Indonesia.
"Sudah saatnya kita memprioritaskan gas bumi untuk energi di dalam negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan infrastruktur jargas harus dipercepat dan penataan kembali peredaran LPG subsidi harus jadi prioritas saat ini," ujarnya, Minggu (28/7/2019).
Menurut hitung-hitungan yang disampaikan Tumiran, melalui proyek Jargas, per 500 ribu sambungan rumah tangga (SR) dapat dihemat biaya subsidi LPG hingga lebih dari USD40 juta atau sekitar Rp560 miliar per tahun.
Masyarakat dapat menghemat biaya energi hingga Rp75 miliar per tahun dan bakal tersedia lapangan kerja untuk lebih dari 20 ribu orang, baik langsung maupun tidak langsung. Belum lagi potensi industri kecil dan menengah yang dapat didorong tumbuh.
Selain itu, program jargas juga dapat menjadi peluang munculnya industri pendukung di dalam negeri berupa TKDN yang menciptakan lapangan kerja baru. Apalagi bila pembangunan jargas diharuskan menggunakan komponen lokal mencapai hingga 90%.
Berbicara tentang pembiayaan pembangunan Jargas, menurut Tumiran, dengan keterbatasan anggaran pemerintah melalui APBN, program jargas bisa mengambil budget dari alokasi subsidi energi.
"Bayangkan apabila program ini berjalan sukses, per 500 ribu jaringan gas rumah tangga saja bisa menghemat nilai yang sedemikian. Apalagi bila bisa mencapai target 4,7 juta sambungan seperti yang diamanatkan RUEN di tahun 2025, puluhan triliun rupiah dapat dihemat, devisa juga dapat dihemat, serta masyarakat mendapatkan energi yang lebih murah," tukasnya.
Tetapi sebaliknya, bila langkah terobosan ini tidak dilakukan, Indonesia akan terus tergantung pada energi impor. "Sementara konsumsi energi kita juga akan semakin besar. Dampak makronya adalah neraca perdangan akan terdampak karena beban impor LPG yang besar tersebut," lanjut Tumiran.
Tumiran meyakini pemerintah akan konsisten dan komit untuk mencapai Jargas seperti yang telah di amanatkan melalui Peraturan Presiden No. 22/2017, tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional).
Beberapa program pemerintah untuk menurunkan biaya subsidi energi yang sebelumnya mampu mengurangi ketergantungan terhadap minyak ke LPG. Dan sudah waktunya di tingkatkan lagi penghematannya dengan percepatan Jargas, agar beban LPG tidak terus meningkat.
Dalam lima tahun terakhir, data Kementerian ESDM menyebut total biaya subsidi LPG mencapai Rp203 triliun (2014-2018). Besarnya angka subsidi itupun lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha asing, mengingat mayoritas LPG merupakan impor.
Di tahun 2018, total impor LPG sebanyak 5,567 juta metrik ton atau 73% dari total konsumsi LPG nasional sebanyak 7,594 juta metrik ton.
Masalah lain terkait program LPG ini adalah penyaluran tabung LPG 3 kg yang disubsidi banyak yang salah sasaran. Peraturan Presiden No. 104/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram menyebutkan produk itu hanya bagi rumah tangga dan usaha mikro, tetapi pada kenyataannya di Lapangan LPG 3 kg dengan mudah di dapatkan oleh semua elemen masyarakat.
Walapun pada ketentuannya kriteria yang berhak menerima subsidi adalah segmen rumah tangga yang memiliki pendapatan Rp350.000 per kapita per bulan, tembok rumah tak permanen, dan lantai rumah tidak permanen. Sementara kriteria usaha mikro yaitu usaha kecil yang dikelola rumah tangga dengan dengan aset maksimal Rp50 juta, dan omzet maksimal Rp300 juta per tahun. Tetapi karena pengawasan dan ketidak disiplinan warga, maksud baik pemerintah masih banyak di salahgunakan.
Oleh karena itu menurutnya, untuk membantu mengatasinya alihkan sebagian biaya subsidi energi untuk membangun infrastruktur-infrastruktur gas adalah solusi yang lebih baik. Dalam 10 tahun terakhir harga gas bumi paling stabil dan paling efisien.
Lebih lanjut Tumiran menjelaskan, percepatan dan perluasan pemanfaatan gas bumi ini juga sejalan dengan strategi pemerintah membentuk holding migas dan subholding gas bumi. Dengan dua entitas perusahaan yang memiliki kompetensi dan kemampuan yang sudah teruji itu, seharusnya perluasan infrastruktur gas bumi ke berbagai wilayah di Indonesia dapat diwujudkan lebih cepat.
"Pembangunan infrastruktur jalan tol mampu membuka wilayah ekonomi baru. Dengan didukung infrastruktur energi seperti gas bumi, serta didukung pemerataan listrik yang andal, pengembangan wilayah dan pemerataan ekonomi akan lebih cepat dilakukan," tutup Tumiran.
Tumiran yang dikenal pemerhati kebijakan energi menambahkan, pembangunan jargas (jaringan gas) dapat mengurangi impor LPG yang telah membebani devisa negara. Strategi pembangunan jargas juga akan menciptakan multiplier effect yaitu terbukanya ribuan lapangan kerja dari proyek-proyek jargas dan peluang tumbuhnya industri UMKM yang baru.
Menurut Tumiran yang merupakan Dekan Fakultas Teknik UGM 2008-2012, pembangunan jargas rumah tangga, yang didukung dengan infrastruktur utama gas bumi dari holding migas dan subholding gas, akan memudahkan percepatan program ini.
Apalagi pemanfaatan gas bumi akan lebih efisien apabila juga digunakan bagi pelaku usaha kecil yang kini menjamur di berbagai kota di Indonesia.
"Sudah saatnya kita memprioritaskan gas bumi untuk energi di dalam negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan infrastruktur jargas harus dipercepat dan penataan kembali peredaran LPG subsidi harus jadi prioritas saat ini," ujarnya, Minggu (28/7/2019).
Menurut hitung-hitungan yang disampaikan Tumiran, melalui proyek Jargas, per 500 ribu sambungan rumah tangga (SR) dapat dihemat biaya subsidi LPG hingga lebih dari USD40 juta atau sekitar Rp560 miliar per tahun.
Masyarakat dapat menghemat biaya energi hingga Rp75 miliar per tahun dan bakal tersedia lapangan kerja untuk lebih dari 20 ribu orang, baik langsung maupun tidak langsung. Belum lagi potensi industri kecil dan menengah yang dapat didorong tumbuh.
Selain itu, program jargas juga dapat menjadi peluang munculnya industri pendukung di dalam negeri berupa TKDN yang menciptakan lapangan kerja baru. Apalagi bila pembangunan jargas diharuskan menggunakan komponen lokal mencapai hingga 90%.
Berbicara tentang pembiayaan pembangunan Jargas, menurut Tumiran, dengan keterbatasan anggaran pemerintah melalui APBN, program jargas bisa mengambil budget dari alokasi subsidi energi.
"Bayangkan apabila program ini berjalan sukses, per 500 ribu jaringan gas rumah tangga saja bisa menghemat nilai yang sedemikian. Apalagi bila bisa mencapai target 4,7 juta sambungan seperti yang diamanatkan RUEN di tahun 2025, puluhan triliun rupiah dapat dihemat, devisa juga dapat dihemat, serta masyarakat mendapatkan energi yang lebih murah," tukasnya.
Tetapi sebaliknya, bila langkah terobosan ini tidak dilakukan, Indonesia akan terus tergantung pada energi impor. "Sementara konsumsi energi kita juga akan semakin besar. Dampak makronya adalah neraca perdangan akan terdampak karena beban impor LPG yang besar tersebut," lanjut Tumiran.
Tumiran meyakini pemerintah akan konsisten dan komit untuk mencapai Jargas seperti yang telah di amanatkan melalui Peraturan Presiden No. 22/2017, tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional).
Beberapa program pemerintah untuk menurunkan biaya subsidi energi yang sebelumnya mampu mengurangi ketergantungan terhadap minyak ke LPG. Dan sudah waktunya di tingkatkan lagi penghematannya dengan percepatan Jargas, agar beban LPG tidak terus meningkat.
Dalam lima tahun terakhir, data Kementerian ESDM menyebut total biaya subsidi LPG mencapai Rp203 triliun (2014-2018). Besarnya angka subsidi itupun lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha asing, mengingat mayoritas LPG merupakan impor.
Di tahun 2018, total impor LPG sebanyak 5,567 juta metrik ton atau 73% dari total konsumsi LPG nasional sebanyak 7,594 juta metrik ton.
Masalah lain terkait program LPG ini adalah penyaluran tabung LPG 3 kg yang disubsidi banyak yang salah sasaran. Peraturan Presiden No. 104/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram menyebutkan produk itu hanya bagi rumah tangga dan usaha mikro, tetapi pada kenyataannya di Lapangan LPG 3 kg dengan mudah di dapatkan oleh semua elemen masyarakat.
Walapun pada ketentuannya kriteria yang berhak menerima subsidi adalah segmen rumah tangga yang memiliki pendapatan Rp350.000 per kapita per bulan, tembok rumah tak permanen, dan lantai rumah tidak permanen. Sementara kriteria usaha mikro yaitu usaha kecil yang dikelola rumah tangga dengan dengan aset maksimal Rp50 juta, dan omzet maksimal Rp300 juta per tahun. Tetapi karena pengawasan dan ketidak disiplinan warga, maksud baik pemerintah masih banyak di salahgunakan.
Oleh karena itu menurutnya, untuk membantu mengatasinya alihkan sebagian biaya subsidi energi untuk membangun infrastruktur-infrastruktur gas adalah solusi yang lebih baik. Dalam 10 tahun terakhir harga gas bumi paling stabil dan paling efisien.
Lebih lanjut Tumiran menjelaskan, percepatan dan perluasan pemanfaatan gas bumi ini juga sejalan dengan strategi pemerintah membentuk holding migas dan subholding gas bumi. Dengan dua entitas perusahaan yang memiliki kompetensi dan kemampuan yang sudah teruji itu, seharusnya perluasan infrastruktur gas bumi ke berbagai wilayah di Indonesia dapat diwujudkan lebih cepat.
"Pembangunan infrastruktur jalan tol mampu membuka wilayah ekonomi baru. Dengan didukung infrastruktur energi seperti gas bumi, serta didukung pemerataan listrik yang andal, pengembangan wilayah dan pemerataan ekonomi akan lebih cepat dilakukan," tutup Tumiran.
(ven)