Pengamat Nilai Target Pertumbuhan Ekonomi 2020 Masih Stagnan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah menyusun asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai acuan dalam RAPBN tahun 2020. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan tetap tumbuh 5,3%.
Inflasi masih dapat terkendali dalam kisaran 3,1%. Nilai tukar rupiah diperkirakan berada pada Rp14.400 per dolar Amerika Serikat. Tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,4%, dengan optimisme terkait persepsi positif dan perbaikan iklim investasi di Indonesia sehingga arus investasi akan terus mengalir ke dalam negeri.
Indonesia Crude Price (ICP) diperkirakan rata-rata mencapai USD65,0 per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 734.000 barel per hari dan 1.19 juta barel setara minyak per hari.
Peneliti dari Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada tingkat 5,3% tidak beranjak dari target pertumbuhan ekonomi 2019. Ini menunjukkan bahwa perekonomian nasional stagnan.
"Artinya perekonomian nasional tidak jauh lebih baik dari tahun ini. Tentunya akan mempunyai tantangan besar tersendiri dalam mencapai target tersebut," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Rizal melanjutkan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% mengandalkan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utama. Padahal, kedua indikator tersebut masih belum memberi sinyal lebih baik sesuai yang diharapkan.
Di sisi lain, kondisi eksternal masih dibayangi oleh ketidakpastian global karena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Apalagi kondisi nilai tukar terhadap dolar AS yang kian tidak mudah dikendalikan. "Kondisi ini menunjukkan nilai tukar rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar," jelasnya.
Untuk ICP yang diperkirakan USD65 per barel, masih bersifat unpredictable dimana sangat dipengaruhi oleh dinamika global. Tentu angka ini juga masih sangat rentan berubah. Sementara asumsi pertumbuhan ekonomi berasal dari lifting migas tahun 2020 lebih rendah dibandingkan tahun 2019.
"Ini menunjukkan kontribusi dari lifting ini sangat berat dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dari kondisi ini, dapat dilihat bahwa keempat asumsi ini, tahun 2020 masih belum memberikan kondusifitas pertumbuhan ekonomi yang kian membaik," kata Rizal.
Peneliti Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di tahun 2020 sangat sulit dicapai. Sejak tahun 2015 hingga semester I 2019, pertumbuhan tertinggi ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,27% (yoy).
"Apalagi saat ekonomi global yang semakin berat. Target pertumbuhan sebesar 5,3% rasanya sulit," ungkapnya.
Dia menuturkan, dari sisi permintaan, ekonomi belum masuk ke aktivitas produktif karena rendahnya pertumbuhan PMTDB (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto). Bahkan pada kuartal I dan II tahun 2019, pertumbuhannya di bawah target pertumbuhan ekonomi.
"Ini sangat mengkhawatirkan. Sementara inflasi memang sudah demikian kondisinya, saat ekonomi tumbuh terbatas, tentu inflasi juga rendah (IHK). Akan tetapi, inflasi bahan makanan masih membumbung. Artinya persoalan inflasi belum juga beres," tandasnya.
Inflasi masih dapat terkendali dalam kisaran 3,1%. Nilai tukar rupiah diperkirakan berada pada Rp14.400 per dolar Amerika Serikat. Tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,4%, dengan optimisme terkait persepsi positif dan perbaikan iklim investasi di Indonesia sehingga arus investasi akan terus mengalir ke dalam negeri.
Indonesia Crude Price (ICP) diperkirakan rata-rata mencapai USD65,0 per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 734.000 barel per hari dan 1.19 juta barel setara minyak per hari.
Peneliti dari Institute For Develompent of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada tingkat 5,3% tidak beranjak dari target pertumbuhan ekonomi 2019. Ini menunjukkan bahwa perekonomian nasional stagnan.
"Artinya perekonomian nasional tidak jauh lebih baik dari tahun ini. Tentunya akan mempunyai tantangan besar tersendiri dalam mencapai target tersebut," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Rizal melanjutkan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% mengandalkan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utama. Padahal, kedua indikator tersebut masih belum memberi sinyal lebih baik sesuai yang diharapkan.
Di sisi lain, kondisi eksternal masih dibayangi oleh ketidakpastian global karena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Apalagi kondisi nilai tukar terhadap dolar AS yang kian tidak mudah dikendalikan. "Kondisi ini menunjukkan nilai tukar rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar," jelasnya.
Untuk ICP yang diperkirakan USD65 per barel, masih bersifat unpredictable dimana sangat dipengaruhi oleh dinamika global. Tentu angka ini juga masih sangat rentan berubah. Sementara asumsi pertumbuhan ekonomi berasal dari lifting migas tahun 2020 lebih rendah dibandingkan tahun 2019.
"Ini menunjukkan kontribusi dari lifting ini sangat berat dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dari kondisi ini, dapat dilihat bahwa keempat asumsi ini, tahun 2020 masih belum memberikan kondusifitas pertumbuhan ekonomi yang kian membaik," kata Rizal.
Peneliti Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di tahun 2020 sangat sulit dicapai. Sejak tahun 2015 hingga semester I 2019, pertumbuhan tertinggi ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,27% (yoy).
"Apalagi saat ekonomi global yang semakin berat. Target pertumbuhan sebesar 5,3% rasanya sulit," ungkapnya.
Dia menuturkan, dari sisi permintaan, ekonomi belum masuk ke aktivitas produktif karena rendahnya pertumbuhan PMTDB (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto). Bahkan pada kuartal I dan II tahun 2019, pertumbuhannya di bawah target pertumbuhan ekonomi.
"Ini sangat mengkhawatirkan. Sementara inflasi memang sudah demikian kondisinya, saat ekonomi tumbuh terbatas, tentu inflasi juga rendah (IHK). Akan tetapi, inflasi bahan makanan masih membumbung. Artinya persoalan inflasi belum juga beres," tandasnya.
(ven)