Mencegah Oligopoli Rokok di Pasar Modern Ritel

Rabu, 21 Agustus 2019 - 15:00 WIB
Mencegah Oligopoli Rokok...
Mencegah Oligopoli Rokok di Pasar Modern Ritel
A A A
JAKARTA - Sebagai produk ritel, rokok kini semakin mudah diakses. Ini lantaran peredarannya semakin luas, mulai ritel besar seperti supermarket hingga rumahan.

Persaingan di level produsen pun kian masif. Selain mudah diakses, harga rokok di level ritel pun masih murah. Hal ini disebabkan tarif cukai yang ditetapkan masih tergolong rendah. Apalagi, produsen asing besar yang kini menikmati tarif cukai rendah bertarung langsung dengan perusahaan-perusahaan rokok kecil.

Karena itu, banyak pihak yang mendukung adanya penggabungan batas produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). “IHT merupakan industri padat karya. Selain itu, pendapatan pemerintah dari sektor ini besar, tentunya kebijakan harus tepat,” ungkap pemerhati kebijakan publik, Agus Wahyudin, di Jakarta kemarin.

Karena itu, menurut dia, penggabungan batas produksi SKM dan SPM dinilai mendesak dilakukan untuk mencegah adanya praktik oligopoli. Sebelumnya komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo menjelaskan, kebijakan yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel akibat oligopoli.

Kodrat menjelaskan, praktik oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok nasional. Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.

“Kalau makin sedikit (jumlah perusahaan) memang efisien, tapi persaingan akan tidak sehat saking kerasnya,” ujar Kodrat. Contohnya, pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp625 per batang.

Namun, untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia memakai tarif Rp370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1. Tidak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah.

Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi Bentoel Grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp370 per batang. Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM.

A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk golongan I menggunakan tarif Rp590 per batang. Namun, produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp385 per batang. (Anton C)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0909 seconds (0.1#10.140)