Penggabungan Batas Produksi SKM dan SPM Tak Sebabkan Oligopoli
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengingatkan celah yang ada dalam kebijakan tarif cukai rokok yang berlaku saat ini, berpotensi memunculkan praktik oligopoli di industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya, perusahaan asing besar yang kini menikmati tarif cukai rendah bertarung langsung dengan perusahaan-perusahaan rokok kecil.
Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menjelaskan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel akibat oligopoli.
"KPPU melihat dua sisi. Kalau pelaku usaha melakukan oligopoli, atau bangkrut atau malah monopoli mereka bersekongkol tanpa perjanjian sekalipun. Industri UKM juga bermain secara sehat," kata Kodrat di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Kodrat menjelaskan, praktik oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok nasional. Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.
Apalagi, meski setiap tahun pemerintah cenderung menaikkan tarif cukai, namun beberapa kebijakan lain justru mendukung penjualan rokok dengan harga murah. Salah satunya adalah kebijakan diskon rokok yang memungkinkan pembeli mendapatkan harga 85% dari tarif yang tercantum dalam banderol.
Jika perusahaan rokok besar menggunakan kedua celah tersebut maka bakal membawa kerugian yang sangat besar baik dari sisi persaingan maupun upaya penurunan konsumsi rokok oleh masyarakat. "Kalau makin sedikit (jumlah perusahaan) memang efisien. Tapi persaingan akan tidak sehat. Sangking kerasnya," tegas Kodrat.
Para pemain asing besar umumnya memproduksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Persoalan kemudian muncul manakala para perusahaan asing tersebut memainkan batasan produksi sehingga tidak menyentuh angka tiga miliar batang di masing-masing kategori. Akibatnya, mereka menikmati cukai dengan tarif yang lebih rendah.
Padahal, jika produksi SPM dan SKM digabungkan maka jumlah produksi mereka jauh di atas tiga miliar batang, sehingga layak dikenai tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori. "Itu kan tujuannya untuk menambah penerimaan cukai. PMK itu diteruskan sesuai dengan desain agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan," tegas Kodrat.
Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
Tak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp370 per batang.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp590 per batang. Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp385 per batang. Sementara itu di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp180 per batang.
Sementara itu, di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp180 per batang. Di segmen teratas, ada Dji Sam Soe (HM Sampoerna) di tarif golongan 1 sebesar Rp365 per batang, serta GG Merah (Gudang Garam) dan Djarum Coklat (Djarum) di tarif golongan 1B sebesar Rp290 per batang.
Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan agar pemerintah menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM, sehingga perusahaan besar akan dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.
Sebelumnya, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo, juga mendesak pemerintah menerapkan kebijakan penggabungan produksi SPM dan SKM.
Kebijakan ini akan membuat harga beberapa brand rokok milik pabrikan besar asing menjadi lebih mahal karena mereka harus membayar tarif cukai golongan satu, sehingga sehingga tidak mudah dijangkau masyarakat, terutama anak-anak.
Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menjelaskan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel akibat oligopoli.
"KPPU melihat dua sisi. Kalau pelaku usaha melakukan oligopoli, atau bangkrut atau malah monopoli mereka bersekongkol tanpa perjanjian sekalipun. Industri UKM juga bermain secara sehat," kata Kodrat di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Kodrat menjelaskan, praktik oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok nasional. Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.
Apalagi, meski setiap tahun pemerintah cenderung menaikkan tarif cukai, namun beberapa kebijakan lain justru mendukung penjualan rokok dengan harga murah. Salah satunya adalah kebijakan diskon rokok yang memungkinkan pembeli mendapatkan harga 85% dari tarif yang tercantum dalam banderol.
Jika perusahaan rokok besar menggunakan kedua celah tersebut maka bakal membawa kerugian yang sangat besar baik dari sisi persaingan maupun upaya penurunan konsumsi rokok oleh masyarakat. "Kalau makin sedikit (jumlah perusahaan) memang efisien. Tapi persaingan akan tidak sehat. Sangking kerasnya," tegas Kodrat.
Para pemain asing besar umumnya memproduksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Persoalan kemudian muncul manakala para perusahaan asing tersebut memainkan batasan produksi sehingga tidak menyentuh angka tiga miliar batang di masing-masing kategori. Akibatnya, mereka menikmati cukai dengan tarif yang lebih rendah.
Padahal, jika produksi SPM dan SKM digabungkan maka jumlah produksi mereka jauh di atas tiga miliar batang, sehingga layak dikenai tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori. "Itu kan tujuannya untuk menambah penerimaan cukai. PMK itu diteruskan sesuai dengan desain agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan," tegas Kodrat.
Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
Tak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp370 per batang.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp590 per batang. Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp385 per batang. Sementara itu di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp180 per batang.
Sementara itu, di segmen SKT Apache (Japan Tobacco Inc) memakai tarif golongan 2 sebesar Rp180 per batang. Di segmen teratas, ada Dji Sam Soe (HM Sampoerna) di tarif golongan 1 sebesar Rp365 per batang, serta GG Merah (Gudang Garam) dan Djarum Coklat (Djarum) di tarif golongan 1B sebesar Rp290 per batang.
Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan agar pemerintah menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM, sehingga perusahaan besar akan dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.
Sebelumnya, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo, juga mendesak pemerintah menerapkan kebijakan penggabungan produksi SPM dan SKM.
Kebijakan ini akan membuat harga beberapa brand rokok milik pabrikan besar asing menjadi lebih mahal karena mereka harus membayar tarif cukai golongan satu, sehingga sehingga tidak mudah dijangkau masyarakat, terutama anak-anak.
(ven)