Reforma Agraria, Pemerintah Siapkan 1,3 Juta Hektare Hutan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah menyiapkan Tanah Obyek Reforma Agraria atau TORA yang berasal dari kawasan hutan seluas sekitar 1,308 juta hektare.
Hal itu sesuai keputusan pemerintah yang telah menetapkan Reforma Agraria sebagai salah satu Program Prioritas Nasional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.
Dalam rangka mendukung penyediaan sumber TORA, sampai saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota dengan total luas lahan 330.357 hektare.
Pola penyelesaiannya meliputi perubahan batas seluas 204.662 hektare, perhutanan sosial seluas 125.680 hektare, dan resettlement (pemukiman kembali) seluas 15 hektare.
"Beberapa provinsi, seperti Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Utara, sedang mengoptimalkan usulan PPTKH dan dijadwalkan untuk menyelesaikan rekomendasi PPTKH pada September 2019," ujar Darmin di Jakarta, Senin (5/8/2019).
Dia menambahakan, pemerintah akan menyelesaikan sertifikasi bagi seluruh lahan rakyat di negeri ini. Hal ini penting untuk membantu pengembangan perekonomian rakyat.
Untuk itu, para pemimpin daerah diharapkan dapat memanfaatkan lahan tersebut sebaik-baiknya sebagai sumber TORA untuk kesejahteraan penduduknya.
“Masyarakat (pemilik lahan) akan punya kepastian, kemudian ia akan memiliki akses untuk semakin mengembangkan kegiatan usahanya melalui adanya sertifikasi. Masyarakat akan diberikan akses mengelola selama 35 tahun, dan itu dapat diperpanjang, namun tidak dapat diwariskan,” tuturnya.
Nantinya, pemerintah akan mencoba mengombinasikan program ini dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jadi, dengan memiliki sertifikasi lahan, masyarakat akan semakin mudah memperoleh KUR untuk usahanya.
Selain itu, masalah redistribusi tanah juga berhubungan dengan transmigrasi, maka itu akan dikembangkan berdasarkan basis kluster.
“Memang kita ingin TORA ini sekaligus menjadi bagian dari penyelesaian konflik penguasaan lahan, serta menjadi pilar utama redistribusi lahan,” ujarnya.
Pemerintah juga mencadangkan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) tidak produktif untuk TORA seluas 938.879 hektare dan untuk pencetakan sawah baru seluas 39.229 hektare pada 20 provinsi.
TORA dari HPK tidak produktif dapat digunakan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, perkebunan, pengembangan wilayah dan sebagainya, sesuai usulan para gubernur atau bupati/walikota dari HPK tidak produktif.
Di samping itu, pemerintah telah mencadangkan TORA dari hasil adendum Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (izin Hutan Tanaman Industri/HTI) seluas 51.029 hektare dari 13 perusahaan. Hal ini merupakan bentuk partisipasi dunia usaha dalam mendukung pelaksanaan Reforma Agraria.
Kemudian, untuk kepentingan masyarakat, pemerintah melakukan penegasan areal pemukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan umum sebanyak 269 unit atau hampir 264.579 hektare dari kawasan hutan sebagai sumber TORA.
Hal itu sesuai keputusan pemerintah yang telah menetapkan Reforma Agraria sebagai salah satu Program Prioritas Nasional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.
Dalam rangka mendukung penyediaan sumber TORA, sampai saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota dengan total luas lahan 330.357 hektare.
Pola penyelesaiannya meliputi perubahan batas seluas 204.662 hektare, perhutanan sosial seluas 125.680 hektare, dan resettlement (pemukiman kembali) seluas 15 hektare.
"Beberapa provinsi, seperti Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Utara, sedang mengoptimalkan usulan PPTKH dan dijadwalkan untuk menyelesaikan rekomendasi PPTKH pada September 2019," ujar Darmin di Jakarta, Senin (5/8/2019).
Dia menambahakan, pemerintah akan menyelesaikan sertifikasi bagi seluruh lahan rakyat di negeri ini. Hal ini penting untuk membantu pengembangan perekonomian rakyat.
Untuk itu, para pemimpin daerah diharapkan dapat memanfaatkan lahan tersebut sebaik-baiknya sebagai sumber TORA untuk kesejahteraan penduduknya.
“Masyarakat (pemilik lahan) akan punya kepastian, kemudian ia akan memiliki akses untuk semakin mengembangkan kegiatan usahanya melalui adanya sertifikasi. Masyarakat akan diberikan akses mengelola selama 35 tahun, dan itu dapat diperpanjang, namun tidak dapat diwariskan,” tuturnya.
Nantinya, pemerintah akan mencoba mengombinasikan program ini dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jadi, dengan memiliki sertifikasi lahan, masyarakat akan semakin mudah memperoleh KUR untuk usahanya.
Selain itu, masalah redistribusi tanah juga berhubungan dengan transmigrasi, maka itu akan dikembangkan berdasarkan basis kluster.
“Memang kita ingin TORA ini sekaligus menjadi bagian dari penyelesaian konflik penguasaan lahan, serta menjadi pilar utama redistribusi lahan,” ujarnya.
Pemerintah juga mencadangkan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) tidak produktif untuk TORA seluas 938.879 hektare dan untuk pencetakan sawah baru seluas 39.229 hektare pada 20 provinsi.
TORA dari HPK tidak produktif dapat digunakan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, perkebunan, pengembangan wilayah dan sebagainya, sesuai usulan para gubernur atau bupati/walikota dari HPK tidak produktif.
Di samping itu, pemerintah telah mencadangkan TORA dari hasil adendum Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (izin Hutan Tanaman Industri/HTI) seluas 51.029 hektare dari 13 perusahaan. Hal ini merupakan bentuk partisipasi dunia usaha dalam mendukung pelaksanaan Reforma Agraria.
Kemudian, untuk kepentingan masyarakat, pemerintah melakukan penegasan areal pemukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan umum sebanyak 269 unit atau hampir 264.579 hektare dari kawasan hutan sebagai sumber TORA.
(ind)