Pengelolaan BUMN Harus Gunakan UU Perseroan Terbatas
A
A
A
JAKARTA - Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus menggunakan ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT). Alasannya, negara hanya memiliki saham pada BUMN yang dicatat sebagai kekayaan negara.
"Jadi negara hanya sebagai pemilik saham. Dengan kondisi tersebut, analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan," ujar pakar hukum Ary Zulfikar di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Ary mengungkapkan, selama ini, tafsir Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang terlalu luas menjadi ganjalan bagi manajemen BUMN dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Manajemen BUMN tersebut berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam UU Tipikor, misalnya dalam hal kerugian yang dialami BUMN.
"Tafsir yang sangat luas dari pasal-pasal di UU Tipikor yang menyebabkan banyak direksi BUMN yang kemudian dapat terjebak dalam kasus Tipikor," ujarnya.
Menurut Ary, aparat penegak hukum selalu mengkaitkan kekayaan negara termasuk aset atau kekayaan yang dimiliki, baik di BUMN maupun di anak perusahaan BUMN, sehingga jika ada kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan BUMN, dianggap sebagai kerugian negara.
"Akibatnya, manajemen BUMN kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, tetapi ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan negara dan diancam dengan UU Tipikor," paparnya.
Namun, di sisi lain tafsir aset BUMN atau anak perusahaan BUMN agak berbeda. "Jika berbicara tentang kewajiban atau utang BUMN, kita tidak pernah mendengar istilah bahwa utang BUMN adalah kewajiban negara atau pemerintah," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, apabila manajemen BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik, dan menjalankan good corporate governance maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalisasi. "Tapi jika manajemen suatu BUMN tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dan menyebabkan kerugian perusahaan, maka direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan," tandasnya.
"Jadi negara hanya sebagai pemilik saham. Dengan kondisi tersebut, analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan," ujar pakar hukum Ary Zulfikar di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Ary mengungkapkan, selama ini, tafsir Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang terlalu luas menjadi ganjalan bagi manajemen BUMN dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Manajemen BUMN tersebut berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam UU Tipikor, misalnya dalam hal kerugian yang dialami BUMN.
"Tafsir yang sangat luas dari pasal-pasal di UU Tipikor yang menyebabkan banyak direksi BUMN yang kemudian dapat terjebak dalam kasus Tipikor," ujarnya.
Menurut Ary, aparat penegak hukum selalu mengkaitkan kekayaan negara termasuk aset atau kekayaan yang dimiliki, baik di BUMN maupun di anak perusahaan BUMN, sehingga jika ada kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan BUMN, dianggap sebagai kerugian negara.
"Akibatnya, manajemen BUMN kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, tetapi ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan negara dan diancam dengan UU Tipikor," paparnya.
Namun, di sisi lain tafsir aset BUMN atau anak perusahaan BUMN agak berbeda. "Jika berbicara tentang kewajiban atau utang BUMN, kita tidak pernah mendengar istilah bahwa utang BUMN adalah kewajiban negara atau pemerintah," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, apabila manajemen BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik, dan menjalankan good corporate governance maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalisasi. "Tapi jika manajemen suatu BUMN tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dan menyebabkan kerugian perusahaan, maka direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan," tandasnya.
(fjo)