Neraca Dagang Juli 2019 Diprediksi Bakal Kembali Defisit
A
A
A
JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia pada bulan Juli 2019 diperkirakan bakal kembali berbalik mengalami defisit setelah sempat mencetak surplus USD200 juta pada Juni, lalu. Ekonom Bank Permata Joshua Pardede memprediksi, defisit neraca dagang Juli akan mencapai USD520 juta dengan laju ekspor diperkirakan -15,74% year on year (yoy).
Meskipun aktivitas perdagangan sudah kembali normal pasca libur Lebaran pada bulan Juni, ekspor diperkirakan masih dipengaruhi oleh lemahnya harga komoditas ekspor seperti batu bara dan karet alam. Kondisi eksternal diyakini juga menjadi sentimen yang menahan laju ekspor nasional.
"Meski begitu harga CPO cenderung meningkat terbatas sepanjang bulan Juli lalu. Volume ekspor juga masih terbatas terindikasi dari aktivitas manufaktur (PMI manufaktur) dari mitra dagang utama Indonesia seperti AS (Amerika Serikat), Uni Eropa dan global," ujar Joshua saat dihubungi SINDONews di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Sambung dia menambahkan, dari sisi impor non migas diperkirakan akan kembali normal dan cenderung meningkat. Hal tersebut terindikasi dari kinerja ekspor Tiongkok yang juga meningkat pada periode yang sama. "Namun, impor migas diperkirakan cenderung menurun dibandingkan bulan sebelumnya," katanya.
Joshua mengungkapkan, tantangan neraca perdagangan hingga akhir tahun ini masih berasal dari isu perang dagang antara AS dan Tiongkok yang akan mempengaruhi volume ekspor dan fluktuasi harga komoditas global. "Meskipun demikian, impor barang modal sepanjang semester II tahun ini diperkirakan melandai seiring moderasi investasi, sementara impor migas juga diperkirakan menurun seiring tren penurunam harga minyak mentah dunia," tandasnya.
Sebagai informasi neraca perdagangan Indonesia pada Juni tercatat surplus USD200 juta ketika nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni sebesar USD11,78 miliar atau turun 8,98% sedangkan impor USD11,58 miliar atau naik 2,80%.
BPS mencatat impor bulan Juni untuk produk konsumsi mengalami penurunan cukup dalam hingga 33,57% dengan komoditas yang menyumbang paling besar adalah anggur. Selanjutnya diikuti daging beku dari India dan Australia, bawang putih, apel, dan bubuk susu. Selanjutnya impor bahan baku tercatat turun 17,78% seperti handphone tanpa baterai yang mengalami penurunan terdalam dari Hong Kong dan China. Kemudian impor bungkil kedelai dan bahan untuk pupuk juga mengalami penurunan.
Meskipun aktivitas perdagangan sudah kembali normal pasca libur Lebaran pada bulan Juni, ekspor diperkirakan masih dipengaruhi oleh lemahnya harga komoditas ekspor seperti batu bara dan karet alam. Kondisi eksternal diyakini juga menjadi sentimen yang menahan laju ekspor nasional.
"Meski begitu harga CPO cenderung meningkat terbatas sepanjang bulan Juli lalu. Volume ekspor juga masih terbatas terindikasi dari aktivitas manufaktur (PMI manufaktur) dari mitra dagang utama Indonesia seperti AS (Amerika Serikat), Uni Eropa dan global," ujar Joshua saat dihubungi SINDONews di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Sambung dia menambahkan, dari sisi impor non migas diperkirakan akan kembali normal dan cenderung meningkat. Hal tersebut terindikasi dari kinerja ekspor Tiongkok yang juga meningkat pada periode yang sama. "Namun, impor migas diperkirakan cenderung menurun dibandingkan bulan sebelumnya," katanya.
Joshua mengungkapkan, tantangan neraca perdagangan hingga akhir tahun ini masih berasal dari isu perang dagang antara AS dan Tiongkok yang akan mempengaruhi volume ekspor dan fluktuasi harga komoditas global. "Meskipun demikian, impor barang modal sepanjang semester II tahun ini diperkirakan melandai seiring moderasi investasi, sementara impor migas juga diperkirakan menurun seiring tren penurunam harga minyak mentah dunia," tandasnya.
Sebagai informasi neraca perdagangan Indonesia pada Juni tercatat surplus USD200 juta ketika nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni sebesar USD11,78 miliar atau turun 8,98% sedangkan impor USD11,58 miliar atau naik 2,80%.
BPS mencatat impor bulan Juni untuk produk konsumsi mengalami penurunan cukup dalam hingga 33,57% dengan komoditas yang menyumbang paling besar adalah anggur. Selanjutnya diikuti daging beku dari India dan Australia, bawang putih, apel, dan bubuk susu. Selanjutnya impor bahan baku tercatat turun 17,78% seperti handphone tanpa baterai yang mengalami penurunan terdalam dari Hong Kong dan China. Kemudian impor bungkil kedelai dan bahan untuk pupuk juga mengalami penurunan.
(akr)