Tak Puas dengan Kinerja BPJPH, IHW Desak Pembentukan Badan Halal
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Halal Watch (IHW) terus mendorong terbentuknya Badan Halal yang langsung di bawah Presiden RI menggantikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasalnya, IHW menilai BPJPH masih belum dapat diandalkan untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
"Waktunya sudah mendesak dan BPJPH masih belum siap. Tidak boleh nanti mengundurkan waktu dengan alasan untuk pentahapan. Secepatnya harus dibentuk badan baru," ujar Direktur Eksekutif IHW, Ikhsan Abdullah di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Pihaknya juga menyampaikan surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala BPJPH, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Ketua MUI, Ketua Komisaris Hukum dan Perundang-Undangan MUI, serta Ketua LPPOM MUI.
Dalam surat yang telah diajukan pada Rabu (31/7/2019), tercantum tiga poin gugatan.
"Pertama kami menegur BPJPH untuk tidak melakukan penundaan pemberlakuan UU JPH, dengan tenggat 5 hingga 10 tahun sebagaimana yang direncanakan, kecuali terhadap obat-obatan dan produk spesifik yang ditemukan penggantinya," tulisnya.
IHW mengkritisi Kepala Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Kementrian Agama RI, Mastuki yang menyebutkan akan memberlakukan UU JPH secara bertahap, dari jangka 5-10 tahun, sesuai dengan jenis produk.
Ikhsan menganggap pernyataan tersebut bertentangan dengan Pasal 67 ayat (1) UU JPH yang pada pokoknya menyatakan berlaku lima tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan. Padahal, UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014, sehingga seharusnya berlaku efektif sejak 17 Oktober 2019.
Pihaknya juga meminta BPJPH membatalkan rencananya mengganti label dan logo halal. Pergantian logo halal dianggap sesat fikir.
Pasalnya, Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 Tentang JPH telah secara tegas menyatakan, selengkapnya berbunyi 'Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam'.
Ikhsan dalam suratnya juga mengatakan bahwa logo yang digunakan LPPOM MUI dalam sertifikasi halal adalah representasi Islam, yang seharusnya tidak perlu diganti demi pandangan nasional.
"Kami juga mendorong sesuai Ketentuan Peralihan di UU JPH, menyebut LPPOM MUI tetap berwenang menerima dan memproses permohonan sertifikasi halal, hingga BPJPH betul-betul berfungsi sebagaimana mestinya," lanjutnya.
IHW dan LPPOM MUI beranggapan, ketidaksiapan BPJPH sebagai Badan Sertifikasi Halal sekaligus sebagai Penyelenggara Sistem Jaminan Halal jangan menjadikan ditundanya pemberlakuan Undang-Undang dengan dalih pentahapan.
IHW dan LPPOM mengatakan bahwa negara wajib memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan produk halal dan menahan membanjirnya produk halal dari luar negeri.
Maka, IHW mendorong LPPOM MUI sebagai pihak yang masih tetap berwenang, menerima dan memproses permohonan sertifikasi halal, sampai BPJPH berfungsi sebagaimana mestinya.
Pasalnya, IHW menilai BPJPH masih belum dapat diandalkan untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
"Waktunya sudah mendesak dan BPJPH masih belum siap. Tidak boleh nanti mengundurkan waktu dengan alasan untuk pentahapan. Secepatnya harus dibentuk badan baru," ujar Direktur Eksekutif IHW, Ikhsan Abdullah di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Pihaknya juga menyampaikan surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala BPJPH, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Ketua MUI, Ketua Komisaris Hukum dan Perundang-Undangan MUI, serta Ketua LPPOM MUI.
Dalam surat yang telah diajukan pada Rabu (31/7/2019), tercantum tiga poin gugatan.
"Pertama kami menegur BPJPH untuk tidak melakukan penundaan pemberlakuan UU JPH, dengan tenggat 5 hingga 10 tahun sebagaimana yang direncanakan, kecuali terhadap obat-obatan dan produk spesifik yang ditemukan penggantinya," tulisnya.
IHW mengkritisi Kepala Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Kementrian Agama RI, Mastuki yang menyebutkan akan memberlakukan UU JPH secara bertahap, dari jangka 5-10 tahun, sesuai dengan jenis produk.
Ikhsan menganggap pernyataan tersebut bertentangan dengan Pasal 67 ayat (1) UU JPH yang pada pokoknya menyatakan berlaku lima tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan. Padahal, UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014, sehingga seharusnya berlaku efektif sejak 17 Oktober 2019.
Pihaknya juga meminta BPJPH membatalkan rencananya mengganti label dan logo halal. Pergantian logo halal dianggap sesat fikir.
Pasalnya, Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 Tentang JPH telah secara tegas menyatakan, selengkapnya berbunyi 'Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam'.
Ikhsan dalam suratnya juga mengatakan bahwa logo yang digunakan LPPOM MUI dalam sertifikasi halal adalah representasi Islam, yang seharusnya tidak perlu diganti demi pandangan nasional.
"Kami juga mendorong sesuai Ketentuan Peralihan di UU JPH, menyebut LPPOM MUI tetap berwenang menerima dan memproses permohonan sertifikasi halal, hingga BPJPH betul-betul berfungsi sebagaimana mestinya," lanjutnya.
IHW dan LPPOM MUI beranggapan, ketidaksiapan BPJPH sebagai Badan Sertifikasi Halal sekaligus sebagai Penyelenggara Sistem Jaminan Halal jangan menjadikan ditundanya pemberlakuan Undang-Undang dengan dalih pentahapan.
IHW dan LPPOM mengatakan bahwa negara wajib memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan produk halal dan menahan membanjirnya produk halal dari luar negeri.
Maka, IHW mendorong LPPOM MUI sebagai pihak yang masih tetap berwenang, menerima dan memproses permohonan sertifikasi halal, sampai BPJPH berfungsi sebagaimana mestinya.
(ind)